Kaitan antara PSK, di lokalisasi
atau di luar lokalisasi, dan HIV/AIDS ada pada laki-laki ‘hidung belang’ yang
tidak memakai kondom setiap kali sanggama dengan PSK. Maka, rekomendasi yang
disampaikan, al. menutup lokalisasi pelacuran sama sekali tidak menyentuh akar
persoalan terkait dengan HIV/AIDS.
Soalnya, biar pun tidak ada
lokalisasi pelacuran di wilayah Kab Bengkalis itu tidak jaminan bahwa di
wilayah Kab Bengkalis otomatis tidak ada praktek pelacuran. Kegiatan pelacuran
akan tetap terjadi di berbagai tempat, seperti kos-kosan, rumah, penginapan,
losmen, hotel melati sampai hotel berbintang.
Selain itu ada juga laki-laki
dewasa, bisa sebagai suami, penduduk Kab Bengkalis yang melacur tanpa kondom di
luar wilayah Kab Bengkalis. Laki-laki penduduk Kab Bengkalis yang tertular HIV
di luar Kab Bengkalis akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara
horizontal, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah di masyarakat.
Disebutkan pula, selain menutup lokalisasi pelacuran Dinsos Kab Bengkalis diminta membangun sarana untuk pembinaan PSK. Ini juga tidak berguna dalam penanggulangan HIV/AIDS. Lagi pula sudah terbukti di zaman Orba rehabilitasi dan resosialisasi PSK gagal (Lihat: Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an)- http://www.aidsindonesia.com/2012/08/menyingkap-kegagalan-resosialisasi-dan.html).
Ada pula rekomendasi untuk menerbitkan
peraturan bupati (perbup) tentang penanggulangan PSK dan pencegahan HIV/AIDS.
Padahal, Pemprov Riau sendiri
sudah menerbitkan peraturan daerah (perda) penangulangan AIDS, tapi perda ini
tidak berguna karena tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: Perda AIDS Provinsi
Riau-http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-provinsi-riau.html).
Rekomendasi lain adalah tokoh
adat, tokoh masyarakat, alim ulama dan mubaligh diminta untuk menyampaikan
masalah HIV/AIDS pada setiap kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan.
Persoalannya adalah informasi
HIV/AIDS yang menjadi materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tidak
akurat karena dibumbui dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan
yang salah).
Disebutkan pula bahwa seluruh stake
holder juga harus terlibat dan secara bersama-sama menanggulangi persoalan
PSK atau penyebaran HIV/AIDS (pekat) yang sudah menjadi dilema di tengah-tengah
masyarakat.
Persoalannya adalah Pemkab
Bengkalis atau Pemprov Riau tidak mempunyai program yang konkret untuk
menanggulangi pelacuran dan penyebaran HIV/AIDS.
Ada pula pernyataan: “Seperti menutup lokalisasi tidak semudah membalik
telapak tangan. Adanya lokalisasi ada plus minus yang dihadapi. ….”
Untuk itulah diharapkan Pemkab
Bengkalis dan 8 elemen masyarakat membalik paradigma berpikir dalam
menanggulangi pelacuran. Tidak lagi menyasar PSK, tapi ‘menembak’ laki-laki
‘hidung belang’ agar tidak ada lagi laki-laki dewasa penduduk Kab Bengkalis
yang melacur baik di Bengkalis maupun di luar Bengkalis.
Selama yang menjadi sasaran hanya
PSK, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kab
Bengkalis karena ada saja laki-laki dewasa penduduk Kab Bengkalis yang melacur
tanpa kondom sehingga mereka berisiko tertular HIV.
Laki-laki penduduk Kab Bengkalis
yang tertular HIV menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat karena
mereka tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS. Maka, Pemkab Bengkalis
tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful
W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.