Tanggapan Berita (1/5-2013) – “Turunkan HIV/AIDS, VCT Dijadikan
Kewajiban Dalam Keluarga”. Ini judul berita di www.aktual.co
(30/4-2013).
Judul ini tidak menggambarkan pemahaman terkait dengan penanggulangan
HIV/AIDS.
Pertama, yang bisa diturukan adalah insiden infeksi HIV baru karena angka kasus
HIV/AIDS yang dilaporkan merupakan laporan kumulatif (kasus lama ditambah kasus
baru) sehingga angka itu tidak akan pernah turun.
Kedua, tes HIV, di judul disebut VCT, hanya dianjurkan kepada laki-laki dan
perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti.
Ketiga, tes HIV dianjurkan kepada laki-laki dewasa yang pernah atau sering
melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan
perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial
(PSK).
Kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilansir Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
sampai Januari 2013 sebanyak 1.900. Dari jumlah ini kasus HIV/AIDS
terdeteksi pada 289 ibu rumah tangga dan 82 balita.
Pemahaman terhadap HIV/AIDS yang
tidak akurat lagi-lagi ditunjukkan oleh Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan dan
Pelindungan Anak Sekretariat Daerah (Setda) Nusa Tenggara Timur (NTT),
Anike Yofita Mitak, melalui pernyataan: ….layanan VCT (Voluntary
Conseling Test) harus menjadi budaya dan kewajiban dalam kehidupan berkeluarga
di daerah tersebut.
Mitak sudah menyamaratakan perilaku semua orang. Atau, Mitak memang
mengetahui dengan persis perilaku semua orang di NTT berisiko tertular HIV
sehingga menjadikan tes HIV seagai budaya dan kewajiban dalam kelurga di NTT.
Kalau sinyalemen Mitak itu benar, maka persoalan besar akan dihadapi Pemprov
NTT karena akan terjadi ’ledakan AIDS’.
Jika perilaku penduduk NTT berisiko tertular HIV, seperti yang tersirat
dari pernyataan Mitak, maka yang diperlukan untuk menurunkan angka kasus baru
bukan melalui VCT, tapi program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi
HIV baru terutama pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Pertanyaan untuk Mitak: Apaka di NTT ada pelacuran?
Sudah barang tentu Mitak akan membusungkan dada dan berujar: Tidak ada!
Mita benar, tapi tunggu dulu. Yang tidak ada adalah loksalisasi pelacuran
yang ditangani oleh instansi pemerintak provinsi, sedangkan (praktek) pelacuran
terjadi di banyak tempat di NTT. Mulai dari lokasi pelacuran, penginapan,
losmen, hotel melati dan hotel berbintang.
Mita juga menuturkan bahwa dengan wajib melakukan VCT seseorang akan
lebih dini mengetahui status HIV pada dirinya, mengingat angka penderita
HIV/AIDS di NTT terus meningkat.
Langkah yang dianjurkan Mitak ini dijalankan di hilir. Artinya, Mitak
menunggu dulu ada penduduk NTT yang tertular HIV (hulu) baru diwajibkan
tes HIV (hilir).
Cara yang dianjurkan Mitak itu sama sekali tidak menyentuh akar persoalan
di hulu, sehingga insiden infeksi HIV baru (akan) terus terjadi.
Dikatakan lagi oleh Mitak bahwa pihaknya terus melakukan pemantauan terhadap penanganan bagi ibu hamil yang terinfeksi HIV yang tepat dan telah memenuhi hak-haknya. Hal itu penting agar penyakit itu tidak memberi resiko ikutan termasuk pada anak dan suami.
Pernyataan Mitak ini menjungkirbalikkan fakta yang terjadi selama ini
terkait dengan HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga karena penularan
HIV kepada ibu rumah tangga dilakukan oleh suami. Sedangkan dalam pernyataan
Mitak justru risiko penularan HIV pada keluarga dilakukan oleh istri.
Mitak disebutkan mengaku prihatin dengan kondisi jumlah kasus HIV dan AIDS
di NTT yang didominasi oleh kaum perempuan yang adalah ibu rumah tangga.
Kalau saja Mitak berpijak pada fakta, maka yang diprihatinkan adalah banyak
suami yang menularkan HIV kepada istri. Artinya, suami-suami itu melakukan
hubungan seksual dengan perempuan lain.
Lagi-lagi ini pernyataan Mitak: “Ironis sekali karena ibu rumah tangga lebih banyak dibandingkan wanita penjaja seks (baca: PSK-pen.). Ini kondisi yahng sangat kritis.”
Mitak lupa kalau yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki dewasa
yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang sumai. Selanjutnya ada
pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK yang mengidap HIV/AIDS. Laki-laki ini
juga dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang sumai.
Maka, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular
HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui
hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Selama Pemprov NTT tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK,
maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di NTT. Pada
gilirannya pemprov pun akan ’panen AIDS’.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.