Tanggapan Berita (1/3-2013)
– "Kasus HIV/Aids di Provinsi Riau setiap tahunnya semakin memprihatinkan.
Tercatat, dalam kurun waktu Sepuluh
tahun terakhir, HIV dan Aids mengalami peningkatan yang drastis. Bahkan, sejak
2004, kasus HIV dan Aids sudah menembus angka 1.803 orang.” Ini lead
pada berita “1803 Kasus HIV/Aids Terjadi di Riau” di www.halloriau.com
(22/2-2013).
Ada beberapa hal yang perlu dikembangkan terkait dengan pernyataan pada
lead berita itu, yaitu:
Pertama, yang memprihatinkan bukan kasus HIV/AIDS, tapi (1) perilaku sebagian
laki-laki penduduk Riau yang sering melacur tanpa kondom, (2) Pemprov Riau
tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS.
Kedua, laporan kasus HIV/AIDS berupa angka merupakan kasus kumulatif yaitu kasus
lama ditambah kasus baru sehingga angka itu akan terus bertambah atau
meningkat.
Ketiga, angka yaitu kasus yang dilaporkan (1.803) hanya sebagian kecil dari kasus
yang ril di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan
fenomena gunung es. Angka yang dilaporkan (1.803) digambarkan sebagai puncak
gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut dan kasus yang tersembunyi di
masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat
gambar).
Penyebaran HIV/AIDS di Riau akan terus terjadi biar pun lokalisasi
pelacuran Teleju sudah ditutup karena praktek pelacuran terjadi di sembarang
tempat dan sembarang waktu.
Pelacuran terjadi di penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang dan
apartemen mewah melalui jaringan prostitusi: karyawan hotel, telepon, SMS, BBM,
tukang ojek, sopir taksi, online, sampai pada gratifikasi seks.
Celakanya, sebagian laki-laki ‘hidung belang’ menganggap hubungan seksual
dengan perempuan yang bukan pelacur dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK),
seperti cewek gratifikasi seks, tidak berisiko tertular HIV. Padahal, risiko
tertular HIV melalui hubungan seksual dengan PSK dan cewek gratifikasi seks
sama saja (Lihat: Gratifikasi Seks (Akan) Mendorong
Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia - http://www.aidsindonesia.com/2013/01/gratifikasi-seks-akan-mendorong.html).
Selain itu ada fakta yang luput dari perhatian Pemprov Riau. Di tahun
1990-an Pemprov Riau, waktu itu belum dimekarkan sehingga termasuk Prov Kepri,
selalu memulangkan PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Riau ke daerah
asalnya.
Langkah itu tidak ada gunanya karena sudah banyak laki-laki penduduk Riau
yang berisiko tertular HIV dari PSK yang dipulangkan itu. PSK dengan AIDS sudah
pulang, tapi AIDS mereka tinggalkan pada laki-laki Riau.
Nah, laki-laki Riau dan Kepri yang tertular HIV dari PSK yang dipulangkan
itulah kemudian terjadi penyebaran HIV, al. melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah dengan istri atau pasangan seks lain.
Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan Aids (KPA), Mursal Amir, tingginya
kasus HIV dan Aids ini diprediksi akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke
depan, dimana anak-anak menjadi objek yang rentan mengidap virus HIV tersebut.
Pernyataan Mursal ini tidak akurat dan menutup-nutupi fakta yaitu perilaku
sebagian laki-laki dewasa yang sering melacur tanpa kondom dengan PSK langsung
atau PSK tidak langsung di Riau atau di luar Riau.
Celakanya, Pemprov Riau, dalam hal ini KPA Riau, sama sekali tidak
mempunyai program yang konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki dewasa yang melacur dengan PSK. Bahkan, dalam Perda AIDS Prov Riau
pun tidak ada pasal yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: Perda
AIDS Provinsi Riau -http://www.aidsindonesia.com/search/label/Perda%20AIDS%20Prov%20Riau).
Mursal boleh-boleh saja menepuk dada: Di Riau tidak ada (lagi) pelacuran!
Ya, Mursal benar karena Teleju sudah ditutup. Tapi, tunggu dulu. Apakah di
Riau tidak ada praktek pelacuran?
Tentu saja ada. Coba tanya karyawan penginapan, losmen, hotel melati dan
hotel berbintang, tukang ojek dan sopir taksi. Mereka dengan sigap akan
bersedia mencari ‘cewek’ sesuai dengan permintaan.
Di Bagansiapiapi, Kab Rokan Hilir, misalnya, seorang karyawan hotel mengaku
sering mencari ‘cewek’ sesuai pesananan tamu. “Tapi kalau ‘amoy’ susah, Pak,”
kata karyawan hotel itu. Tarif pun bervariasi tergantung pada ‘kualitas’ cewek
yaitu kecantikan dan kemolekan si cewek.
Agaknya, Pemprov Riau merasa aman dan tenang karena tidak ada lokalisasi
pelacuran. Tapi, rasa aman dan tenang itu semu karena praktek pelacuran terjadi
setiap saat.
Buktinya dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu
rumah tangga dan bayi. Mereka itu umumnya tertular dari suami. Tentu saja suami
mereka tertular dari perempuan lain, al. PSK.
Maka, selama Pemprov Riau tidak mempunyai program yang konkret untuk
menanggulangi penyebaran HIV/AIDS, maka selama itu pula insiden infeksi HIV
baru akan terus terjadi yang pada akhirnya akan bermuara pada ’ledakan AIDS’. ***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.