Tanggapan Berita (7/3-2013)
– “Kami terus melakukan sosialisasi dan penyuluhan (HIV/AIDS-pen.) kepada
seluruh masyarakat, baik dari institusi pendidikan hingga pemerintahan. Namun,
kesediaan dana kadang jadi penghalang, karena tidak ada untuk nomenklatur
penanggulangan AIDS.” Ini pernyataan Kepala Dinas (Kadis) Kesehatan Kotamobagu,
dr Salmon Helweldery dalam berita
“Penyuluhan Bahaya HIV AIDS Terkendala Dana” di beritamanado.com
(26/2-2013).
Dikabarkan jumlah kasus kumulatif
HIV/AIDS di Kotamubagu, Sulawesi Utara (Sulut), pada November 2012 mencapai 14.
Karena salah satu faktor risiko
penularan HIV pada 14 kasus itu adalah hubungan seksual, maka yang menjadi
masalah besar adalah: Apakah di Kota Kotamobagu ada pelacuran?
Tentu jawabannya tidak ada! Itu
memang benar, tapi tunggu dulu. Yang tidak ada di Kotamubagu adalah lokalisasi
pelacuran yang ditangani oleh dinas sosial. Sedangkan praktek pelacuran terjadi
di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Maka, kalau hanya sebatas
sosialisasi tidak akan bisa mencegah infeksi HIV baru pada laki-laki melalui
hubungan seksual dengan pekerja seks yang praktek di berbagai tempat di
Kotamubagu.
Dengan dana yang besar pun,
seperti di Prov DKI Jakarta dan Prov Papua, kalau tidak ada program yang
konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada pelacuran, maka penyebaran
HIV/AIDS akan terus terjadi. Itulah yang terjadi di semua daerah di Indonesia,
termasuk Kotamubagu.
Disebutkan pula bahwa untuk
menekan penyebaran virus ini, pihaknya akan terus melakukan sosialisasi atau
penyuluhan di seluruh Desa dan Kelurahan yang ada di Kotamobagu. Namun, ia juga mengharapkan agar fungsi dari
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang berada di bawah Bagian Sosial (Bagsos)
untuk diaktifkan kembali.
Selain melalui laki-laki yang sering melacur risiko penyebaran HIV/AIDS
juga terjadi pada laki-laki dan perempuan pelaku kawin-cerai, laki-laki
beristri lebih dari satu.
Risiko penyebaran HIV/AIDS juga terjadi pada pejabat yang menerima cewek
gratifikasi seks. Ini amat berisiko karena cewek itu sudah melakukan hal yang
sama dengan banyak laki-laki (Lihat: Gratifikasi Seks (Akan) Mendorong
Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia - http://www.aidsindonesia.com/2013/01/gratifikasi-seks-akan-mendorong.html).
Yang perlu dilakukan al. adalah melokalisir pelacuran agar program yang konkret yaitu intervensi agar laki-laki memakai kondom dapat diterapkan secara efektif. Selama (praktek) pelacuran tidak dilokalisir, maka selama itu pun insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Yang perlu dilakukan al. adalah melokalisir pelacuran agar program yang konkret yaitu intervensi agar laki-laki memakai kondom dapat diterapkan secara efektif. Selama (praktek) pelacuran tidak dilokalisir, maka selama itu pun insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Laki-laki dewasa yang tertular HIV, al. melalui pelacuran, menjadi mata
rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, seperti melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi membuktikan
bahwa suami-suami tertular HIV, al. karena melacur tanpa kondom.
Selama Kotamubagu tidak menjalankan program penanggulangan yang konkret dan
sistematis, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS di Kotamubagu akan terus
terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.