14 Januari 2013

Raperda AIDS Kota Surabaya Tanpa Penanggulangan yang Konkret


Media Watch (15/1-2013) – Di wilayah Provinsi Jawa Timur (Jatim) sudah ada delapan peraturan daerah (Perda0 dan satu peraturan gubernur (Pergub) tentang penanggulangan HIV/AIDS, tapi semua peraturan itu tidak memberikan langkah yang konkret sebagai program untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Belakangan, Pemkot Surabaya pun merancang Perda AIDS. Tentu saja sama halnya dengan perda-perda yang sudah ada raperda Surabaya ini pun tidak lebih dari sekedar copy-paste dari perda yang sudah ada (http://jdih.surabaya.go.id/pdfdoc/raperda_80.pdf).

Coba kita simak pada bagian kebijakan penyelenggaraan (maksudnya penanggulangan HIV/AIDS) di pasal 2 ayat a disebutkan: “Penyelenggaraan upaya penanggulangan HIV dan AIDS dengan memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, norma kemasyarakatan, menghormati harkat dan martabat manusia, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.”

Materi KIE

Tidak semua penularan HIV terkait langsung dengan nilai-nilai agama, budaya, dan norma masyarakat, seperti penularan HIV melalui transfusi darah, cangkok organ tubuh, jarum suntik dan alat-alat kesehatan, dari suami ke istri, dan dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Pernyataan pada pasal 2 ayat a tsb. menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang penularan HIV sehingga mendorong masyarakat melalukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Di bagian strategi pelaksanaan (penanggulangan HIV/AIDS) di pasal 3 disebutkan: “Strategi pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS sebagai berikut, yaitu a. meningkatkan dan mengembangkan promosi penanggulangan HIV dan AIDS; dan b. meningkatkan dan memperluas cakupan seluruh pencegahan yang meliputi pencegahan penularan melalui alat suntik, pencegahan penularan melalui hubungan seksual tidak aman, dan pencegahan penularan melalui ibu ke bayi.”

Terkait dengan ayat a yang menjadi persoalan besar adalah materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS tidak akurat karena dibumbui dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan ’seks menyimpang’, ’seks bebas’, pelacuran, ’jajan’, dll. Padahal, sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ’seks menyimpang’, ’seks bebas’, pelacuran, ’jajan’ dengan penularan HIV.

Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual) di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual).

Sedangkan langkah di ayat b yaitu ’pencegahan penularan melalui hubungan seksual tidak aman’ tentulah akan berhadap dengan kendala besar karena Pemkot Surabaya menutup lokasi dan lokalisasi pelacuran.

Salah satu tempat yang bisa terjadi penularan HIV melalui hubungan seksual yang tidak aman adalah di lokasi dan lokalisasi pelacuran yaitu antara laki-laki dewasa dan pekerja seks komersial (PSK).

Tapi, karena pelacuran tidak lagi kasat mata setelah lokasi dan lokalisasi pelacuran ditutup, maka upaya ’pencegahan penularan melalui hubungan seksual tidak aman’ tidak akan bisa karena adalah hal yang mustahil bagi Pemkot Surabaya untuk mengawasi praktek-prakrek pelacuran yang terjadi di sembarnag tempat dan sembarang waktu.

Di bagian pencegahan di pasal 9 ayat 1 dan 2 disebutkan: ”Pencegahan HIV dan AIDS dilaksanakan secara komprehensif, integratif, partisipatif dan berkesinambungan. Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan kepada kelompok masyarakat sesuai dengan perilaku kelompok dan potensi risiko yang dihadapi.” Pada pasal 3 disebutkan bahwa kelompok masyarakat dengan perilaku kelompok dan potensi risiko yang dihadapi meliputi: a. orang tertular; b. orang berisiko tertular atau rawan tertular; c. orang yang rentan; dan d. masyarakat umum.

Jika sasaran pencegahan ditujukan kepada ’orang yang sudah tertular’ maka itu artinya program tsb. dijalankan di hilir. Artinya, Pemkot Surabaya menunggu ada dulu penduduknya yang tertular HIV baru ditangani.

(Praktek) Pelacuran

Sedangkan ’orang berisiko tertular atau rawan tertular’ tidak akan terjangkau karena tidak ada lokasi dan lokalisasi pelacuran. Tentu tidak mungkin Pemkot Surabaya memasang alat pendeteksi, semacam chip, di penis laki-laki agar bisa diawasi perjalanan ’rudal’ mereka.

