Tanggapan Berita (25/3-2013)
– ”Jumlah temuan kasus HIV/AIDS di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, terus
bertambah karena dari tahun 2009 hingga Maret 2013 tercatat mencapai 123 kasus
dan 65 penderita diantaranya meninggal dunia.” Ini lead pada berita “PENYAKIT
HIV-AIDS: Ada 123 Kasus Di Kudus” di
www.bisnis-jateng.com (8/3-2013).
Karena pelaporan kasus HIV/AIDS
di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif yaitu kasus lama ditambah kasus
baru, maka angka laporan kasus HIV/AIDS akan terus bertambah.
Kalau saja Koordinator Kelompok
Dampingan Sebaya Kabupaten Kudus, Eni Mardiyanti, dan wartawan yang menulis
berita ini memahami epidemi HIV/AIDS secara komprehensif, maka data yang layak
dikembangkan adalah 65 kematian terkait HIV/AIDS.
Soalnya, kematian pada pengidap
HIV/AIDS terjadi di masa AIDS yang secara statistik terjadi setelah 5-15 tahun
tertular HIV. Celakanya, pada rentang waktu itu pengidap HIV/AIDS tidak
menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas
AIDS pada fisik mereka dan tidak ada pula keluhan kesehatan yang khas AIDS.
Akibatnya, yang laki-laki akan
menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Yang beristri akan
menularkan HIV kepada istrinya atau pasangan seks lain, termasuk pekerja seks
komersial (PSK). Sedangkan yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada
pasangan seksnya dan PSK.
Sedangkan yang perempuan akan
menularkan HIV kepada suami atau pasangan seksnya. Jika dia hamil maka ada pula
risiko penularan HIV kepada janin yang dikandungnya kelak.
Yang menjadi persoalan besar
adalah kalau di antara 65 yang meninggal itu ada PSK. Itu artinya seorang PSK pengidap
HIV/AIDS sudah melayani laki-laki sebanyak 3.600-10.800 (1 PSK x 3
laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 5 tahun atau 15 tahun) sebelum dia meninggal.
Disebutkan oleh Eni bahwa untuk
mengurangi penularan HIV/AIDS butuh kerja sama sejumlah pihak, termasuk pemda
setempat lewat dukungan anggaran maupun tenaga dalam meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk ikut berperan serta memberantas penularannya lewat sosialisasi
secara berkelanjutan maupun dalam memberikan pendampingan terhadap penderita.
Sosialisasi sudah dilakukan sejak
awal epidemi, tapi tidak ada jaminan laki-laki yang gemar melacur akan berhenti
melacur atau melacur dengan memakai kondom.
Yang diperlukan adalah program
yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang
melacur dengan PSK yaitu melakukan intervensi agar laki-laki memakai kondom
ketika melacur.
Yang menjadi persoalan besar
adalah Pemkab Kudus akan berkilah bahwa di daerahnya tidak ada pelacuran.
Itu benar. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran
yang dibina pemkab melalui dinas sosial. Sedangkan praktek pelacuran terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu.
Tanpa program yang konkret maka insiden infeksi HIV baru di Kudus akan
terus terjadi. Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga
membuktikan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki terus terjadi.***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W.
Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.