Tanggapan Berita (27.2-2013)
– “Mengantisipasi penyebaran HIV/AIDS di kalangan sopir angkutan umum, Dinas
Perhubungan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Cimahi mengadakan tes
kesehatan.” Ini lead pada berita “Pemkot
Cimahi Tes Sopir Angkot Antisipasi Penyebaran HIV/AIDS” di Tribunnews.com
(25/2-2013).
Pernyataan pada lead berita ini
dikesankan terjadi hubungan seksual, dalam hal ini homoseksual yaitu seks anal,
antar sopir angkutan umum karena disebutkan “penyebaran HIV/AIDS di kalangan
sopir angkutan umum”.
Tidak dijelaskan bagaimana
sopir-sopir angkutan umum itu berisiko tertular HIV.
Maka, tidak pula jelas bagaimana
terjadi penyebaran HIV/AIDS di kalangan sopir-sopir angkutan umum di Kota
Cimahi, Jabar, itu.
Karena tidak ada keterangan atau
penjelasan tentang faktor risiko (cara penularan HIV) pada sopir-sopir itu,
maka pernyataan “penyebaran HIV/AIDS di kalangan sopir angkutan umum” bisa
mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap
sopir-sopir angkutan umum di Cimahi.
Disebutkan pula: “Tes kesehatan
ini selain sebagai pencegahan HIV/AIDS juga untuk mengontrol kesehatan para
sopir angkutan umum.”
Tes HIV bukan untuk mencegah
HIV/AIDS, tapi untuk mengetahui status HIV seseorang. Hal lain yang luput dari
kegiatan tes itu adalah masa jendela pada sopir-sopir itu. Bisa saja terjadi
ada sopir yang ikut tes pada masa jendela yaitu tertular HIV di bawah tiga
bulan sehingga hasil tes tidak akurat.
Kalau Dinkes Kota Cimahi dan KPA
Kota Cimahi bersikeras melakukan tes HIV terhadap sopir angkutan umum, maka itu
dalam ranah survailans tes HIV. Ini dilakukan anonim karena hanya untuk mencari
angka perbandingan antara sopir yang terdeteksi HIV dan yang tidak terdeteksi
HIV.
Ini diperlukan untuk melihat
gambaran besaran kasus, tapi harus ada perbandingannya, misalnya, di kalangan
PNS, mahasiswa, polisi, pekerja seks komersial (PSK), dll. Kalau hanya
dilakukan terhadap sopir hal itu tidak memberikan gambaran yang ril tentang
penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.
Pertanyaan yang sangat mendasar
adalah: Apakah di Kota Cimahi ada pelacuran?
Pemkot Cimahi tentu saja dengan
membusungkan dada mengatakan: Tidak ada!
Ya, itu benar. Tapi, tunggu dulu.
Yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran yang ditangani dinas sosial,
sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Menurut Kepala Seksi Pencegahan
dan Penanggulangan Penyakit (P2P) Dinkes Kota Cimahi, Lina Kusdiawati, program
ini akan dilaksanalan secara rutin.
Kalau dikaitkan dengan
penanggulangan HIV/AIDS tes HIV kepada sopir angkutan umum itu tidak ada
manfaatnya karena laki-laki yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV bukan
hanya sopir angkutan umum.
Disebutkan bahwa Dinas Kesehatan Kota Cimahi kerja sama dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Cimahi untuk memberikan pengetahuan seputar AIDS kepada para sopir.
Kalau hanya sebatas sosialisasi
itu pun tidak akan ada manfaatnya karena tidak ada jaminan dengan sosialisasi
itu otomatis sopir-sopir yang perilakunya berisiko tertular HIV, al. melacur
tanpa kondom, akan berhenti melacur atau melacur dengan memakai kondom.
Maka, yang diperlukan adalah
langkah yang konkret berupa program yang bisa mengintervensi laki-laki agar
memakai kondom ketika melacur.
Tanpa program yang konkret
penyebaran HIV/AIDS di Kota Cimahi akan terus terjadi. ***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.