Media Watch (15/1-2013) –
Di wilayah Provinsi Jawa Timur (Jatim) sudah ada delapan peraturan daerah
(Perda0 dan satu peraturan gubernur (Pergub) tentang penanggulangan HIV/AIDS,
tapi semua peraturan itu tidak memberikan langkah yang konkret sebagai program
untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Belakangan, Pemkot Surabaya pun merancang Perda AIDS. Tentu saja sama
halnya dengan perda-perda yang sudah ada raperda Surabaya ini pun tidak lebih
dari sekedar copy-paste dari perda yang sudah ada (http://jdih.surabaya.go.id/pdfdoc/raperda_80.pdf).
Coba kita simak pada bagian kebijakan penyelenggaraan (maksudnya
penanggulangan HIV/AIDS) di pasal 2 ayat a disebutkan: “Penyelenggaraan upaya
penanggulangan HIV dan AIDS dengan memperhatikan nilai-nilai agama, budaya,
norma kemasyarakatan, menghormati harkat dan martabat manusia, serta
memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.”
Materi KIE
Tidak semua penularan HIV terkait langsung dengan nilai-nilai agama,
budaya, dan norma masyarakat, seperti penularan HIV melalui transfusi darah,
cangkok organ tubuh, jarum suntik dan alat-alat kesehatan, dari suami ke istri,
dan dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Pernyataan pada pasal 2 ayat a tsb. menyuburkan mitos (anggapan yang salah)
tentang penularan HIV sehingga mendorong masyarakat melalukan stigma (cap
buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Di bagian strategi pelaksanaan (penanggulangan HIV/AIDS) di pasal 3
disebutkan: “Strategi pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS sebagai berikut,
yaitu a. meningkatkan dan mengembangkan promosi penanggulangan HIV dan AIDS;
dan b. meningkatkan dan memperluas cakupan seluruh pencegahan yang meliputi
pencegahan penularan melalui alat suntik, pencegahan penularan melalui hubungan
seksual tidak aman, dan pencegahan penularan melalui ibu ke bayi.”
Terkait dengan ayat a yang menjadi persoalan besar adalah materi
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS tidak akurat karena dibumbui
dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV
dengan ’seks menyimpang’, ’seks bebas’, pelacuran, ’jajan’, dll. Padahal, sama
sekali tidak ada kaitan langsung antara ’seks menyimpang’, ’seks bebas’,
pelacuran, ’jajan’ dengan penularan HIV.
Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi jika salah satu dari
pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom
(kondisi hubungan seksual) di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual).
Sedangkan langkah di ayat b yaitu ’pencegahan penularan melalui hubungan
seksual tidak aman’ tentulah akan berhadap dengan kendala besar karena Pemkot
Surabaya menutup lokasi dan lokalisasi pelacuran.
Salah satu tempat yang bisa terjadi penularan HIV melalui hubungan seksual
yang tidak aman adalah di lokasi dan lokalisasi pelacuran yaitu antara
laki-laki dewasa dan pekerja seks komersial (PSK).
Tapi, karena pelacuran tidak lagi kasat mata setelah lokasi dan lokalisasi
pelacuran ditutup, maka upaya ’pencegahan penularan melalui hubungan seksual
tidak aman’ tidak akan bisa karena adalah hal yang mustahil bagi Pemkot
Surabaya untuk mengawasi praktek-prakrek pelacuran yang terjadi di sembarnag
tempat dan sembarang waktu.
Di bagian pencegahan di pasal 9 ayat 1 dan 2 disebutkan: ”Pencegahan HIV
dan AIDS dilaksanakan secara komprehensif, integratif, partisipatif dan
berkesinambungan. Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan kepada kelompok masyarakat
sesuai dengan perilaku kelompok dan potensi risiko yang dihadapi.” Pada pasal 3
disebutkan bahwa kelompok masyarakat dengan perilaku kelompok dan potensi
risiko yang dihadapi meliputi: a. orang tertular; b. orang berisiko tertular
atau rawan tertular; c. orang yang rentan; dan d. masyarakat umum.
Jika sasaran pencegahan ditujukan kepada ’orang yang sudah tertular’ maka
itu artinya program tsb. dijalankan di hilir. Artinya, Pemkot Surabaya menunggu
ada dulu penduduknya yang tertular HIV baru ditangani.
(Praktek) Pelacuran
Sedangkan ’orang berisiko tertular atau rawan tertular’ tidak akan
terjangkau karena tidak ada lokasi dan lokalisasi pelacuran. Tentu tidak
mungkin Pemkot Surabaya memasang alat pendeteksi, semacam chip, di penis
laki-laki agar bisa diawasi perjalanan ’rudal’ mereka.
