Tanggapan Berita (9/1-2013) – “Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
NTT gencar melakukan sosialisasi tentang bahaya HIV/AIDS terhadap perempuan dan
anak-anak.” Ini pernyataan Gusti Brewon, pengelola program Komisi
Penanggulangan AIDS Prov Nusa Tenggara Timur (NTT), dalam berita “77 Balita di NTT Mengidap HIV/AIDS” di tempo.co (1/12-2012).
Yang menjadi persoalan utama dalam kaitan HIV/AIDS yang terdeteksi pada
perempuan, dalam hal ini ibu rumah tangga, dan bayi bukan perempuan dan bayi
tsb. tapi laki-laki, dalam hal ini suami atau pasangan perempuan yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Soalnya, yang menularkan HIV kepada perempuan
atua ibu rumah tangga adalah laki-laki.
Biar pun ibu-ibu rumah tangga memahami HIV/AIDS secara benar, posisi
tawar mereka untuk meminta agar suami tidak menularkan HIV melalui hubungan
seksual dalam ikatan pernikahan yang sah sangat rendah. Bahkan, boleh dikatakan
tidak ada apalagi suami memakai agama sebagai ‘benteng’ untuk melindunginya
dalam posisi sebagai suami.
Dikabarkan 77 balita di NTT mengidap HIV/AIDS. Angka ini adalah
bagian dari 1.822 kasus kumulatif HIV/AIDS di NTT yang terdeteksi sampai
September 2012 yang terdiri atas 810 HIV dan 1.012 AIDS dengan 403 kematian.
Dari jumlah itu HIV/AIDS terdeteksi pada 286 ibu rumah tangga atau 15,7 persen
dari kasus HIV/AIDS di NTT.
Sayang, wartawan tidak bertanya
tentang langkah KPA NTT terhadap suami 286 ibu rumah tangga yang terdeteksi
mengidap HIV/AIDS. Soalnya, kalau 286 suami itu tidak menjalani tes HIV, maka
mereka akan menularkan HIV kepada pasangan seks lain dan pekerja seks komersial
(PSK).
Terkait dengan HIV/AIDS pada bayi
bisa terjadi karena banyak perempuan tidak menyadari dirinya sudah mengidap
HIV/AIDS karena mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain.
Maka, pernyataan Gusti Brewon ini masuk akal: "Kasus HIV/AIDS pada
perempuan dan anak trennya terus meningkat."
Persoalannya adalah: Apa langkah konkret KPA NTT untuk melindungi perempuan
dan bayi agar tidak tertular HIV?
Kalau langkah KPA NTT untuk melindungi perempuan dan bayi agar tidak
tertular HIV melalui sosialisasi tentang bahaya HIV/AIDS tentulah tidak pas
karena tidak proporsional. Soalnya, perempuan dan bayi pasif artinya mereka
tertular dari orang lain dalam posisi yang tidak mempunyai pilihan.
Menurut Gusti Brewon, penderita HIV/AIDS terbanyak adalah kaum pria
dibandingkan kaum wanita. Mereka berusia produktif, 31-35 tahun.
Nah, data ini menunjukkan banyak perempuan, tertuama istri, ada pada posisi
yang sangat rentan tertular HIV dari pasangannya. Maka, diperlukan langkah yang
konkret untuk menekan atau menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki
dewasa, al. melalui hubungan seksual dengan PSK.
Celakanya, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di
Indonesia akan mengatakan: Di daerah kami tidak ada pelacuran!
Itu benar adanya kalau yang dimaksud dengan pelacuran adalah lokalisasi
pelacuran.
Tapi, apakah ada yang bisa menjamin bahwa di semua daerah di Indonesia
tidak terjadi praktek pelacuran?
Kalau ada yang bisa menjamin bahwa di Indonesia tidak ada praktek
pelacuran, maka pertanyaan berikutnya adalah: Apakah ada yang bisa menjamin
tidak ada laki-laki dewasa, termasuk suami, yang melakukan hubungan seksual
tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti
atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di
Indonesia dan di luar Indonesia?
Kalau tetap ada yang bisa menjami, maka Indonesia tidak perlu risau terkait
penyebaran HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual.
Tapi, kalau tidak ada yang bisa menjamin, maka persoalan besar yang dihadap
Indonesia, termasuk NTT, adalah penyebaran HIV/AIDS terjadi melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Disebutkan lagi oleh Gusti Brewon: ” .... dengan jumlah penderita HIV/AIDS yang terus meningkat seharusnya juga meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri mereka ke rumah sakit atau puskesmas.”
Tidak semua orang harus melakukan tes HIV karena tidak semua orang yang
perilaku seksnya berisiko tertular HIV. Maka, yang dianjurkan untuk melakukan
tes HIV adalah: orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah atau sering
melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan
pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.
Dikabarkan pada Hari AIDS Sedunia (1/12-2012) KPA NTT dan KPA Kota Kupang
menggelar pengobatan gratis bagi PSK di lokalisasi Karang Dempel, Kupang.
Perlu diingat adalah bahwa HIV/AIDS pada PSK bisa jadi justru ditularkan
oleh laki-laki penduduk NTT. Selanjutnya ada pula laki-laki penduduk NTT yang
tertular HIV/AIDS dari PSK. Maka, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan
laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di
NTT.
Sayangnya, Perda AIDS Prov NTT pun tidak memberikan langkah yang konkret
untuk menanggulangi HIV/AIDS di NTT (Lihat: Perda AIDS Provinsi NTT - http://www.aidsindonesia.com/search/label/Perda%20AIDS%20Provinsi%20NTT).
Tanpa intervensi berupa program yang konkret di lokalisasi Karang Dempel,
Kupang, maka laki-laki dewasa penduduk NTT yang pernah atau sering melacur
tanpa kondom akan menjadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari masyarakat ke PSK
dan sebaliknya dari PSK ke masyarakat. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful
W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.