07 Februari 2013

Menggantang Asap: Sosialisasi (Kondom) Tanpa Intervensi Program Konkret


Tanggapan Berita (8/2-2013) – “Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan kunci penularan HIV/AIDS adalah pada pria berisiko tinggi (risti) seperti kelompok ‘mobile men with money’ atau pria yang bekerja jauh dari rumah, sehingga sasaran sosialisasi akan ditujukan kepada kelompok tersebut.” Ini lead pada berita “Kunci Penularan HIV pada Pria Risiko Tinggi” di kompas.com (6/2-2013).

Persoalan yang sangat mendasar adalah:

(1) Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar sosialisasi berhasil, artinya laki-laki risti itu tidak lagi melakukan perilaku beriko tertular HIV, seperti melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan?

(2) Apakah ada jaminan selama masa sosialisasi laki-laki risti itu tidak akan melakukan perilaku berisiko?

(3) Apakah semua laki-laki risti bisa dijangkau untuk memberikan sosialisasi agar mereka tidak melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV?

Jawaban terhadap pertanyaan nomor 1 tentu saja tidak bisa diketahui. Sedangkan jawaban untuk pertanyaan nomor 2 pun tidak ada jaminan. Begitu pula dengan jawaban pertanyaan nomor 3 tentulah tidak bisa semua laki-laki ristri bisa dijangkau.

Tapi, ada satu titik yang menjadi pusat perhatian dari tiga pertanyaan tsb., yaitu (praktek) pelacuran. Celakanya, di Indonesia pelacuran tidak dilokalisir sehingga pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Kondisinya kian runyam karena banyak laki-laki yang merasa tidak melacur karena mereka melakukan hububugan seksual dengan perempuan yang bukan pekerja seks komersial (PSK) dan tidak pula dilakukan di lokasi atau lokalisasi pelacuran, tapi di hotel berbintang dan apatemen mewah.

Mereka lupa perempuan yang mereka sebut bukan PSK itu adalah juga PSK yang dikenal sebagai PSK tidak langsung, seperti ’cewek kafe’, ’cewek diskotek’, ’mahasiswi’, ’anak sekolah’, ’ibu-ibu rumah tangga’, dll. PSK tidak langsung ini juga berisiko tinggi tertular HIV karena mereka meladeni laki-laki yang berganti-ganti dengan hubungan seksual tanpa kondom.

Bekalangan terungkap bahwa selain sogokan uang dan materi, kini ada pula sogokan perempuan yang dikenal sebagai gratifikasi seks. Cewek yang disodorkan cantik, mulus, berpendidikan, naik mobil mewah dan ’main’ di hotel  berbintang atau apartemen mewah. Tapi, cewek gratifikasi seks itu juga tergolong PSK tidak langsung (Lihat: Gratifikasi Seks (Akan) Mendorong Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia - http://www.aidsindonesia.com/2013/01/gratifikasi-seks-akan-mendorong.html).   

Maka, segencar apa pun sosialisasi terhadap laki-laki risti, tetap saja hasilnya nol besar karena selama proses sosialisasi ada saja di anta4ra mereka tetap ngeseks (Lihat Matriks).

Untuk itulah pada rentang waktu sosialisasi juga ada program yang konkret berupa intervensi terhadap laki-laki untuk memaksa mereka memakai kondom ketika melacur dengan PSK.

Untuk menjalankan program intervensi itu praktek pelacuran harus dilokalisir sehingga program bisa diterapkan secara efektif. Langkah ini sudah dijalankan Thailand yang menunjukkan hasil yang baik yaitu penurunan kasus baru pada laki-laki dewasa.

Disebutkan oleh Menkes bahwa ada sekitar delapan juta pria yang pindah dari tempat tinggalnya untuk mencari pekerjaan.

Berapa persen pun dari delapan juta itu yang menyalurhkan dorongan seks ke pelacuran itu merupakan awal malapetaka karena yang tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya atau pasangan lain dan PSK. Kalau istrinya tertular, ada pula risiko penularan HIV ke bayi yang dikandungnya kelak.

Diperlukan pula langkah yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS, al. pada perempuan hamil, al. ibu rumah tangga. Dengan program yang sistematis akan dapat dideteksi perempuan yang mengidap HIV yaitu melalui skirining rutin terhadap perempuan hamil. Langkah ini sudah diterapkan di Malaysia.

Disebutkan pula bahwa para pria yang antara lain bekerja di tempat terpencil seperti perkebunan maupun pertambangan itu diindikasikan merupakan pengunjung tetap lokalisasi sehingga penyebaran HIV/AIDS diperkirakan tinggi di kalangan pria tersebut.

Celakannya, pemerintah pusat dan pemerintah darah (provinsi, kabupaten dan kota) selalu menampik bahwa di daerahnya ada pelacuran hanya karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang ditangani dinas sosial.

Kondisi itulah yang membuat penyebaran HIV tidak bisa dikendalikan karena praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga prorgram ’wajib kondom’ bagi laki-laki tidak bisa dijalankan dengan efektif.

Ini pernyataan Menkes Nafsiah: "Jadi kunci utamanya di laki-laki, kita promosikan sebagai pria bertanggungjawab, harus menggunakan kondom untuk perilaku seks berisiko."

Persoalannya adalah: Bagaimana menjamin agar laki-laki yang melacur dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung memakai kondom setiap kali sanggama?

Tanpa mekanisme yang konkret dengan pemantauan yang sistematis, maka anjuran pemakaian kondom hanyalah baik ’anjing menggonggong kafilah berlalu’.  Tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.