Tanggapan Berita (25/1-2013)
– Sebuah penelitian terbaru menunjukkan data sebanyak 80.000 laki-laki di Bali
melacur ke ke berbagai tempat pelacuran di Bali. Dari jumlah tsb. 50 persen
adalah laki-laki pelancong atau wisatawan yang berlibur ke Bali, sedangkan 50
persen lain adalah warga yang menetap
atau tinggal di Bali (Setahun, 80 Ribu Pria Mampir ke Lokalisasi di Bali,
Okezone, 19/1-2013).
Angka-angka itu hanya di Pulau
Bali, sedangkan praktek pelacuran atau prostitusi terjadi di semua daerah di
Indonesia. Jika di setiap provinsi terjadi hal yang sama, maka dengan 33
provinsi di Indonesia setiap tahun ada 2,64 juta laki-laki yang melacur setiap
tahun. Angka ini lebih rendah dari estimasi yang pernah dilansir yaitu 6-7 juta
laki-laki di Indonesia menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK).
Biar pun mereka melacur di P Bali, tapi laki-laki yang tertular HIV di
Bali akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di daerahnya, al. melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan istri, pacar,
selingkuhan atau PSK.
PSK di daerah yang tertular HIV dari laki-laki yang tertular HIV di
Bali akan menularkan HIV pula kepada laki-laki yang tidak memakai kondom ketika
sanggama dengan PSK.
Menurut pakar epidemologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar, Prof Dr Dewa Nyoman Wirawan,
dalamp penelitian pelanggan PSK ditanya apakah mereka membeli kondom dan apakah
selalu memakai kondom setiap kali melacur. Sedangkan kepada PSK ditanya apakah apakah ketika sanggama dengan tamu
terakhir memakai kondom serta apakah dalam melayani tamu mereka selalu pakai
kondom.
Hasilnya? Hanya 30 persen
laki-laki yang memakai kondom. Yang tidak memakai kondom beralasan lupa, tidak enak saat berhubungan dsb. Menurut
Prof Wirawan, angka tsb. sangat memprihatinkan sebab target kita 80 persen
harus memakai kondom saat melakukan hubungan seksual dengan PSK untuk
mengurangi risiko penularan HIV/AIDS.
Masalah itu adalah persoalan klasik yang memerlukan lagnkah konkret untuk
melakukan intervensi agar laki-laki memakai kondom setiap kali melacur.
Pertama, adalah hal yang mustahil kalau hanya dengan anjuran laki-laki akan
memakai kondom ketika melacur.
Kedua, kegiatan pelacuran di Bali dan di Indonesia tidak terjadi di tempat yang
disediakan sehingga pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Ketiga, mitos (anggapan yang salah) yang menyebutkan kondom bisa ditembus HIV
sehingga banyak yang memilih tidak memakai kondom.
Keempat, informasi yang menyesatkan yang dilansir WHO kemudian disebarluaskan
secara ’telanjang’ yaitu sunat bisa mencegah penularan HIV. Padahal, sunat
hanya mengurangi risiko penularan pada permukaan kepala penis, sedangkan pada
batang penis yang terbuka tetap ada risiko tempat masuk HIV ketika sanggama
tanpa kondom.
Kelima, informasi HIV/AIDS yang selama ini tidak akurat karena hanya mengaitkan
penularan HIV dengan PSK di lokalisasi atau lokasi pelacuran yang dikenal
sebagai PSK langsung, sehingga banyak laki-laki yang merasa tidak melacur
karena sanggama dengan perempuan yang bukan PSK langsung.
Dengan jumlah 80.000 ’kunjungan’ ke PSK diperkirakan setiap tahun sekitar
1.000 laki-laki tertular HIV karena prevalensi HIV/AIDS pada PSK langsung di
Bali disebutkan 25 persen. Artinya, dari 100 PSK ada 25 yang mengidap HIV/AIDS
atau 1:4. Jjika seorang laki-laki melacur dengan empat kali ada kemungkinan
dilakukan dengan PSK yang mengidap HIV/AIDS.
Sampel penelitian hanya terhadap PSK langsung beberapa lokasi pelacuran di
Bali.
Sedangkan PSK tidak langsung, seperti perempuan yang melakukan transaksi
seks dengan mangkal di kafe, karaoke,
tempat pijat, biliar, restoran, hotel, spa, dll. tidak terjangkau penelitian.
Maka, jumlah laki-laki yang melacur di Bali jauh lebih besar daripada
80.000 karena hitungan belum termasuk laki-laki yang melacur dengan PSK tidak
langsung.
Laki-laki yang tertular HIV dari PSK langsung dan PSK tidak langsung
itulah itulah kemudian yang menjadi mata
rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom
di dalam dan di luar nikah.
Tidaklah mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS terus terdeteksi pada
ibu-ibu rumah tangga dan bayi yang mereka lahirkan.
Celakanya, biar pun fakta menunjukkan banyak laki-laki beristri yang
melacur, tapi pemerintah sama sekali tidak mempunyai program yang konkret untuk
menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Ya, tinggal menunggu waktu saja
untuk ’panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.