Begitu juga dengan ’orang rentan’ tidak bisa diketahui dengan pasti karena
perilaku seksual yang berisiko tertular dan menularkan HIV ada pada diri orang
per orang bukan kelompok atau kalangan tertentu.
Sedangkan ’masyarakat umum’ yang bisa dilakukan adalah menerapkan skirining
HIV yang akurat pada unit transfusi darah. Dengan cara yang dilakukan oleh PMI
sekarang ini transfusi darah tetap berisiko karena ada kemungkinan donor
menyumbangkan darah pada masa jendela sehingga hasil tes HIV pada darah donor
bisa negatif palsu (hasil tes nonreaktif tapi HIV sudah ada di dalam darah).
Di pasal 11 disebutkan: ”Setiap orang yang telah
mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang mendonorkan darah, produk
darah, sperma, cairan/organ/jaringan tubuhnya
kepada orang lain.”
Pertama, yang menjadi persoalan besar adalah
banyak orang yang mendonorkan darah tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.
Ini terjadi
karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah
mengidap HIV/AIDS.
Kedua, dalam sperma tidak ada HIV. Lagi
pula MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa haram untuk mendonorkan sperma.
Pada bagian pemberdayaan masyarakat di pasal 19 disebutkan: ”Setiap orang
yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib menggunakan kondom.”
Bagaimana mekanisme pemantauan terhadap kepatuhan untuk menerapkan pasal
ini?
Tentu saja tidak ada dan tidak bisa. Ini terjadi karena hubungan seksual
berisiko terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Apakah Satpol PP akan
ditugaskan oleh Pemkot Surabaya mengawasi penis semua laki-laki agar memakai
kondom jika mereka melakukan hubungan seksual yang berisiko?
Dengan membasmi lokasi dan lokalisasi pelacuran yang kasat mata dikesankan
Kota Surabaya bersih dari pelacuran, tapi di pasal 22 justru membuktikan di
Kota Surabaya tetap ada (praktek) pelacuran, yaitu: ”Setiap pengelola dan/atau
pemilik tempat hiburan wajib melaporkan data karyawan pada instansi berwenang
dalam rangka perencanaan kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS
oleh Pemerintah Daerah.”
Kalau di tempat hiburan tidak terjadi transaksi seks untuk apa Pemkot
Surabaya merencanakan kegitan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat
hiburan?
Stigma dan Diskriminasi
(Praktek) pelacuran di tempat hiburan di Kota Surabaya kian nyata jika
dibaca pasal 23 ini: ” Setiap pengelola tempat hiburan dan/atau pemilik tempat
hiburan wajib melaksanakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tempat usahanya.”
Kalau di tempat hiburan tidak ada transaksi seks, tentulah tidak akan
pernah ada risiko penularan HIV di sana sehingga tidak perlu ada upaya
penanggulangan HIV/AIDS.
Keberadaan transaksi seks di tempat hiburan di Kota Surabaya dipertegas
lagi di pasal 24: ” Setiap perusahaan wajib melaksanakan upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja.”
Kalau di tempat kerja tsb., dalam hal ini tempat hiburan, tidak ada
transaksi seks tentulah tidak perlu ada pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
Terkait dengan peran serta masyarakat dalam hal penanggulangan HIV/AIDS di
pasal 31 disebutkan: (1) Masyarakat berperan serta dalam kegiatan
penanggulangan HIVdan AIDS dengan cara: a. berperilaku hidup bersih dan sehat;
b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS.
Tidak ada kaitan langsung antara ’perilaku hidup bersih dan sehat’ dan
penularan HIV/AIDS. Bahkan, orang yang tidak bersih dan sehat justru tidak bisa
melakukan hubungan seksual (berisiko). Lagi pula pernyataan itu mendorong
masyarakat melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan
HIV/AIDS) karena dikesankan mereka tertular HIV/AIDS karena perilaku hidunya
tidak bersih dan tidak sehat.
Begitu pula dengan ’ketahanan keluarga’ sama sekali tidak ada kaitannya
dengan penularan HIV. Lagi-lagi pernyataan itu mendorong masyarakat melakukan
stigma dan diskriminasi terhadap Odha karena dikesankan mereka tertular
HIV/AIDS karena tidak mempunyai ketahanan keluarga.
Maka, Raperda AIDS Kota Surbaya ini hanya berisi pasal-pasal copy-paste
dari perda lain dan sama sekali tidak memberikan langkah yang konkret untuk
mencegah dan menanggulangi penularan HIV/AIDS di Kota Surabaya. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Ulasannya menarik Bang, btw kalo jadi konsultan raperda AIDS pasti akan menghasilkan produk yang revoluioner dan kongkrit
BalasHapus