02 Maret 2013

2,2 Juta Laki-laki ‘Pembeli Seks’ ke PSK Mempunyai Istri


* Laki-laki heteroseks ditempong waria

Liputan (2/3-2013) – Hasil pemetaan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) menunjukkan ada 3,3 juta laki-laki dewasa yang menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi pelacuran dan tempat-tempat hiburan yang menyediakan cewek di berbagai tempat, seperti di wilayah pertambangan, perkebunan, pertambangan, terminal, stasiun dan pelabuhan.

Secara kumulatif kasus AIDS di Indonesia mulai 1 Januari 1987 s.d. 30 September 2012 adalah 131.685 yang terdiri atas 92.251 HIV dan 39.434 AIDS dengan 7.293 kematian.

Jika dikaitkan dengan penyebaran HIV/AIDS, maka jumlah laki-laki ’pembeli seks’ itu sangat potensial untuk menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS karena 2,2 juta dari 3,3 juta laki-laki pembeli seks itu mempunyai istri. Ada pula kemungkinan di antara mereka ada yang beristri lebih dari satu.

Tidak Pakai Kondom

Kondisinya kian runyam karena hanya empat persen yang memakai kondom secara rutin ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Itu artinya laki-laki yang berisiko rendah hanya 132.000, sedangkan 3.168.000 laki-laki berisiko tertular HIV karena mereka tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.

”Wah, susah, Pak. Kalau dipaksa pakai kondom mereka (maksudnya laki-laki-pen.) marah,” kata seorang PSK di Tanjung ’turki’ Elmo di Kab Jayapura, Papua. Kalau tetap dipaksa, maka laki-laki akan mencari PSK yang mau meladeni dia tanpa kondom.

Di satu sisi PSK butuh uang sehingga ada saja PSK yang meladeni laki-laki tanpa kondom. Selain itu ada pula laki-laki ’hidung belang’ yang mengiming-imingi tambahan dari taris ’resmi’. Ini menurut pengakuan PSK yang disidangkan di PN Merauke, Papua.

Kondisi itulah yang mendorong peningkatan kasus infeksi HIV baru pada laki-laki berisiko yaitu laki-laki yang melacur tanpa kondom. Jika di tahun 2007 kasus terdeteksi 0,1 persen, tapi di tahun 2011 meningkat menjadi 0,7 persen. Inilah yang dilihat dr Fonny J. Silfanus, Deputy Program di KPAN, sebagai persoalan karena laki-laki beristri yang tertular HIV akan menularkan HIV kepada istrinya. Jika istri tertular HIV maka ada pula risiko penularan pada bayi yang dikandungnya kelak.

Selama ini, menurut dr Fonny, pada ’Temu Media’ di Jakarta (28/2-2013), yang menjadi sasaran penangangan adalah PSK maka sekarang sasarannya bergeser kepada laki-laki berisiko. 

Mereka itu adalah laki-laki ’pembeli seks’ atau yang melacur dengan PSK tanpa kondom (Gambar 1).

Ada 2,2 juta laki-laki berisiko yang beristri. Itu artinya ada 2,2 juga perempuan yang berisiko tertular HIV dari suaminya. Istri yang tertular HIV bisa pula menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak.

”Ya, kadang-kadang saya pakai kondom,” kata seorang laki-laki yang mengaku beristri dan punya anak di lokasi pelacuran Padanggalak, Sanur, Denpasar, Bali. Ini tentu saja berisiko karena bisa saja pas dia tidak pakai kondom PSK yang melayaninya mengidap HIV/AIDS sehingga laki-laki itu berisiko tertular HIV.

Pemerintah pusat dan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) di seluruh Indonesia menganggap tidak ada pelacuran di daerah mereka karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang ditangani melalui dinas terkait. Akibatnya, tidak ada program yang konkret untuk mencegah penularan HIV pada pelacuran.

Padahal, Thailand berhasil menurunkan kasus HIV baru melalui pelacuran yaitu dengan program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melacur di lokalisasi pelacuran dan rumah bordil.

”Saya tegas menolak meladeni laki-laki yang tidak mau pakai kondom,” kata seorang PSK di lokasi pelacuran ”Sarkem” di sebelah selatan Stasiun KA Tugu, Yogyakarta. Sosialisasi kondom di lokasi ini berjalan baik karena kerja keras beberapa kalangan, seperti LSM. Bahkan, kalau ada laki-laki yang di luar kamar berjanji akan memakai kondom, tapi menolak memakai kondom ketika di dalam kamar PSK akan berteriak. Dan tamu itu pun bisa jadi bulan-bulanan. ”Ya, Mas, saya selalu bawa kondom,” kata seorang laki-laki setengah baya yang mengaku PNS di ’Sarkem’.

Denda PSK

Sayang, usaha keras LSM di ”Sarkem” tidak didukung pemerintah setempat. Buktinya, dalam Perda AIDS DI Yogyakarta sama sekali tidak ada pasal yang dikaitkan langsung dengan pelacuran di ”Sarkem” (Lihat:  Perda AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta - http://www.aidsindonesia.com/search/label/Perda%20AIDS%20Daerah%20Istimewa%20Yogyakarta).

