Tanggapan Berita (22/2-2013)
– “Langkah Pemerintah Makin Mantap dalam
Memerangi HIV-AIDS” Ini judul berita di detikHealth (21/02/2013).
Judul itu bukan berita jurnalistik,
tapi merupakan judul rilis humas atau publikasi pemerintah.
Jika berita diselisik ternyata
tidak ada penjelasan yang rinci tentang langkah konkret pemerintah dalam
memerangi HIV/AIDS.
Disebutkan bahwa pemerintah memiliki target agar
Indonesia terbebas dari kasus baru HIV-AIDS di tahun 2015.
Kasus kumulatif HIV/AIDS sejak tahun 1987 hingga September
2012 di Indonesia mencapai 131.685 yang
terdiri atas 92.251 HIV dan 39.434 AIDS. Dengan 7,293 kematian. Sedangkan di DI
Yogyakarta dilaporkan 1,634 HIV dan 712 AIDS yang menempatkan DI Yogyakarta
pada peringkat 11 secara nasional.
Bagaimana cara untuk membebaskan
kasus HIV/AIDS baru di Indonesia tahun 2015?
Disebutkan yaitu untuk mewujudkan
hal tersebut, pemerintah berupaya meningkatkan berbagai sarana informasi dan
fasilitas kesehatan yang mencakup seluruh wilayah di Indonesia.
Pertama, apakah informasi
yang disebarluaskan pemerintah berisi inforarmasi yang akurat tentang cara-cara
yang konkret untuk mencegah penularan HIV?
Fakta menunjukkan informasi yang
disebarluaskan selama ini selalu dibumbui dengan moral sehingga yang muncul
hanya mitos (anggapan yang salah). Lihat saja brosur “ABAT” (Aku Bangga Aku
Tahu) yang sama sekali tidak memberikan cara pencegahan yang konkret dan
cenderung mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakukan berbeda)
terhadap pengidap HIV/AIDS (Lihat: “ABAT”
(Aku Bangga Aku Tahu) yang Tidak Memberikan Cara Pencegahan yang Eksplisit-
http://www.aidsindonesia.com/2012/11/abat-aku-bangga-aku-tahu-yang-tidak.html).
Kedua, apakah ada jaminan
informasi yang tidak akurat tsb. bisa merubah perilaku sebagian orang yang
tidak mau memakai kondom ketika melacur akan otomatis memakai kondom ketika
melacur atau tidak lagi melacur?
Ketiga, berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk merubah perilaku berisiko?
Keempat, apakah pada
rentang waktu awal pemberitan informasi sampai perubahan perilaku bisa dijamin
yang menerima informasi tidak akan melakukan perilaku berisiko, al. melacur
tanpa kondom?
Kelima, fasilitas
kesehatan adalah langkah di hilir. Artinya,
dibiarkan dulu ada penduduk yang tertular HIV baru kemudian ditangani di
fasilitas kesehatan.
Kasus-kasus insiden infeksi HIV baru pada rentang waktu sosialisasi sampai
tahun 2015 akan terdeteksi setelah tahun 2015 jika pemerintah tidak mempunyai
program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki
yang melacur.
Bahkan, pada rentang waktu 2013-2015 juga akan terjadi insiden infeksi HIV
baru. Yang tertular menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat al.
melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah karena mereka
tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS.
Disebutkan bahwa jika tidak segera ditangani, pasien dengan HIV akan
mengembangkan AIDS dan akhirnya meninggal dunia karena daya tahan tubuhnya
semakin menurun. Semakin dini diagnosa terhadap HIV, maka pengobatan akan lebih
cepat diberikan sebelum HIV berkembang menjadi AIDS.
Persoalannya adalah: Apakah
pemerintah mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi
penduduk yang sudah mengidap HIV/AIDS?
Tentu saja tidak ada. Maka, yang
lebih banyak ditangani adalah orang-orang yang terdeteksi ketika berobat karena
penyakit yang terkait dengan infeksi HIV/AIDS. Itu artinya terjadi pembiaran
bagi orang-orang yang sudah tertular HIV tapi belum terdeteksi.
Disebutkan lagi bahwa sayangnya, masih banyak orang yang berisiko tinggi terhadap HIV-AIDS dan belum memeriksakan dirinya ke dokter untuk memastikan apakah positif terinfeksi atau tidak. Alasannya, mungkin disebabkan karena kurangnya informasi tentang bagaimana seseorang dikatakan berisiko atau rasa takut jika benar-benar dinyatakan positif mengidap HIV-AIDS.