Begitu juga dengan ’orang rentan’ tidak bisa diketahui dengan pasti karena perilaku seksual yang berisiko tertular dan menularkan HIV ada pada diri orang per orang bukan kelompok atau kalangan tertentu.

Sedangkan ’masyarakat umum’ yang bisa dilakukan adalah menerapkan skirining HIV yang akurat pada unit transfusi darah. Dengan cara yang dilakukan oleh PMI sekarang ini transfusi darah tetap berisiko karena ada kemungkinan donor menyumbangkan darah pada masa jendela sehingga hasil tes HIV pada darah donor bisa negatif palsu (hasil tes nonreaktif tapi HIV sudah ada di dalam darah).

Di pasal 11 disebutkan: ”Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang mendonorkan darah, produk darah, sperma, cairan/organ/jaringan tubuhnya kepada orang lain.”

Pertama, yang menjadi persoalan besar adalah banyak orang yang mendonorkan darah tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS.

Kedua, dalam sperma tidak ada HIV. Lagi pula MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa haram untuk mendonorkan sperma.

Pada bagian pemberdayaan masyarakat di pasal 19 disebutkan: ”Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib menggunakan kondom.”
Bagaimana mekanisme pemantauan terhadap kepatuhan untuk menerapkan pasal ini?

Tentu saja tidak ada dan tidak bisa. Ini terjadi karena hubungan seksual berisiko terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Apakah Satpol PP akan ditugaskan oleh Pemkot Surabaya mengawasi penis semua laki-laki agar memakai kondom jika mereka melakukan hubungan seksual yang berisiko?

Dengan membasmi lokasi dan lokalisasi pelacuran yang kasat mata dikesankan Kota Surabaya bersih dari pelacuran, tapi di pasal 22 justru membuktikan di Kota Surabaya tetap ada (praktek) pelacuran, yaitu: ”Setiap pengelola dan/atau pemilik tempat hiburan wajib melaporkan data karyawan pada instansi berwenang dalam rangka perencanaan kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS oleh Pemerintah Daerah.”

Kalau di tempat hiburan tidak terjadi transaksi seks untuk apa Pemkot Surabaya merencanakan kegitan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat hiburan?

Stigma dan Diskriminasi

(Praktek) pelacuran di tempat hiburan di Kota Surabaya kian nyata jika dibaca pasal 23 ini: ” Setiap pengelola tempat hiburan dan/atau pemilik tempat hiburan wajib melaksanakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tempat usahanya.”

Kalau di tempat hiburan tidak ada transaksi seks, tentulah tidak akan pernah ada risiko penularan HIV di sana sehingga tidak perlu ada upaya penanggulangan HIV/AIDS.

Keberadaan transaksi seks di tempat hiburan di Kota Surabaya dipertegas lagi di pasal 24: ” Setiap perusahaan wajib melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja.”

Kalau di tempat kerja tsb., dalam hal ini tempat hiburan, tidak ada transaksi seks tentulah tidak perlu ada pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Terkait dengan peran serta masyarakat dalam hal penanggulangan HIV/AIDS di pasal 31 disebutkan: (1) Masyarakat berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIVdan AIDS dengan cara: a. berperilaku hidup bersih dan sehat; b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS.

Tidak ada kaitan langsung antara ’perilaku hidup bersih dan sehat’ dan penularan HIV/AIDS. Bahkan, orang yang tidak bersih dan sehat justru tidak bisa melakukan hubungan seksual (berisiko). Lagi pula pernyataan itu mendorong masyarakat melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena dikesankan mereka tertular HIV/AIDS karena perilaku hidunya tidak bersih dan tidak sehat.

Begitu pula dengan ’ketahanan keluarga’ sama sekali tidak ada kaitannya dengan penularan HIV. Lagi-lagi pernyataan itu mendorong masyarakat melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha karena dikesankan mereka tertular HIV/AIDS karena tidak mempunyai ketahanan keluarga.

Maka, Raperda AIDS Kota Surbaya ini hanya berisi pasal-pasal copy-paste dari perda lain dan sama sekali tidak memberikan langkah yang konkret untuk mencegah dan menanggulangi penularan HIV/AIDS di Kota Surabaya. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

1 komentar:

  1. Ulasannya menarik Bang, btw kalo jadi konsultan raperda AIDS pasti akan menghasilkan produk yang revoluioner dan kongkrit

    BalasHapus

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.