Tanggapan Berita (24/1-2013)
– “Perilaku seks yang tidak sehat khususnya di lingkungan prostitusi
memengaruhi cepatnya penyebaran HIV/AIDS di Bali.” Ini pernyataan dalam berita
“Awas, 25 Persen PSK di Bali Terinfeksi HIV/AIDS!” di kompas.com
(20/1-2013).
Pemakaian jargon “perilaku seks
yang tidak sehat” terkait dengan risiko penularan HIV berpijak pada moral bukan
fakta. Padahal, penularan dan pencegahan HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya,
cara penularan dan cara pencegahan dapat diuji di laboratorium dengan teknologi
kedokteran.
Risiko penularan HIV melalui
hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual)
jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai
kondom (kondisi hubungan seksual).
Jika risiko dikaitkan dengan
pelacuran atau prostitusi, maka yang menjadi persoalan adalah laki-laki ‘hidung
belang’ tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK. Maka, yang tepat bukan
“perilaku seks yang tidak sehat”, tapi laki-laki tidak memakai kondom ketika
sanggama dengan PSK pada kegiatan prostitusi.
Celakanya, semua pemerintah
daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota selalu menampik di daerahnya ada
pelacuran hanya karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang ditangani oleh dinas
sosial. Padahal, prostitusi terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Di Kota Denpasar, misalnya, ada
tempat yang dijakan lokasi pelacuran yang dikenal dengan sebutan ‘Padang
Galak’. Di sini ada penjangkuan,
tapi kepatuhan laki-laki memakai kondom tidak bisa dipantau secara sitematis
karena tidak ada program yang konkret.
Beberapa laki-laki yang mengunjungi lokasi pelacuran itu mengaku mempunyai
istri dan anak. Lokasi itu menjadi pilihan karena tarifnya bisa ditawar
sehingga terjangkau kalangan menengah bawah. Tapi, di tempat parkir selain
motor juga ada mobil.
Dikabarkan faktor risiko penularan HIV di Prov Bali 75 persen terjadi
melalui hubungan seksual pada heteroseksual (laki-laki dengan perempuan).
Kasus kumulatif HIV/AIDS di
Prov Bali dilaporkan 6.700 dengan faktor risiko (cara
penularan) utama melalui hubungan seksual pada heteroseksual. Kasus pada perempuan
dari 19 persen tahun 2008 diperkirakan meningkat menjadi 28 persen pada tahun
2014 (http://bali.antaranews.com,
30/11-2012).
Sedangkan jumlah PSK yang terdeteksi mengidap HIV di Bali, disebutkan oleh
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Perencanaan, Monitoring, dan Evaluasi KPA Prov
Bali, Prof I Dewa Nyoman Wirawan, mencapai 25 persen dari sekitar 8.000 PSK.
Dalam prakteknya PSK dikenal dua kategori, yaitu PSK langsung (yang ada di
lokasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (cewek di kafe, bar, spa, salon, dll.).
PSK langsung ada 3.000 dan PSK tidak langsung 5.000. Kasus HIV/AIDS pada PSK
langsung 20 persen dan pada PSK tidak langsung 5 persen.
Dengan data itu maka setiap malam ada
6.000 laki-laki di Bali yang berisiko tertular HIV (2.000 PSK pengidap
HIV/AIDS x 3 laki-laki/malam).
Disebutkan bahwa saat ini gencar mengampanyekan seks sehat dengan menggunakan kondom.
Persoalannya adalah: Di mana terjadi hubungan seksual dengan PSK?
Karena pelacuran tidak dilokalisir, maka prostitusi terjadi di banyak
tempat. Lalu, bagaimana cara memantau, maaf, penis semua laki-laki yang melacur
untuk memastikan mereka memakai kondom?
Selain itu posisi tawar PSK untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika
sanggama sangat rendah sehingga PSK terpaksa melayani laki-laki tanpa kondom.
Akibatnya, ada risiko penularan HIV dari penduduk ke PSK dan sebaliknya.
Selama pelacuran tidak dilokalisir, maka program ‘wajib kondom’ bagi
laki-laki ‘hidung belang’ tidak akan bisa diterapkan secara efektif. Maka,
tidaklah mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS terus terdeteksi pada
ibu-ibu rumah tangga karena suami mereka melacur tanpa kondom. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.