Tanggapan Berita (7/1-2013)
– “Perkembangan penyebaran virus HIV-AIDS di Jawa Barat pada 2012 terjadi
perubahan. Bila sebelumnya penularan tertinggi virus tersebut karena pertukaran
jarum suntik di pengguna narkoba suntik, kini disebabkan karena transmisi
seksual atau hubungan seksual berlainan jenis yang berisiko.” Ini lead pada
berita “Penularan HIV-AIDS Lewat Hubungan Seksual Pada
2012 Tertinggi” di bandung.detik.com (2/1-2013).
Ada beberapa
pertanyaan terkait dengan pernyataan di atas, yaitu:
Pertama,
mengapa banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada penyalahguna narkoba?
Kedua,
bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS pada penyalahguna narkoba terdeteksi?
Ketiga,
apakah bisa dibuktikan bahwa HIV/AIDS pada penyalahguna narkoba tertular
melalui jarum suntik?
Keempat,
mengapa tidak banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi dengan faktor risiko hubungan
seksual?
Sayang, dalam berita tidak ada
jawaban yang konkret dari empat pertanyaan di atas. Kalau saja pertanyaan itu
terjawab, maka pernyataan dalam lead tidak pas karena: Kasus HIV/AIDS banyak
terdeteksi pada penyalahguna narkoba karena mereka wajib tes HIV ketika hendak
menjalani rehabilitasi, sedangkan kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan
seksual tidak ada kewajiban untuk tes HIV.
Maka, kasus-kasus HIV/AIDS dengan
faktor risiko hubungan seksual terdeteksi, al. ketika mereka berobat ke
puskesmas atau rumah sakit dengan keluhan penyakit umum tapi sulit disembuhkan.
Karena pemaparan yang tidak
komprehensif, maka berita ini pun tidak memberikan pemahaman yang baik terhadap
masyarakat karena mengabaikan realitas sosial.
Data kasus kumulatif HIV/AIDS
yang dikeluarkan Dinas Kesehatan Jabar sejak 1989 sampai Juni 2012
mencapai 7.375 terdiri atas 2.730 HIV dan 4.645 AIDS.
Kalau saja rilis dari KPA Jabar
dan wartawan bisa melihat fenomena yang ada di balik data kasus HIV/AIDS di
Jabar tentulah pemaparan akan lebih membuka mata masyarakat yaitu lebih banyak
kasus AIDS daripada HIV. Artinya, statistik masa AIDS terjadi setelah tertular
HIV antara 5-15 tahun. Pada rentang waktu antara 5-15 tahun orang-orang yang
mengidap HIV/AIDS sudah menularkan HIV kepada orang lain, al. melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari. Ini terjadi
karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada orang-orang yang sudah
tertular HIV.
Karena penularan HIV/AIDS di
Jabar banyak terjadi melalui transmissi seksual, maka pertanyaannya adalah:
Bagaimana penyebaran HIV melalui transmissi seksual terjadi di Jabar?
Lagi-lagi tidak ada jawabannya dalam berita. Penyebaran HIV melalui
transmissi seksual bisa terjadi kalau ada laki-laki penduduk Jabar yang melacur
tanpa kondom.
Celakanya, Pemprov Jabar akan berkelit: Di Jabar tidak ada pelacuran!
Itu memang benar apalagi lokalisasi pelacuran ’Sariten’ di Bandung sudah
ditutup.
Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran, tapi praktek
pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Selama Pemprov Jabar tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja
seks, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS di Jabar akan terjadi. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.