Tanggapan Berita (8/3-2013)
– “Rata-rata yang terkena HIV AIDS itu usia produktif, dimana usianya 20-45
tahun dan di Aceh seks bebas merupakan penyebab utama penularan HIV/AIDS.” Ini
pernyataan Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(P2PL), Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, dr Abdul Fatah MPPM, dalam berita “Enam
Warga Aceh Positif HIV/AIDS” (aceh.tribunnews.com, 28/2- 2013).
Jika yang dimaksud dengan ‘seks
bebas’ adalah pelacuran, maka hal itu merupakan realitas sosial yang
menunjukkan ada pelacuran di Aceh. Persoalannya adalah karena Aceh menerapkan
syariat Islam, maka tidak mungkin melokalisir pelacuran. Tapi, kalau praktek
‘seks bebas’ terus terjadi maka penyebaran HIV/AIDS di masyararakat pun akan
terus pula terjadi.
Laki-laki, terutama suami, yang
tertular HIV melalui ‘seks bebas’ akan menularkan HIV kepada istrinya atau
pasangan seks lain. Jika istrinya lebih dari satu, maka jumlah perempuan yang
berisiko tertular HIV pun kian banyak.
Dikabarkan pada priode Januari-Februari
2013 terdeteksi enam kasus HIV/AIDS pada warga Aceh, mereka itu adalah empat
laki-laki dan dua perempuan. Tidak dijelaskan apaka dua perempuan itu tertular
dari suaminya atau melalui cara lain.
Disebutkan oleh Fatah, jika dalam satu tempat terdapat 100 orang pengidap HIV/AIDS, maka 1.000 orang lainnya di tempat yang sama juga berpotensi akan tertular.
Disebutkan oleh Fatah, jika dalam satu tempat terdapat 100 orang pengidap HIV/AIDS, maka 1.000 orang lainnya di tempat yang sama juga berpotensi akan tertular.
Pernyataan Fatah ini ngawur
karena HIV/AIDS bukan wabah yang bisa menular melalui air, udara dan pergaulan
sosial. Tidak ada rumus tsb.
Yang disebutkan oleh WHO (Badan
Kesehatan Dunia PBB) adalah jika ada 1 kasus HIV/AIDS maka ada 100 kasus yang
tidak terdeteksi. Tapi, ‘rumus’ ini pun tidak mutlak karena hanya digunakan
untuk merancang program, menyediakan obat, dll. Lagi pula rumus tsb. bisa
dipakai jika: (1) pelacuran tinggi, (2) pemakaian kondom rendah, dan (3)
tingkat kesehatan masyarakat rendah.
Nah, kalau Abdul Fatah ngotot
memakai ‘rumus’ tsb., maka dia menguak fakta bahwa di Aceh pelacuran merajalela
dan pemakaian kondom rendah.
Pemprov Aceh boleh saja menutup
mata dan menepuk dada dengan mengatakan bahwa di daerahnya tidak ada pelacuran
karena diberlakukan syariat Islam.
Biar pun di Aceh tidak ada
pelacuran, tapi praktek pelacuran terjadi di berbagai tempat dan sembarang
waktu. Seorang waria di Kota Banda Aceh mengaku ‘melayani’ tiga sampai lima
laki-laki setiap hari. Celakanya, di Aceh apotek pun tidak boleh menyediakan
kondom. Ada juga laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks
di luar Aceh.
Persoalan besar yang dihadapi
Pemprov Aceh adalah tidak bisa menerapkan program penanggulangan yang konkret
untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui praktek
pelacuran di Aceh dan laki-laki yang melacur di luar Aceh.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.