Liputan (18/4-2013) –
“Silakan, Pak. Pilih-pilih. Masih muda-muda.” Itulah bujuk rayu seorang ‘mami’
di sebuah karaoke di salah satu hotel di Kota Banjarmasin, Prov Kalimantan
Selatan (Kalsel).
Di sebuah ruang, mirip akuarium,
belasan perempuan muda yaitu cewek-cewek pemandu karaoke, mereka sebut diri
dengan ladies, dengan berbagai bentuk pakaian duduk berjejer. Sambil
menumpangkan salah satu kaki ke kaki lain, ada yang memegang rokok di tangan kanan
dan ponsel di tangan kiri. Sesekali ada yang mengibaskan rambut sambil melirik
ke arah pintu.
“Ah, saya ‘kan sudah tua. Bukan
zamannya lagi, Bu!”
”Ye, biar tambah muda, Pak.” Ini bujuk raya si ’mami’ tadi sambil
memlemparkan tangan ke arah cewek-cewek di ’akuarium’ seakan mempersilakan tamu
masuk dan memilih ladies untuk teman berkaraokeria di sebuah hotel di pusat Kota Banjarmasin (2/4-2013)..
Di dekat pintu disebutkan tarif karakoke, bersama pemandu, Rp 400.000, Rp
800.000 dan Rp 1 juta. ”Ya, tidak semua ladies bisa diajak ngamar,
Oom,” kata salah seorang ladies sambil menghembuskan asap rokoknya.
Itu artinya kalau mengajak seorang ladies berarti harus menyediakan uang Rp
400.000 (karaoke) + Rp 350.000 – Rp 500.000 (kamar) dan tarif ladies antara
Rp 250.000 – Rp 1,5 juta. Uang sebanyak ini tentu saja hanya dimiliki oleh
pegawai negeri, karyawan bergaji besar dan pengusaha.
Maka, tidaklah mengherankan kalau di tempat parkir beberapa hotel
berbintang yang menyediakan ’karaoke plus-plus’ dijumpai mobil-mobil mewah.
Sebagian mobil itu berlumpur karena baru tiba dari perusahaan tambang batu bara
atau perkebunan sawit di pedalaman.
Lalu, laki-laki kelas menengah ke bawah bagaimana?
Di sekitar Kota Banjarmasin ada tiga lokasi pelacuran. Ketiganya masuk
kawasan Kota Banjarbaru. Kalangan menengah menyalurkan syahwat di lokasi
pelacuran itu. Tarif sekitar Rp 250.000 plus kamar.
Salah satu lokasi pelacuran dijangkau oleh sebuah LSM sehingga semua
pekerja seks komersial (PSK) di sana kompak menolak laki-laki ’hidung belang’
yang tidak mau memakai kondom ketika sanggama.
”Saya, sih, menolak meladeni
laki-laki yang tidak memakai kondom,” kata seorang PSK di sana. Laki-laki ’hidung
belang’ pun tidak ada pilihan karena semua PSK sepakat menolak laki-laki yang
tidak mau pakai kondom. Kondom tidak dibagikan gratis, tapi dibeli oleh PSK.
Maka, tidak mengherankan kalau survailans tes IMS (infeksi menular seksual
yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, al.
sifilis/raja singa. GO/kencing nanah, klamdia, jengger ayam, dan virus
hepatitis B) kepada semua PSK hasilnya negatif.
Kondisi itu bisa terjadi karena di lokasi pelacuran itu tidak ada germo
atau mucikari. Pemilik rumah hanya menyewakan kamar, sedangkan keperluan PSK
diurus sendiri oleh PSK. Ini membuat posisi tawar PSK sangat kuat dalam memaksa
laki-laki ’hidung belang’ untuk memakai kondom jika sanggama. ”Kita menolak
pemilik rumah jadi mucikari,” kata Pak Amat, bukan nama sebenarnya, yang
dijuluki ’presiden’ di lokasi pelacuran itu di sela-sela kegiatan survailans tes IMS (1/4-2013).
Tapi, itu baru sebatas IMS karena survailans tes HIV akan terbentur pada
masa jendela yaitu di bawah tiga bulan tertular. Artinya, ketika survailans tes
IMS dan HIV dilakukan bisa saja ada di antara PSK itu yang berada pada masa
jendela. ”Ya, kalau HIV kita tidak bisa jamin,” kata seorang staf PKBI Kalsel.
