Media Watch (23/1-2013) – Berbagai kalangan di Kota Denpasar,
Bali, meributkan rencana pembuatan peraturan daerah (raperda) tentang
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Padahal, Pemko Denpasar sudah
menerbitkan Peraturan Walikota No 21 Tahun 2011 tentang Penanggulangan HIV dan
AIDS di Kota Denpasar yang disahkan tanggal 19 Juli 2011.
Mengapa kalangan DPRD Kota
Denpasar, Pemkot Denpasar dan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kota Denpasar tidak
mengaitkan perwali ini dengan pembahasan raperda?
Adalah mustahil bagi
kalangan-kalangan tersebut untuk mengabaikan perwali dimaksud, tapi itulah yang
terjadi. Raperda AIDS yang dibahas sama sekali tidak berpijak pada perwali yang
sudah ada.
Lagi pula raperda itu mewacanakan
hukuman bagi laki-laki yang menularkan HIV kepada pasangannya, seperti suami
yang menularkan HIV kepada istrinya. Ada lagi wacana mewajibkan calon pengantin
untuk menjalani tes HIV. Ini juga merupakan program yang tidak ada gunanya
(Lihat: Raperda AIDS Kota Denpasar,
Bali, Mengabaikan Mekanisme Tes HIV pada Perempuan Hamil-http://www.aidsindonesia.com/2012/10/raperda-aids-kota-denpasar-bali.html).
Dalam perwali tsb. sama sekali
tidak ada pasal yang konkret untuk dijalankan sebagai program penanggulangan
HIV/AIDS di Kota Denpasar.
Kelompok Rentan
Lihat saja pada bagian pencegahan
di pasal 7 dan 8 langkah yang ada adalah di hilir, yaitu melarang orang-orang
yang sudah mengetahui dirinya mengidap HIV/AIDS menularkan HIV kepada orang
lain.
Pasal ini amat naïf karena lebih
dari 90 persen kasus penularan HIV justru terjadi tanpa disadari oleh yang
menularkan dan yang tertular. Selain itu jika tes HIV dijalankan sesuai dengan standar prosedur
operasi tes HIV yang baku, maka orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV tidak
akan menularkan HIV kepada orang lain karena sebelum tes HIV mereka sudah
berjanji akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya jika kelak
terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Sedangkan di pasal 9 disebutkan:
“Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko wajib melakukan upaya
pencegahan dengan memakai kondom.”
Pertanyaan terkait dengan pasal 9 ini, adalah: Bagaimana Pemkot Denpasar
memantau orang-orang yang ’melakukan hubungan seksual berisiko’?
Di pasal 1 ayat 18 disebutkan: ”Hubungan seksual beresiko adalah setiap
hubungan yang dilakukan antar orang dalam kelompok kelompok beresiko, dan
kelompok tertular.”
Banyak hubungan seksual yang berisiko menularkan dan tertular HIV/AIDS
tidak terjadi pada kelompok berisiko dan kelompok tertular. Misalnya, laki-laki
yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) tidak
langsung, seperti ’cewek kafe’, ’cewek pub’, ’cewek biliar’, ’cewek SPG’,
’pelajar’, ’mahasiswi’, ’ibu-ibu rumah tangga’, dll., merasa tidak berisiko
karena tidak dilakukan dengan kelompok berisiko, dalam hal ini PSK.
Di pasal 1 ayat 19 disebutkan: ”Kelompok rentan adalah kelompok masyarakat
yang karena lingkup pekerjaannya, lingkungan sosial, rendahnya status kesehatan,
ketahanan dan kesejahteraan keluarga, akan lebih mudah tertular HIV. Kelompok
tersebut antara lain orang dengan mobilitas tinggi, remaja, anak jalanan, serta
penerima transfusi darah.”
Definisi kelompok rentan ini tidak akurat karena risiko tertular dan
menularkan HIV tidak ada kaitannya secara langsung dengan pekerjaan, lingkungan
sosial, status kesehatan yang rendah, serta ketahanan dan kesejahteraan
keluarga yang rendah pula.
Justru laki-laki ’hidung belang’ adalah orang-orang yang status
kesehatannya baik atau tinggi karena laki-laki yang sakit-sakitan tidak bisa
mengumbar syahwat dengan PSK atau perempuan lain.
Begitu pula denan pasal 1 ayat 20 disebutkan: “Kelompok masyarakat beresiko
adalah masyarakat berperilaku risiko tinggi untuk tertular dan menularkan HIV
seperti misalnya penjaja seks, pelanggannya, laki-laki yang berhubungan seks
dengan laki-laki, orang yang berganti-ganti pasangan seksual, pemakai narkoba
suntik dan pasangan seksualnya serta bayi yang dikandung oleh ibu hamil yang
mengidap HIV.”
