06 Januari 2013

Transmissi Seksual Mendorong Penyebaran HIV/AIDS di Jawa Barat

Tanggapan Berita (7/1-2013) – “Perkembangan penyebaran virus HIV-AIDS di Jawa Barat pada 2012 terjadi perubahan. Bila sebelumnya penularan tertinggi virus tersebut karena pertukaran jarum suntik di pengguna narkoba suntik, kini disebabkan karena transmisi seksual atau hubungan seksual berlainan jenis yang berisiko.” Ini lead pada berita “Penularan HIV-AIDS Lewat Hubungan Seksual Pada 2012 Tertinggi” di bandung.detik.com (2/1-2013).

Ada beberapa pertanyaan terkait dengan pernyataan di atas, yaitu:

Pertama, mengapa banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada penyalahguna narkoba?

Kedua, bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS pada penyalahguna narkoba terdeteksi?

Ketiga, apakah bisa dibuktikan bahwa HIV/AIDS pada penyalahguna narkoba tertular melalui jarum suntik?

Keempat, mengapa tidak banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi dengan faktor risiko hubungan seksual?

Sayang, dalam berita tidak ada jawaban yang konkret dari empat pertanyaan di atas. Kalau saja pertanyaan itu terjawab, maka pernyataan dalam lead tidak pas karena: Kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada penyalahguna narkoba karena mereka wajib tes HIV ketika hendak menjalani rehabilitasi, sedangkan kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual tidak ada kewajiban untuk tes HIV.

Maka, kasus-kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual terdeteksi, al. ketika mereka berobat ke puskesmas atau rumah sakit dengan keluhan penyakit umum tapi sulit disembuhkan.

Karena pemaparan yang tidak komprehensif, maka berita ini pun tidak memberikan pemahaman yang baik terhadap masyarakat karena mengabaikan realitas sosial.

Data kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Dinas  Kesehatan Jabar sejak 1989 sampai Juni 2012 mencapai 7.375 terdiri atas 2.730 HIV dan 4.645 AIDS.

Kalau saja rilis dari KPA Jabar dan wartawan bisa melihat fenomena yang ada di balik data kasus HIV/AIDS di Jabar tentulah pemaparan akan lebih membuka mata masyarakat yaitu lebih banyak kasus AIDS daripada HIV. Artinya, statistik masa AIDS terjadi setelah tertular HIV antara 5-15 tahun. Pada rentang waktu antara 5-15 tahun orang-orang yang mengidap HIV/AIDS sudah menularkan HIV kepada orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada orang-orang yang sudah tertular HIV.

Karena penularan HIV/AIDS di Jabar banyak terjadi melalui transmissi seksual, maka pertanyaannya adalah: Bagaimana penyebaran HIV melalui transmissi seksual terjadi di Jabar?

Lagi-lagi tidak ada jawabannya dalam berita. Penyebaran HIV melalui transmissi seksual bisa terjadi kalau ada laki-laki penduduk Jabar yang melacur tanpa kondom.

Celakanya, Pemprov Jabar akan berkelit: Di Jabar tidak ada pelacuran!

Itu memang benar apalagi lokalisasi pelacuran ’Sariten’ di Bandung sudah ditutup.

Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran, tapi praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Selama Pemprov Jabar tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS di Jabar akan terjadi. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.