Lembaga inilah yang melakukan penjangkauan ke lokasi pelacuran itu.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kalsel dilaporkan Kemenkes RI per Desember 2012
mencapai 326 yang terdiri atas 192 HIV dan 134 HIV. Angka ini menempatkan Kalsel pada peringkat ke-27
secara nasional berdasarkan kasus AIDS. Dari jumlah tsb. dilaporkan 41 kasus
terdeteksi pada ibu rumah tangga dan tujuh bayi.
Tapi, perlu diingat bahwa angka yang dilaporkan ini hanya sebagian kecil
dari kasus yang ada di masyarakat karena penyebaran HIV erat kaitannya dengan
fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan (326) digambarkan sebagai puncak
gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut dan kasus yang tidak
terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah
permukaan air laut (Lihat gambar).
Untuk itulah PKBI mendorong semua PSK agar menolak laki-laki yang tidak mau
memakai kondom. Dikabarkan di
lokasi pelacuran itu ada dua
PSK yang mengidap HIV/AIDS. Para penjangkau di sana tidak bisa memastikan
apakah dua PSK itu masih ada di lokasi pelacuran itu atau sudah pergi. ”Itulah
sebabnya kita menganjurkan agar laki-laki selalu memakai kondom kalau kencan
dengan PSK,” kata seorang penjangkau di lokasi pelacuran itu..
Celakanya, dua lokasi pelacuran yang lain belum bisa dijangkau sehingga
tidak bisa dipastikan laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom ketika sanggama
dengan PSK di sana.
Lalu, bagaimana dengan laki-laki kelas bawah, seperti nelayan, penarik
beca, sopir bajaj, kernet, dll.? Nah, itu dia. Di tengah Kota Banjarmasin ada
sebuah hotel melati yang menyediakan PSK. Ada 70-an kamar di hotel itu yang
semuanya dihuni oleh perempuan. Transaksi seks berlangsung siang dan malam
hari dengan tarif puluhan ribu rupiah.
”Ayo, Mas, silakan masuk.” Itulah sapaan khas perempuan-perempuan penghuni
hotel melati itu. Mereka duduk di pintu kamar. Ada yang memainkan ponsel sambil
merokok. Ada pula yang baring-baring di dalam kamar.Dari dalam kamar ada yang melambai-lambai tamu yang lewat di pintu kamarnya (3/4-2013).
Penjangkauan juga dilakukan ke hotel melati itu, tapi tidak ada ’jaminan’
laki-laki memakai kondom ketika sanggama dengan PSK di sana.
Celakanya, Perda AIDS Kota Banjarmasin sama sekali tidak memberikan langkah
yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV (Lihat: Perda AIDS Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kota-banjarmasin-kalimantan.html).
Untunglah ada PKBI yang menjalankan pendampingan di salah satu lokasi
pelacuran. Sedangkan di dua lokasi pelacuran lain dan di hotel-hotel yang
menyediakan cewek dengan tabir karaoke tidak ada penjangkauan. Kondisi ini
mendorong penyebaran HIV/AIDS yang bermula dari tempat-tempat transaksi seks
yang tidak dijangkau.
Menutup lokasi pelacuran dan karaoke plus-plus tidak akan menghilangkan
(praktek) pelacuran di Kota Samarinda karena permintaan yang tinggi dari
kalangan pegawai, karyawan dan pengusaha.
Untuk itulah diperlukan regulasi berupa melokalisir pelacuran, termasuk
karakoke, sehingga bisa dijangkau melalui program pemakaian kondom. Program ini
akan menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang kelak akan
menurunkan kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga.
Kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga dan bayi menunjukkan suami mereka
tertular HIV, al. karena perilaku seksual yang tidak aman yaitu tidak memakai
kondom ketika sanggama dengan PSK.
Yang perlu dilakukan Pemkot Banjarmasin adalah menurunkan insiden infeksi
HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK. Langkah yang bisa
ditempuh adalah dengan intervensi berupa program pemakaian kondom bagi
laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.***
-
AIDS Watch Indonesia/Syaiful W.
Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.