Tanggapan Berita (8/2-2013) – “Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi
mengatakan kunci penularan HIV/AIDS adalah pada pria berisiko tinggi (risti)
seperti kelompok ‘mobile men with money’ atau pria yang bekerja jauh
dari rumah, sehingga sasaran sosialisasi akan ditujukan kepada kelompok
tersebut.” Ini lead pada
berita “Kunci Penularan HIV pada Pria
Risiko Tinggi” di kompas.com
(6/2-2013).
Persoalan yang sangat mendasar adalah:
(1) Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar sosialisasi berhasil, artinya
laki-laki risti itu tidak lagi melakukan perilaku beriko tertular HIV, seperti
melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan
perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti
pasangan?
(2) Apakah ada jaminan selama masa sosialisasi laki-laki risti itu tidak
akan melakukan perilaku berisiko?
(3) Apakah semua laki-laki risti bisa dijangkau untuk memberikan
sosialisasi agar mereka tidak melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV?
Jawaban terhadap pertanyaan nomor 1 tentu saja tidak bisa diketahui.
Sedangkan jawaban untuk pertanyaan nomor 2 pun tidak ada jaminan. Begitu pula
dengan jawaban pertanyaan nomor 3 tentulah tidak bisa semua laki-laki ristri
bisa dijangkau.
Tapi, ada satu titik yang menjadi pusat perhatian dari tiga pertanyaan
tsb., yaitu (praktek) pelacuran. Celakanya, di Indonesia pelacuran tidak
dilokalisir sehingga pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Kondisinya kian runyam karena banyak laki-laki yang merasa tidak melacur
karena mereka melakukan hububugan seksual dengan perempuan yang bukan pekerja
seks komersial (PSK) dan tidak pula dilakukan di lokasi atau lokalisasi
pelacuran, tapi di hotel berbintang dan apatemen mewah.
Mereka lupa perempuan yang mereka sebut bukan PSK itu adalah juga PSK yang
dikenal sebagai PSK tidak langsung, seperti ’cewek kafe’, ’cewek diskotek’,
’mahasiswi’, ’anak sekolah’, ’ibu-ibu rumah tangga’, dll. PSK tidak langsung
ini juga berisiko tinggi tertular HIV karena mereka meladeni laki-laki yang
berganti-ganti dengan hubungan seksual tanpa kondom.
Bekalangan terungkap bahwa selain sogokan uang dan materi, kini ada pula
sogokan perempuan yang dikenal sebagai gratifikasi seks. Cewek yang disodorkan
cantik, mulus, berpendidikan, naik mobil mewah dan ’main’ di hotel berbintang atau apartemen mewah. Tapi, cewek
gratifikasi seks itu juga tergolong PSK tidak langsung (Lihat: Gratifikasi Seks (Akan) Mendorong Penyebaran
HIV/AIDS di Indonesia - http://www.aidsindonesia.com/2013/01/gratifikasi-seks-akan-mendorong.html).
Maka, segencar apa pun
sosialisasi terhadap laki-laki risti, tetap saja hasilnya nol besar karena
selama proses sosialisasi ada saja di anta4ra mereka tetap ngeseks (Lihat
Matriks).
Untuk itulah pada rentang waktu
sosialisasi juga ada program yang konkret berupa intervensi terhadap laki-laki
untuk memaksa mereka memakai kondom ketika melacur dengan PSK.
Untuk menjalankan program
intervensi itu praktek pelacuran harus dilokalisir sehingga program bisa
diterapkan secara efektif. Langkah ini sudah dijalankan Thailand yang
menunjukkan hasil yang baik yaitu penurunan kasus baru pada laki-laki dewasa.
Disebutkan oleh Menkes bahwa ada sekitar delapan juta pria yang pindah dari
tempat tinggalnya untuk mencari pekerjaan.
Berapa persen pun dari delapan juta itu yang menyalurhkan dorongan seks ke
pelacuran itu merupakan awal malapetaka karena yang tertular HIV akan menjadi
mata rantai penyebaran HIV. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya
atau pasangan lain dan PSK. Kalau istrinya tertular, ada pula risiko penularan
HIV ke bayi yang dikandungnya kelak.
Diperlukan pula langkah yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS, al. pada
perempuan hamil, al. ibu rumah tangga. Dengan program yang sistematis akan
dapat dideteksi perempuan yang mengidap HIV yaitu melalui skirining rutin
terhadap perempuan hamil. Langkah ini sudah diterapkan di Malaysia.
Disebutkan pula bahwa para pria yang antara lain bekerja di tempat
terpencil seperti perkebunan maupun pertambangan itu diindikasikan merupakan
pengunjung tetap lokalisasi sehingga penyebaran HIV/AIDS diperkirakan tinggi di
kalangan pria tersebut.
Celakannya, pemerintah pusat dan pemerintah darah (provinsi, kabupaten dan
kota) selalu menampik bahwa di daerahnya ada pelacuran hanya karena tidak ada
lokalisasi pelacuran yang ditangani dinas sosial.
Kondisi itulah yang membuat penyebaran HIV tidak bisa dikendalikan karena
praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga
prorgram ’wajib kondom’ bagi laki-laki tidak bisa dijalankan dengan efektif.
Ini pernyataan Menkes Nafsiah: "Jadi kunci utamanya di laki-laki, kita
promosikan sebagai pria bertanggungjawab, harus menggunakan kondom untuk
perilaku seks berisiko."
Persoalannya adalah: Bagaimana menjamin agar laki-laki yang melacur dengan
PSK langsung dan PSK tidak langsung memakai kondom setiap kali sanggama?
Tanpa mekanisme yang konkret dengan pemantauan yang sistematis, maka
anjuran pemakaian kondom hanyalah baik ’anjing menggonggong kafilah
berlalu’. Tinggal menunggu waktu saja
untuk ’panen AIDS’.***
- AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.