Tanggapan Berita (4/1-2013)
– “Enam orang pekerja seks komersil (PSK) positif terjangkit virus HIV. Hal ini
diketahui dari hasil tes sample darah dari 20 PSK yang bekerja di sekitar
lokasi hiburan malam Karpet Biru (di Kab Natuna, Prov Kepulauan Riau-pen.).”
Ini lead pada berita “Enam PSK
Positif HIV” di haluanmedia.com
(1/10-2012).
Lagi-lagi berita ini tidak
mengungkap realitas sosial terkait dengan penemuan enam PSK yang terdeteksi
mengidap HIV/AIDS di Kafe Karpet Biru. Ada beberapa hal yang tidak dikembangkan
wartawan, yaitu:
Pertama, ada kemungkinan
PSK itu tertular HIV dari laki-laki penduduk lokal yang melakukan hubungan
seksual tanpa kondom dengan PSK. Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK ini
dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, aka ada risiko
penularan HIV secara horizontal dari suami ke istri yang selanjutnya juga ada
risiko penularan vertikal dari ibu ke bayi yang dikandungnya.
Kedua, ada kemungkinan PSK
yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tsb. tertular di luar Natuna. Jika ini yang
terjadi maka laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK
berisiko tertular HIV. Laki-laki yang tertular HIV dar PSK ini dalam kehidupan
sehari-hari bisa sebagai seorang suami, aka ada risiko penularan HIV secara
horizontal dari suami ke istri yang selanjutnya juga ada risiko penularan
vertikal dari ibu ke bayi yang dikandungnya.
Ketiga, laki-laki yang
menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata
rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual
tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Hasil tes HIV bisa akurat jika
sudah tertular HIV minimal tiga bulan. Maka, sebelum enam PSK itu terdeteksi,
maka sudah ada 1.800 laki-laki penduduk
Natuna yang berisiko tertular HIV (8 PSK x 3 laki-laki/malam x 25 hari/bulan x
3 bulan).
Realitas sosial inilah yang tidak
dikembangkan wartawan sehingga terkesan persoalan hanya pada delapan PSK itu.
Padahal, persoalan ada di masyarakat.
Menurut dr Faisal, Kepala Dinas
Kesehatan Kab Natuna, dengan tambahan eman kasus tersebut, menambah jumlah
penderita HIV/AIDS di Natuna menjadi 37.
Tapi, Faisal tidak menjelasan
bahwa 37 itu hanya kasus yang terdeteksi karena penyebaran HIV/AIDS erat
kaitannya dengan fenomena gunung es sehingga kasus tsb. (37) hanya sebagian
kecil (digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air
laut) dari kasus yang ada di masyarakat (digambarkan sebagai bongkahan es di
bawah permukaan air laut).
Masih menurut Faisal, pihaknya
akan melakukan penyuluhan dan koordinasi dengan mami para PSK sebagai langkah
penanggulangan: “Kami tidak bisa berbuat banyak dalam melakukan pencegahan
berkembangnya penyakit ini, sebab ada UU HAM yang sudah mengaturnya dan
perdanya kurang berjalan maksimal.”
Tidak ada kaitan UU HAM dengan
upaya penanggulangan HIV/AIDS selama berada pada koridor yang tidak melawan
hokum. Faisal saja yang tidak memahami cara-cara yang konkret untuk
menanggulangi penyebaran HIV di pelacuran.
Yang perlu dilakukan Faisal
adalah menggagas peraturan, bisa dalam bentuk peraturan bupati atau peraturan
daerah, berupa intervensi yang konkret yaitu memaksa laki-laki memakai kondom
ketika sanggama dengan PSK. Ini tidak melanggar HAM.
Celakanya, Perda AIDS Prov
Kepulauan Riau sama sekali tidak memberikan cara-cara yang konkret untuk
menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: Menakar
Efektivitas Perda AIDS Provinsi Kepulauan Riau- http://www.aidsindonesia.com/2012/09/menakar-efektivitas-perda-aids-provinsi.html).
Disebutkan oleh Faisal: “Kita
hanya bisa berharap agar ada ketegasan dari pihak yang berwenang terhadap
pemilik dan pengguna lokalisasi ini, sebab dari sinilah sumber utama merebaknya
virus tersebut.”
Pernyataan ini menunjukkan
pemahaman terhadap HIV/AIDS tidak komprehensif. Yang membawa HIV/AIDS ke
lokalisasi pelacuran adalah laki-laki dan yang membawa HIV/AIDS dari lokalisasi
pelacuran juga laki-laki.
Kuncinya ada pada laki-laki. Kalau saja Faisal membalik paradigma berpikir
melihat penyebaran HIV/AIDS terkait dengan lokalisasi pelacuran, maka yang
menjadi sasaran penyuluhan bukan PSK atau germo tapi laki-laki ’hidung belang’.
Masih menurut Faisal, Natuna merupakan surga bagi penyakit tersebut, sebab
tidak ada aturan yang tegas yang mengatur keberadaan sumber HIV. Kesadaran
masyarakt masih rendah dan tempat tersebut semuanya masih berstatus ilegal.
Pernyataan Faisal di atas juga
tidak akurat karena sumber penyebaran HIV/AIDS adalah laki-laki. Yang rendah
kesadarannya bukan masyarakat, tapi laki-laki ‘hidung belang’ karena mereka
tidak memakai kondom setiap kali sanggama dengan PSK. Tidak ada pelacuran yang
legal, yang ada adalah pelacuran yang dilokalisasi melalui regulasi.
Ini juga pernyataan Faisal,
kondisi Natuna dengan keberadaan virus tersebut sudah berada pada titik
darurat, sehingga pihaknya melakukan apa saja yang bisa dan boleh dilakukannya.
Yang perlu dilakukan adalah
intervensi yang konkret berupa regulasi yang memaksa laki-laki ‘hidung belang’
memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.
Tanpa program yang konkret, maka
penyebaran HIV/AIDS di Natuna akan terus terjadi yang kelak bermuara pada
‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.