Tanggapan Berita (22/5-2013)
– Salah satu alasan mengapa identitas pengidap HIV/AIDS, disebut sebagai Odha
(Orang dengan HIV/AIDS), dirahasiakan adalah mereka akan mendapatkan stigma (cap buruk) dan
diskriminasi (perlakuan berbeda) di sarana kesehatan dan di masyarakat jika identitas mereka dipublikasikan.
Hal tsb. dialami oleh beberapa
perempuan di Kab Indramayu, Jawa Barat, seperti yang diungkapkan dalam berita “Ibu-ibu
dengan HIV di Indramayu Merasa Diperlakukan Diskriminatif” (detikHealth,
21/5-2013).
Data Dinas Kesehatan KabIndramayu
menunjukkan bahwa kasus HIV/AIDS terdeteksi pada kalangan pekerja seks
komersial (PSK) yaitu 460 kasus, dan pada ibu rumah tangga 120 kasus, dan wiraswasta 141 kasus.
Perempuan-perempuan Odha itu mengaku sulit mendapakan pekerjaan. Selain itu
mereka pun selalu dikaitkan dengan PSK. Selama ini informasi HIV/AIDS yang
disebarluaskan selalu dikaitkan dengan PSK.
Padahal, ada fakta yang digelapkan melalui materi KIE (komunikasi,
informasi dan edukasi) yang selama ini disebarluaskan oleh berbagai kalangan,
seperti pemerintah, LSM, dll., yaitu yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK justru
laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari justru sebagai seorang suami. Lalu
ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK yang sudah mengidap HIV/AIDS
karena tertular dari laki-laki.
Sayang, dalam berita itu tidak ada penjelasan: Mengapa status HIV/AIDS
beberapa perempuan itu diketahui masyarakat?
Celakanya, wartawan tidak bertanya kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Indramayu, Dr Dedi Rohendi, MARS, yang menjadi narasumber berita tsb.
Disebutkan oleh dr Dedi bahwa perlakuan diskriminatif terhadap Odha terjadi
karena keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS.
Kondisi itu terjadi karena sosialisasi informasi HIV/AIDS selama ini
dibumbui dengan moral sehingga masyarakat tidak menangkap fakta tapi mitos
(anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS yang justru mendorong stigma dan
diskriminasi.
Kalau saja wartawan yang menulis berita ini memahami epidemi HIV, tentulah
fakta tentang jumlah PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS justru menjadi isu
utama karena ada dua hal yang terkait, yaitu: (1) HIV/AIDS pada 460 PSK itu
tertular dari laki-laki dewasa, dan (2) Sudah banyak laki-laki dewasa yang
tertular HIV dari PSK tsb. (Lihat Gambar).
Pertama, 460 PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Kab Indramayu itu ada
kemungkinan semua tertular dari laki-laki penduduk Kab Indramayu. Ini artinya
460 laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK itu akan menularkan HIV kepada
istrinya. Jika istrinya tertular, maka ada pula risiko penularan HIV ke bayi
yang dikandungnya.
Kedua, kalau setiap malam seorang PSK meladeni 3 laki-laki, maka setiap malam
ada 1.380 laki-laki yang berisiko tertular HIV (460 PSK x 3 laki-laki).
Jika dikaitkan dengan tes HIV, maka seorang PSK yang terdeteksi mengidap
HIV/AIDS melalui tes HIV itu artinya minimal ybs. sudah tertular HIV tiga
bulan. Maka, sejak PSK itu tertular HIV sampai tes HIV sudah ada 82.800
laki-laki yang berisiko tertular HIV (460 PSK x 3 laki-laki/malam x 20
hari/bulan x 3 bulan).
Untuk itulah diperlukan program yang konkret untuk menanggulangi penyebaran
HIV/AIDS. Celakanya, Perda AIDS Kab Indramayu pun sama sekali tidak memberikan
cara penanggulangan yang konkret (Lihat:
Perda AIDS Kab Indramayu, Jawa Barat-http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kabupaten-indramayu-jawa.html).
Pemkab Indramayu perlu membuat regulasi agar insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK bisa diturunkan. Selain itu perlu
pula program yang sistematis untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil.
Jika Pemkab Indramayu tidak menjalankan program penanggulangan yang
konkret, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada
’ledakan AIDS’.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.