Media
Watch (15/2-2013) - Pemerintah Kota (Pemkot) Probolinggo, Jawa Timur,
menerbitkan peraturan daerah yaitu Perda No 9 Tahun 2005 tanggal 7 April 2005
tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS.
Di
pasal 7 ayat a disebutkan: “Setiap orang yang telah megetahui dirinya
terinfeksi HIV, dilarang melakukan hubungan seksual dengan orang lain, kecuali
bila pasangannya yang sah telah diberitahu tentang status HIV nya dan secara
sukarela menerima resiko tersebut.”
Fakta
menunjukkan lebih dari 90 persen insiden penularan HIV melalui hubungan seksual
di dalam dan di luar nikah terjadi tanpa disadari. Data tentang ibu-ibu rumah
tangga yang terdeteksi HIV/AIDS juga menunjukkan bahwa banyak suami yang
perilakunya berisiko tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV sehingga dia
tidak memakai kondom ketika sanggama dengan istrinya.
Yang
menjadi persoalan besar dalam epidemi HIV adalah banyak orang yang tidak
menyadari dirinya sudah tertular HIV karena selama ini informasi tentang
cara-cara penularan HIV tidak akurat. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV
dengan zina, pelacuran, ‘seks bebas’, pergaulan bebas, ‘jajan’, waria,
homoseksual, dll. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi
di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu dari
pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali
sanggama (kondisi hubungan seksual).
Seseorang
berisiko tertular HIV jika: (a) seorang laki-laki atau perempuan dewasa pernah
atau sering melakukan hubungan seskual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah
dengan pasangan yang berganti-ganti, (b) seorang laki-laki dewasa pernah atau
sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah
dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial
(PSK) langsung (pekerja seks di lokasi atau lokalisasi pelacuran, cewek
panggilan di losmen, motel, rumah, apartemen, hotel melati dan hotel
berbintang) dan PSK tidak langsung (’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak
sekolah’, ’cewek SPG’, selingkuhan, WIL, perempuan pemijat di panti pijat
plus-plus, waria pekerja seks, dll.) serta perempuan pelaku kawin-cerai.
Kalau
saja perda ini menyasar perilaku berisiko tentulah penanggulangan bisa
dilakukan dengan konkret. Di pasal 4 ayat 2 disebutkan: “Pemerintah Daerah
harus selalu berupaya mengembangkan kebijakan yang menjamin efektivitas usaha
pencegahan dan penanggulangan infeksi HIV/AIDS guna melindungi setiap orang
dari infeksi HIV termasuk kelompok rawan.”
Apa
langkah yang merupakan kebijakan Pemkot Probolinggo untuk mewujudkan pasal 4
ayat 2 itu? Di pasal 4 ayat 4 huruf c disebutkan: “Kebijakan dapat dilakukan
dengan mengembangkan jejaring untuk mengembangkan pelaksanaan penggunaan kondom
dan alat suntik steril di lingkungan kelompok yang mempunyai perilaku resiko
tinggi.” Lagi-lagi ini hanya normatif karena tidak jelas tempat (subjek) dan
sasarannya (objek).
Karena
program terkait dengan penurunan insiden infeksi HIV baru melalui hubungan
seksual pada laki-laki dewasa mengacu ke program ‘wajib kondom 100 persen’ di
Thailand, maka yang dilakukan di Indonesia tidak realistis karena berpijak pada
moral. Maka, yang perlu dilakukan adalah menerapkan program itu di lokasi atau
lokalisasi pelacuran di Kota Probolinggo.
Masalahnya
adalah banyak pemerintah daerah di Indonesia yang menepuk dada setelah menutup
lokalisasi pelacuran: Daerah saya bebas pelacuran! Daerah saya bebas maksiat!
Pemprov Jawa Timur akan menutup semua lokalisasi pelacuran, tapi apakah praktek
pelacuran akan hilang?
Boleh-boleh
saja menepuk dada karena tidak ada kegiatan pelacuran yang kasat mata. Tapi,
tunggu dulu. Apakah di daerah tsb. tidak ada praktek pelacuran? Praktek
pelacuran tetap saja terjadi di sembarang tempat dan setiap saat. Ibarat
membuat jarum ke semak-semak tidak dilihat mata tapi dilihat hati.
Akan
lebih bijaksana kalau Pemkot Probolinggo membuat regulasi berupa penyediaan
tempat rehabilitasi dan resosialisasi (resos) pelacuran agar program ‘wajib
kondom 100 persen’ bisa diterapkan secara konsisten. Setiap pemilik wisma diberikan
izin usaha. Secara rutin PSK yang bekerja di wisma menjalani tes IMS (infeksi
menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungans
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti GO (kencing nanah),
sifilis (raja singa), klamidia, hepatitis B, dll.). Kalau ada PSK yang
terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan PSK tsb. meladeni laki-laki
‘hidung belang’ tanpa kondom. Germo diberikan sanksi mulai dari teguran sampai
pencabutan izin usaha. Bahkan, bisa juga dalam bentuk
pidana kurungan sebagai efek jera.
Perda AIDS Prov Jawa Timur
sendiri tidak mengakomodir program ’wajib kondom 100 persen’ sehingga perda itu
tidak membumi.
Sanksi diberikan kepada germo
karena fakta menunjukkan posisi tawar PSK sangat lemah. Laki-laki ’hidung
belang’ akan memakai tangan germo untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom.
Maka, yang menerima sanksi adalah germo.
Jika Pemkot Probolinggo tetap
menafikan praktek pelacuran dengan PSK langsung dan PK tidak langsung maka
selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. Tinggal menunggu ’panen’
AIDS karena kasus-kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat akan menjadi ’bom
waktu’ ledakan AIDS. ***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.