07 Maret 2013

Di Aceh ‘Seks Bebas’ Penyebab Utama Penularan HIV/AIDS


Tanggapan Berita (8/3-2013) – “Rata-rata yang terkena HIV AIDS itu usia produktif, dimana usianya 20-45 tahun dan di Aceh seks bebas merupakan penyebab utama penularan HIV/AIDS.” Ini pernyataan Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, dr Abdul Fatah MPPM, dalam berita “Enam Warga Aceh Positif HIV/AIDS” (aceh.tribunnews.com, 28/2- 2013).

Jika yang dimaksud dengan ‘seks bebas’ adalah pelacuran, maka hal itu merupakan realitas sosial yang menunjukkan ada pelacuran di Aceh. Persoalannya adalah karena Aceh menerapkan syariat Islam, maka tidak mungkin melokalisir pelacuran. Tapi, kalau praktek ‘seks bebas’ terus terjadi maka penyebaran HIV/AIDS di masyararakat pun akan terus pula terjadi.

Laki-laki, terutama suami, yang tertular HIV melalui ‘seks bebas’ akan menularkan HIV kepada istrinya atau pasangan seks lain. Jika istrinya lebih dari satu, maka jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV pun kian banyak.

Dikabarkan pada priode Januari-Februari 2013 terdeteksi enam kasus HIV/AIDS pada warga Aceh, mereka itu adalah empat laki-laki dan dua perempuan. Tidak dijelaskan apaka dua perempuan itu tertular dari suaminya atau melalui cara lain.

Disebutkan oleh Fatah, jika dalam satu tempat terdapat 100 orang pengidap HIV/AIDS, maka 1.000 orang lainnya di tempat yang sama juga berpotensi akan tertular.

Pernyataan Fatah ini ngawur karena HIV/AIDS bukan wabah yang bisa menular melalui air, udara dan pergaulan sosial. Tidak ada rumus tsb.

Yang disebutkan oleh WHO (Badan Kesehatan Dunia PBB) adalah jika ada 1 kasus HIV/AIDS maka ada 100 kasus yang tidak terdeteksi. Tapi, ‘rumus’ ini pun tidak mutlak karena hanya digunakan untuk merancang program, menyediakan obat, dll. Lagi pula rumus tsb. bisa dipakai jika: (1) pelacuran tinggi, (2) pemakaian kondom rendah, dan (3) tingkat kesehatan masyarakat rendah.

Nah, kalau Abdul Fatah ngotot memakai ‘rumus’ tsb., maka dia menguak fakta bahwa di Aceh pelacuran merajalela dan pemakaian kondom rendah.

Pemprov Aceh boleh saja menutup mata dan menepuk dada dengan mengatakan bahwa di daerahnya tidak ada pelacuran karena diberlakukan syariat Islam.

Biar pun di Aceh tidak ada pelacuran, tapi praktek pelacuran terjadi di berbagai tempat dan sembarang waktu. Seorang waria di Kota Banda Aceh mengaku ‘melayani’ tiga sampai lima laki-laki setiap hari. Celakanya, di Aceh apotek pun tidak boleh menyediakan kondom. Ada juga laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks di luar Aceh.

Persoalan besar yang dihadapi Pemprov Aceh adalah tidak bisa menerapkan program penanggulangan yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui praktek pelacuran di Aceh dan laki-laki yang melacur di luar Aceh.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.