Tanggapan Berita (21/2-2013)
– Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin, Kalimantan Selatan, melalui kantor
Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat menyediakan sebuah Puskesmas khusus.
Puskesmas itu khusus menangani penderita virus mematikan human
immunodeficiency virus and acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS)
di daerah tersebut) [Banjarmasin
Bangun Puskesmas Khusus AIDS, republika.co.id,
20/2-2013].
Ada beberapa hal yang perlu
dikoreksi pada pernyataan dalam berita di atas, yaitu:
Pertama, HIV/AIDS bukan virus
(penyebab yang) mematikan karena belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS
karena HIV atau AIDS.
Kedua, kematian pada pengidap
HIV/AIDS terjadi karena penyakit lain, disebut infeksi oportunistik, seperti
diare dan TB. Penyakit ini muncul pada masa AIDS, yaitu kondisi yang
menunjukkan sistem kekebalan tubuh yang sangat rendah, yang secara statistik
terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.
Ketiga, tidak diperlukan
fasilitas, seperti ruang perawatan dan peralatan, yang khusus untuk pengidap
HIV/AIDS.
Menjadikan puskesmas yang khusus
menangani penderita atau pengidap HIV/AIDS justru mengesankan (penanganan)
HIV/AIDS berbeda dengan penyakit lain. Ini akan mendorong masyarakat melakukan
stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap pengidap
HIV/AIDS.
Yang diperlukan bukan puskesmas
yang khusus menangani pengidap HIV/AIDS, tapi membekali tanaga medis dan
nonmedis di semua sarana kesehatan agar menangani pengidap HIV/AIDS seperti
pasien lain, al. dengan melalukan kewaspadaan umum seperti halnya penanganan
penyakit menular lain.
Dengan menyebutkan puskesmas yang
dikhususkan untuk HIV/AIDS, seperti yang dikemukakan oleh Kepala Diskes
Banjarmasin, Drg Diah R Praswasti, yaitu Puskesmas Pekauman, maka masyarakat
pun akan menjauhi puskesmas itu karena dikhususkan untuk penyakit HIV/AIDS.
Padahal, banyak kasus HIV/AIDS
terdeteksi justru berawal dari penyakit lain, seperti diare dan TB. Dokter
curiga karena penyakit tsb. sulit sembuh pada pasien maka dianjurkan untuk tes
HIV dengan melihat riwayat seks ybs. atau pasangannya.
Lagi pula pasien yang datang
berobat ke Puskesmas Pekauman tentulah orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap
HIV/AIDS. Ini adalah langkah penanganan atau penanggulangan di hilir. Artinya,
Dinkes Kota Banjarmasin menunggu dulu ada penduduk yang tertular HIV kemudian
menjalani tes HIV baru ditangani di Puskesmas Pekauman.
Disebutkan pula bahwa karena puskesmas
tersebut melayani perawatan penderita penyakit HIV/AIDS, maka petugas
kesehatannya diberikan pelatihan mengenai perawatan penyakit tersebut.
Puskesmas juga dilengkapi berbagai fasilitas yang bisa menangani penyakit
tersebut.
Pernyataan di atas mengesankan
orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS atau penderita HIV/AIDS otomatis
harus dirawat. Ini yang menyesatkan dan mendorong stigma terhadap pengidap
HIV/AIDS. Tidak semerta orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS harus
dirawat.
Disebutkan oleh Diah bahwa serangan
AIDS di kota Banjarmasin terus meningkat. Itu sungguh merisaukan hingga
memerlukan kewaspadaan kita semua untuk menanggulanginya.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota
Banjarmasin dilaporkan 85 yang terdiri atas 52 HIV dan 33 AIDS.
HIV/AIDS tidak menyerang. Yang
terjadi adalah penyebaran HIV/AIDS di Kota Banjarmasin terjadi al. melalui
hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, yang dilakukan oleh
laki-laki dewasa. Penyebaran tanpa disadari karena orang-orang yang sudah mengidap
HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada
tanda-tanda yang khas pada fisik mereka.
Laki-laki dewasa yang menjadi
mata rantai penyebaran HIV adalah yang tertular HIV, al. melalui hubungan
seksual tanpa kondom dari pekerja seks komersial (PSK) baik di Kota Banjarmasin
maupun di luar Kota Banjarmasin.
Di Kota Banjarmasin memang tidak
ada lokalisasi pelacuran, tapi praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat
dan sembarang waktu, seperti di penginapan, losmen, hotel melati dan hotel
berbintang.
Celakanya, dalam Perda AIDS Kota
Banjarmasih sama sekali tidak ada pasal yang memberian cara yang konkret untuk
menanggulangi penyebaran HIV (Lihat: Perda
AIDS Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kota-banjarmasin-kalimantan.html).
Selama Pemkot Banjarmasin tidak
mempunyai program yang konkret berupa intervensi yang bisa memaksa laki-laki
memakai kondom setiap kali melacur, maka penyebaran HIV/AIDS di Kota
Banjarmasin akan terus terjadi.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.