Tanggapan Berita (20/2-2013)
– Sebanyak 143 orang di Banten meninggal akibat Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Ini disampaikan oleh
Wakil Ketua I pada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten, Djaja Budi
Suhardja di berita “143 Orang
Meninggal Karena HIV/AIDS” (tempo.co,
19/2-2013).
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov
Banten dari tahun 1998 sampai 2013 tercatat 2.705 yang terdiri atas 1.834 HIV
dan 871 AIDS dengan 143 kematian.
Tidak jelas apakah pernyataan
pada berita yang menyebutkan bahwa 143 kematian tsb. HIV/AIDS berasal dari
Djaja atau penafsiran wartawan. Soalnya, kematian pada pengidap HIV/AIDS bukan
karena HIV atau AIDS, tapi karena penyakit lain yang disebut infeksi
oportunistik, seperti diare dan TB.
Sayang, dalam berita tidak
dijelaskan penyakit yang menyebabkan kematian pada 143 pengidap HIV/AIDS tsb.
Akibatnya, berita itu mengesankan kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV atau
AIDS. Ini menyesatkan.
Penyakit infeksi oportunistik itu
muncul di masa AIDS yaitu secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah
tertular HIV.
Pada rentang waktu antara
tertular sampai masa AIDS orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak menunjukkan
gejala yang khas AIDS. Tapi, pada rentang waktu itu pengidap HIV/AIDS sudah
bisa menularkan HIV kepada orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah.
Jika dikaitkan dengan rentang
waktu masa AIDS, maka kemungkinan penularan HIV pada 143 pengidap HIV/AIDS yang
meninggal pada rentang waktu antara tahun 1998-2013 terjadi antara tahun 1983
dan 2008.
Kalau ada di antara yang
meninggal itu suami, maka ada risiko penularan pada istrinya (horizontal). Jika
istrinya tertular HIV maka ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandungnya
kelak (vertikal).
Jika laki-laki yang meninggal
terkait AIDS itu mempunyai istri lebih dari satu, maka kian banyak perempuan
yang berisiko tertular HIV.
Yang jadi persoalan besar adalah
kalau di antara yang meninggal itu ada pekerja seks komersial (PSK), maka sudah
ada 3.600-10.800 laki-laki yang berisiko tertular HIV (1 PSK x 3
laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 5 atau 15 tahun).
Realitas sosial itulah yang
sering luput dari perhatian pemerintah dan aktivis AIDS. Celakanya,
penanggulangan HIV/AIDS diandalkan melalui peraturan daerah (perda). Padahal,
dari 65 perda AIDS (provinsi, kabupaten dan kota) yang ada di Indonesia tidak
satu pun perda yang mempunyai program penanggulangan yang konkret. Termasuk
Perda AIDS Prov Banten (Lihat: Perda
AIDS Provinsi Banten-http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-provinsi-banten.html).
Disebutkan oleh Djaja bahwa Pemprov Banten pada tahun 2013 mengalokasikan anggaran sekitar Rp 18,4 miliar yang tersebar di sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk menanggulangi HIV/AIDS. Sedangkan anggaran Dinas Kesehatan Prov Banten khusus untuk penanganan HIV/AIDS tahun ini dianggarkan sekitar Rp 1,6 miliar.
Disebutkan oleh Djaja bahwa Pemprov Banten pada tahun 2013 mengalokasikan anggaran sekitar Rp 18,4 miliar yang tersebar di sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk menanggulangi HIV/AIDS. Sedangkan anggaran Dinas Kesehatan Prov Banten khusus untuk penanganan HIV/AIDS tahun ini dianggarkan sekitar Rp 1,6 miliar.
Biar pun dana besar, tapi kalau program penanggulangan tidak konkret, maka
tidak akan ada manfaatnya. Arang habis besi binasa.
Apakah Pemprov Banten bisa menjamin di Banten tidak ada pelacuran?
Pemprov Banten tentu saja membusungkan dada dengan mengatakan: Tidak ada!
Itu memang benar, tapi tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokalisasi
pelacuran yang ditangani dinas sosial. Sedangkan praktek pelacuran terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu.
Maka, apa cara yang konkret akan dijalankan Pemprov Banten untuk mencegah
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui pelacuran?
Tentu saja tidak ada dan tidak akan bisa diijalankan karena pelacuran
terjadi di banyak tempat sehingga tidak bisa dijangkau. Selain melibatkan PSK
langsung (PSK yang mangkal di tempat-tempat tertentu, termasuk PSK jalanan)
pelacuran di Banten juga diramaikan dengan PSK tidak langsung (cewek di
diskotek, kafe, tempat hiburan malam, ’ayam kampus’, pelajar, dll.).
Praktek pelacuran, seperti di Kab Serang, dibenarkan oleh Muhti Ali,
Pengelola Program KPA Kabupaten Serang: "Tahun ini pihak kami belum
menerima laporan. Kemungkinan besar akan kembali ditemukan, mengingat prilaku
seks bebas dengan Pekerja Seks Komersial semakin banyak."
Pertanyaan untuk Muhti: Apa langkah konkret yang dilakukan KPA Kab Serang
untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui pelacuran?
Tentu saja tidak ada. Padahal, kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Kab Serang itu
tidak menunjukkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena penyebaran
HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi
digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut,
sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan es di bawah
permukaan air laut (Lihat gambar).
Selama Pemprov Banten tidak mempunyai program yang konkret untuk
menanggulangi penyebaran HIV/AIDS, maka selama itu pula penularan HIV baru
terus terjadi di masyarakat dengan laki-laki ’hidung belang’ sebagai agen (mata
rantai) penularan. ***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W.
Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.