Yang berisiko tertular HIV bukan kelompok atau kalangan dalam masyarakat,
tapi orang per orang yaitu yang perilakunya berisiko tertular HIV, seperti
pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di
luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti PSK dan waria.
Di pasal 1 ayat 21 disebutkan lagi: ”Kelompok tertular adalah kelompok
masyarakat yang sudah terinfeksi HIV yang memerlukan penanganan khusus terutama
layanan medis dan konseling perubahan perilaku untuk mencegah kemungkinan
penularan kepada orang lain.”
Pelacuran di Tempat Hiburan
Pasal ini justru mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan
berbeda) terhadap orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS, karena
mereka tidak memerlukan penanganan khusus. Penyakit yang muncul di masa AIDS,
seperti sariawan, diare, dan TBC bisa ditangani oleh doker di puskesmas. Obat-obatnya
juga tersedia di puskesmas.
Banyak daerah, kabupaten dan kota, di Indonesia membusungkan dada dengan
mengatakan di daerahnya tidak ada pelacuran. Mereka benar. Tapi, tunggu dulu.
Yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran, sedangkan praktek pelacuran terjadi
di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Bahkan di perwali ini pun secara implisit membenarkan ada praktek
pelacuran. Simak bunyi pasal 1 ayat 22 ini: ”Tempat hiburan antara lain bar,
diskotik, karaoke, cafe, panti pijat, pub, spa, salon dan tempat hiburan lain
yang berisiko menularkan IMS.”
Penularan IMS (infeksi menular seksual, seperti GO/kencing nanah,
sifilis/raja singa, virus hepatitis B, klamidia, dll.) justru terjadi melalui
hubungan seksual yang tidak memakai kondom dari seseorang yang mengidap IMS
kepada orang lain.
Pasal 1 ayat 22 itu membenarkan terjadi pelacuran atau transaksi seks di
tempat hiburan dimaksud.
Hubungan seksual yang terjadi di tempat-tempat hiburan dimaksud dipertegas
lagi di pasal 10: (1) Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan wajib
memberikan informasi atau penyuluhan secara berkala tentang pencegahan HIV dan
AIDS kepada semua karyawannya. (2) Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat
hiburan wajib mendata karyawan yang menjadi
tanggungjawabnya. (3) Setiap pemilik dan atau pengelola tempat hiburan
wajib memeriksakan karyawan yang menjadi tanggungjawabnya secara berkala ke
tempat-tempat pelayanan IMS yang disediakan pemerintah, lembaga nirlaba dan
atau swasta yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar.
Kalau di tempat-tempat hiburan itu tidak terjadi praktek pelacuran,
tentulah pasal 10 itu tidak perlu ada dalam perwali. Tapi, pasal itu
membuktikan ada pelacuran.
Celakanya, dalam perwali ini tidak ada program yang konkret untuk mencegah
penularan IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus dari laki-laki ’hidung belang’
ke perempuan atau sebaliknya di tempat-tempat hiburan tsb.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian di Kota Denpasar terdeteksi
kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga. Ini terjadi al. karena suami mereka
tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom di tempat-tempat hiburan
dimaksud.
Terkait dengan peran serta masyarakat untuk menanggulangi penyebaran HIV
diuraikan di pasal 16 ayat (1):
Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperanserta dalam
kegiatan penanggulangan HIV dan IDS dengan cara: a. berperilaku hidup
sehat; b. meningkatkan ketahanan
keluarga untuk mencegahpenularan HIV dan AIDS.
Lagi-lagi peran serta ini tidak konkret karena tidak ada kaitan antara perilaku
hidup sehat dengan penularan HIV. Justru orang-orang sehatlah yang bisa
melakukan perilaku berisiko. Begitu pula dengan ketahanan keluarga, sama sekali
tidak ada kaitannya dengan penularan HIV/AIDS.
Pasal ini justru mendorong stigma dan diskriminasi karena dikesankan
orang-orang yang tertular HIV karena perilakunya tidak sehat dan tidak
mempunyai ketahanan keluarga.
Tentu saja ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya dan bayi
yang tertular HIV dari ibunya sudah dihina dan dipojokkan karena dikesankan
mereka tertular karena perilakunya tidak sehat.
Perwali AIDS Kota Denpasar ini melengkapi perda-perda yang sudah ada
sebagai perturan yang tidak bermanfaat dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS
di Kota Denpasar khususnya dan di Prov Bali umumnya. ***[AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.