Tanggapan Berita (4/3-2013) – “Pemantauan kasus HIV-AIDS di Kudus
mulai digencarkan, utamanya melalui jalur migrasi penduduk antar wilayah
kabupaten yang berdekatan dengan Kudus.” Ini lead pada berita “Penularan
HIV-AIDS via Jalur Migrasi Antar Wilayah Dipantau” di suaramerdeka.com
(28/2-2013).
Pernyataan pada lead berita itu
menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis,
karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak bisa dilihat dari
fisiknya sehingga tidak bisa memantau pengidap HIV/AIDS yang melewati jalur
migrasi antar wilayah yang melalui wilayah Kab Kudus, Jateng.
Yang menjadi mata rantai
penyebaran HIV/AIDS di wilayah Kab Kudus, al. adalah laki-laki dewasa penduduk
Kab Kudus yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan
pekerja seks komersial (PSK) di wilayah Kab Kudus atau di luar wilayah Kab
Kudus.
Celakanya, Pemkab Kudus akan
membusungkan dada dan mengatakan: Tidak pelacuran di wilayah kami!
Itu benar. Tapi, tunggu dulu.
Yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran yang ditangani dinas kesehatan. Sedangkan (praktek) pelacuran terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu.
Penyebaran HIV/AIDS di Kab Kudur akan terus terjadi jika Pemkab Kudus tidak
mempunyai program yang konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki melalui pelacuran.
Disebutkanbahwa sejak tahun 2008 sampai dengan November tahun 2012 tercatat
113 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 44 HIV dan 59 AIDS dengan 52 kematian. Dari jumlah itu HIV/AIDS terdeteksi pada 44
laki-laki dan 53 perempuan serta enam waria.
Kalau wartawan yang menulis berita ini membawa fakta di atas ke realitas
sosial, maka yang perlu dipersoalkan adalah laki-laki dewasa, yang bisa saja
sebagai suami, yang melakukan seks anal dengan waria. Jika satu malam seorang
waria meladeni tiga laki-laki, maka setiap malam ada 18 laki-laki yang berisiko
tertular HIV/AIDS.
Maka, tidaklah mengerankan kalau kemudian di Kab Kudus terdeteksi empat
anak-anak yang mengidap HIV/AIDS. Mereka tertular HIV dari ibu yang mengandung
mereka. Ibu mereka tertular HIV dari suaminya.
Menurut Kepala Seksi Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK)
Kudus, Darsono, sampai dengan hari ini peran sosialisasi dan konseling cukup
berarti, dan polanya lebih cenderung bentuk penyadaran dengan cara pendekatan
agar lebih tepat sasaran.
Sosialisasi sudah dijalankan
sejak awal epidemi, tapi tidak bisa merubah perilaku sebagian laki-laki dewasa
yang gemar melacur yaitu mereka tidak mau memakai kondom.
Lagi pula sosialisasi membutuhkan
waktu yang panjang dan tidak semua laki-laki bisa dijangkau. Pada rentang waktu
sosialisasi sampai mereka menyadai perilakunya sudah terjadi penularan HIV.
Maka, yang diperlukan adalah
program yang konkret berupa intervensi melalui regulasi agar laki-laki yang
melacur memakai kondom. Jika program
ini tidak ada, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Penyebaran HIV/AIDS di Kab Kudus kelak akan bermuara pada ’ledakan AIDS’.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.