Selama ini informasi tentang
perilaku berisiko hanya dikaitkan melacur dengan pekerja seks komersial (PSK)
di pelacuran terbuka, seperti lokasi pelacuran dan pelacur jalanan. Celakanya,
banyak laki-laki yang melakukan perilaku berisiko tidak merasa berisiko karena
dilakukan dengan perempuan yang bukan PSK, tapi ‘cewek’ panggilan ke hotel,
‘cewek diskotek’, ‘cewek kafe’, ‘ayam kampus’, dll., dan hubungan seksual
dilakukan di hotel berbintang atau apartemen mewah.
Belakangan terungkap pula kian
banyak pelacuran online dan gratifikasi seks yang melibatkan cewek-cewek
cantik, mulus dan berpendidikan. Jika dikaitkan dengan informasi yang selama
ini disebarluaskan, maka mereka beranggapan itu tidak berisiko (Lihat: Gratifikasi Seks (Akan) Mendorong
Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia - http://www.aidsindonesia.com/2013/01/gratifikasi-seks-akan-mendorong.html).
Menurut Drs A Riswanto, MSi,
Sekretaris KPA DI Yogyakarta: "Sehingga adanya peningkatan jumlah kasus
HIV-AIDS dapat dijadikan indikator keberhasilan pihak pemerintah dalam
mensosialisasikan informasi tentang HIV-AIDS dan menyadarkan orang yang
berisiko tinggi untuk melakukan uji HIV-AIDS.”
Yang luput dari perhatian adalah
penemuan kasus HIV/AIDS adalah langkah di hilir. Artinya, pemerintah membiarkan
penduduk tertular HIV (di hulu) baru kemudian dideteksi melalui tes HIV.
Selain itu perlu pula dipertanyaan:
(1) Berapa persen kasus HIV/AIDS
terdeteksi di rumah sakit ketika berobat?
(2) Berapa persen kasus HIV/AIDS
terdeteksi di klinik-klinik tes HIV karena mereka dibawa oleh orang lain,
seperti aktivis AIDS dan LSM?
(3) Berapa persen kasus HIV/AIDS
terdeteksi di klinik-klnik tes HIV karena mereka datang sendiri?
(4) Apakah tidak ada kasus double
counting? Soalnya, ada insentis (uang) bagi institusi yang membawa orang untuk
tes HIV, maka bisa terjadi satu orang dibawa berulang kali dengan identitas
berbeda.
Jika pemerintah hanya mengandalkan program yang tidak konkret, maka insiden
infeksi HIV baru akan terus terjadi. Di Kota Jogja, misalnya, ada lokasi
pelacuran yaitu ’Sarkem’ di Jalan Pasar Kembang.
Apakah Pemkot Yogyakarta mempunyai program yang konkret untuk menurunkan
insiden infeksi HIV baru pada praktek pelacuran di ’Sarkem’?
Tidak ada. Yang terjadi adalah aktivis melalukan sosialisasi agar laki-laki
memakai kondom ketika melacur, tapi karena posisi tawar PSK sangat rendah maka
sering terjadi laki-laki menolak memakai kondom.
Bahkan, Perda AIDS DI Yogyakarta pun sama sekali tidak memberikan cara-cara
yang konkret untuk menanggulangi insiden infeksi HIV baru di ’Sarkem’ (Lihat: Perda AIDS DI Yogyakarta- http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-di-yogyakarta.html).
Untuk menanggulangi insiden infeksi HIV baru yang diperlukan adalah langkah
yang konkret bukan sekedar menyebarluaskan informasi dan menyediakan fasilitas
kesehatan. ***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W.
Harahap
PUSAT PEMBESAR PENIS, OBAT KUAT TAHAN LAMA, PERANGSANG WANITA, KOSMETIK, DAN ACCESORIES SEX P/W TERLENGKAP...!!
BalasHapus✔ Pembesar Penis Cepat
✔ Vakum Pembesar Penis
✔ Obat Kuat Sex
✔ Obat Penggemuk Badan
✔ Pelangsing Tubuh Cepat
✔ Perontok Bulu Kaki
✔ Penis Ikat Pinggang
✔ Alat Pembesar Payudara
✔ Obat perangsang wanita
✔ Vagina Center
✔ Obat Penyubur Sperma
HOTLINE : 0812 3377 0077
PIN BB : 2A70 31BC