17 Maret 2013

‘Tes HIV Massal’ terhadap PNS di Pemkab Kutai Timur, Kaltim

Tanggapan Berita (18/3-2013) – “Wabup: Langsung Perangi AIDS!” Ini judul berita di Harian “Kaltim Post” (16/3-2013).

Caranya? Ini cara yang dijalankan Wakil Bupati Kutai Timur (Kutim), Kaltim, Ardiansyah Sulaiman: “Jangan terlalu banyak rapat, langsung perangi HIV/AIDS. Begitu sosialisasi, langsung check up, action, dan seterusnya.”

Pertama, yang diperangi bukan HIV/AIDS, tapi perilaku orang per orang, terutama laki-laki dewasa, yang gemar melacur tanpa kondom.

Kedua, tes HIV tidak ada kaitannya dengan check up (penyakit) karena tidak semua pengidap HIV/AIDS menunjukkan gejala penyakit.

Agaknya, Pak Wabup dapat ‘bisikan’ yang menyesatkan karena langkah yang dia sampaikan itu justru menjadi rintangan dalam penanggulangan HIV/AIDS.

Pertanyaan untuk Pak Wabup: Apakah di daerah Anda ada pelacuran?

Pak Wabup akan mengatakan: Tidak ada!

Pak Wabup benar, tapi tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran yang ditanggani oleh dinas sosial. Sedangkan praktek pelacuran terjadi di banyak tempat dan setiap saat.

Pertanyaan berikutnya untuk Pak Wabup: Apakah Anda bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kutim yang pernah atau sering melacur tanpa kondom di Kutim atau di luar Kutim?

Kalau jawabannya bisa, maka tidak ada persoalan penyebaran HIV terkait dengan faktor risiko hubungan seksual.

Tapi, kalau jawabannya tidak bisa, maka Pak Wabup harus membuat program yang konkret berupa regulasi yang bisa mengintervensi laki-laki agar memakai kondom jika melacur.

Disebutkan Wabup menginstruksikan kepada dinas kesehatan untuk menyosialisasikan bahaya HIV/AIDS bekerja sema dengan KPA sekaligus melalukan VCT (voluntary counseling and testing) satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lingkup Pemkab Kutim.

Yang diperlukan bukan cara-cara yang massal seperti yang instruksi wakil bupati itu, tapi ada satu sistem agar pendeteksian kasus HIV/AIDS bisa berjalan secara konsisten.

Melakukan tes HIV kepada PNS di lingkup Pemkab Kutim akan menimbulkan gejolak sosial. Biar pun tidak ada konsekuensi kepegawaian jika terdeteksi HIV/AIDS, tapi masalah baru akan muncul, seperti sarana dan prasarana bagi PNS yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Selanjutnya status HIV/AIDS pasangan dan anak-anak mereka.

Lagi pula, biar pun semua PNS sudah menjalani tes HIV itu tidak jaminan bahwa tidak akan ada lagi PNS yang tertular HIV.

Maka, apakan Dinkes Kutim akan melakukan tes HIV massal terhadap PNS setiap hari?

Soalnya, risiko tertular HIV bisa saja terjadi bagi sebagaian PNS setiap hari, yaitu PNS laki-laki yang gemar melacur tanpa kondom baik di lokasi pelacaran maupun di tempat-tempat hiburan malam.

Lagi pula ketika tes HIV dilakukan terhadap PNS bisa saja ada di antara mereka yang berada pada masa jendela yaitu tertular di bawah tiga bulan (Lihat Gambar).

Disebutkan juga oleh Wabup: ”Pengelola tempat hiburan malam maupun panti pijat yang beroperasi di Kutim wajib kooperatif terkait pemeriksaan dan sosialisasi HIV/AIDS. ....”

Terkait dengan pelacuran, tempat hiburan malam dan panti pijat yang jadi persoalan bukan perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks tidak langsung di sana, tapi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan pekerja di sana.

Biar pun ’cewek-cewek’ di tempat hiburan malam dan panti pijat yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS ditangkap, dikarantina atau dipulangkan ke daerah asalnya, di Kutim sudah ada laki-laki dewasa yang mengidap HIV. Mereka itu adalah: (1) Yang menularkan HIV kepada ’cewek-cewek’ di tempat hiburan malam dan panti pijat, dan (2) Yang tertular HIV dari ’cewek-cewek’ di tempat hiburan malam dan panti pijat (Lihat Gambar 1).

Selain itu disebutkan pula penanganan terhadap calon mempelai. Tes HIV terhadap calon mempelai tidak ada manfaatnya karena:

(1) Hasil tes bisa menghasilkan positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi tes reaktif). Ini merugikan calon mempelai laki karena pernikahan batal.

(2) Hasil bisa menghasilkan negatif palsu (HIV ada di dalam darah tapi tes nonreaktif). Ini akan menyengsarakan istri karena suaminya sudah mengidap HIV/AIDS.

(3) Surat ’bebas AIDS’ yang dipegang suami akan dijadikan ’senjata’ ketika istrinya terdeteksi mengidap HIV setelah menikah dengan menuduh istrinya yang selingkuh.

Maka, yang perlu dilakukan Pemkab Kutim adalah:

1. Membuat program yang konkret berupa regulasi yang dijadikan langkah intervensi terhadap laki-laki agar memakai kondom jika melacur di lokasi pelacuran, tempat hiburan malam dan panti pijat.

2. Merancang tes HIV yang sistematis agar kasus HIV di masyarakat bisa terdeteksi secara berkesinambungan.

Tanpa dua langkah di atas, maka insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa penduduk Kutim akan terus terjadi sehingga penyebaran HIV/AIDS pun kelak akan bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.