Pemkab Merauke dan Pemkab Mimika, keduanya di Papua, meniru langkah Thailand tapi tidak sistematis. Kalau Thailand memberikan sanksi kepada germo, di Merauke dan Mimika PSK yang jadi sasaran tembak adalah PSK. Di Merauke PSK yang terdeteksi mengidap IMS (GO, sifilis, dll.) dibui. Sedangkan di Mimika PSK yang terdeteksi mengidap IMS didena Rp 2,5 juta.

Seorang PSK yang dibui akan digantikan puluhan PSK ’baru’. Lagi pula laki-laki penduduk lokal yang tertular dari PSK tsb. menjadi mata rantai penyebaran IMS di masyarakat. Kalau PSK yang menularkan IMS kepada laki-laki juga mengidap HIV/AIDS maka sekaligus terjadi penularan HIV.

Sedangkan PSK yang didenda karena tidak mempunyai urang, maka akan ditalangi germo. Akibatnya, PSK pengidap IMS itu kembali ’bekerja’ untuk membayar hutangnya kepada germo. Kalau PSK itu juga mengidap HIV/AIDS maka ada risiko tertular HIV pada laki-laki yang sanggama dengan PSK tsb.


Selain laki-laki berisiko yang ’membeli seks’ ke PSK, ada pula laki-laki yang juga ’membeli seks’ tapi bukan ke PSK di lokasi pelacuran atau hiburan malam. Mereka ’membeli seks’ kepada perempuan yang juga PSK tapi ’menyamar’ sebagai cewek pub, cewek diskotek, cewek kampus, dll. Ini disebut PSK tidak langsung (Gambar 2).

Di Kendari, Sultra, pelacuran terjadi dalam konteks PSK tidak langsung karena tidak ada lokasi pelacuran. Bahkan, tarif PSK di kota ini ’selangit’ yaitu Rp 500.000 untuk short time. Biasanya dilakukan di hotel berbintang untuk menghindari razia polisi dan Satpol PP. PSK di Kendari bisa ’dipesan’ melalui sopir taksi (Lihat: “Selangit”, Tarif PSK di Kota Kendari, Sultra-http://www.aidsindonesia.com/2012/09/selangit-tarif-psk-di-kota-kendari.html).

Begitu juga dengan pelacuran online PSK yang ditawarkan di dunia maya itu pun termasuk PSK tidak langsung.

Risiko tertular HIV/AIDS dari PSK tidak langsung sama saja dengan PSK langsung karena perilaku PSK tidak langsung juga berisiko karena melayani banyak laki-laki.

Ada pula laki-laki yang gemar sanggama seks anal dengan waria. Yang mengejutkan adalah hasil sebuah studi di Surabaya, Jatim, menunjukkan laki-laki heteroseksual beristri selalu jadi ’perempuan’ kalau seks anal dengan waria. Artinya, waria yang menganal (di kalangan waria disebut menempong) dan laki-laki heteroseks dianal (ditempong).

Cewek Gratifikasi

Lho, koq bisa? Ternyata alasan mereka adalah kalau dianal oleh waria mereka tidak menodai cinta dengan istrinya karena dia tidak memakai penisnya. Padahal, risiko tertular HIV melalui seks anal lebih besar daripada seks vaginal karena perlukaan sangat besar kemungkinan terjadi pada seks anal jika tidak memakai pelicin (Gambar 3).

Ada pula laki-laki berisiko karena melakukan hubungan seksual dengan laki-laki juga. Ini dikenal sebagai laki-laki suka seks laki-laki (LSL). Mereka itu laki-laki heteroseks yang mempunyai istri. Tapi, risiko tetap ada karena bisa saja ada di antara mereka yang juga menjadi pelanggan PSK atau waria (Gambar 4).

Belakangan terbongkar pula pelacuran yang disebut gratifikasi seks yaitu cewek yang dijadikan ’imbalan’ atau ’hadiah’ terkait dengan urusan pemerintah dan bisnis. ’Cewek gratifikasi’ adalah PSK tidak langsung yang risiko tertular HIV/AIDS sama saja dengan PSK langsung (Gambar 5) [Lihat: Gratifikasi Seks (Akan) Mendorong Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia - http://www.aidsindonesia.com/2013/01/gratifikasi-seks-akan-mendorong.html). 

Seperti yang dikemukakan dr Fonny sasaran adalah laki-laki berisiko, tapi yang realitis terjangkau melalui program PMTS (Program Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seks) Paripurna ini hanyalah PSK langsung di lokasi pelacuran (hot spot), panti pijat plus-plus, dan tempat-tempat hiburan malam (diskotek, pub, karaoke, dll.).

Celakanya, praktek pelacuran dengan PSK tidak langsung juga tidak kalah banyaknya dengan jumlah pelanggan PSK langsung. Inilah yang menjadi bumerang karena insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang pada gilirannya mereka yang tertular HIV menjadi mata rantai penyebaran  HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Selama pemerintah tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui pelacuran yang melibatkan PSK langsung, maka selama itu punya penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.