Opini (31/1-2013) – “Suami
‘Jajan’, Istri Jadi Korban”. Ini salah satu bentuk jargon moral yang
dikaitkan dengan penularan HIV/AIDS.
Kalau yang dimaksud dengan
‘jajan’ adalah melacur, maka jargon itu justru menyesatkan karena risiko
seorang suami tertular HIV melalui hubungan seksual tidak hanya melalui
hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), baik PSK langsung (PSK di
lokasi atau lokalisasi pelacuran dan di jalanan) maupun PSK tidak langsung
(‘cewek kafe’, ‘cewek diskotek’, ‘cewek biliar’, ‘cewek pub’, ‘perempuan
pemijat’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, ‘cewek
panggilan’, dll.), tapi juga melalui beberapa bentuk hubungan seksual.
Penularan HIV melalui hubungan
seksual terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu mengidap HIV/AIDS
dan laki-laki tidak memakai kondom.
Sedangkan hubungan seksual tanpa
kondom di dalam nikah dengan perempuan
yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, ada risiko penularan HIV karena ada
kemungkinan perilaku suami atau pasangan perempuan tsb. juga berisiko tertular
HIV.
Begitu pula dengan nikah mut’ah
yang melibatkan PSK. Pada sebuah pelatihan memahami HIV/AIDS untuk pemuka
masyarakat dan pemuka agama (Cisarua, Bogor, YPI, 2002) salah satu peserta
mengaku sebagai ‘penghulu’ di sebuah hotel di Jakarta yang melakukan nikah
mut’ah antara tamu hotel dengan cewek-cewek yang disediakan.
Pak ‘Penghulu’ tadi bersikeras
nikah yang dijalankannya memenuhi akidah. Itu memang benar karena rukun nikah
adalah: ada calon mempelai laki-laki dan perempuan, wali, saksi, serta ijab dan
kobul.
Tapi, ketika Pak ‘Penghulu’ tadi
diingat bahwa pada perempuan ada masa idah (tenggang waktu sejak diceraikan
sampai buleh menikah lagi yaitu selama tiga bulan), Pak ‘Penghulu’ tidak bisa
lagi berkelit: “Saya terjerat dalam sindikat,” katanya dengan nada pelan sambil
menundukkan kepala.
Di kawasan Puncak, Bogor, juga
dikenal ‘kawin kontrak’ dengan model nikah mut’ah yang melibatkan laki-laki
dari kawasan Timur Tengah dan Afrika. Risiko yang akan dihadapi perempuan di
sana adalah tertular IMS (infeksi menular seksual, seperti GO/kencing nanah,
sifilis/raja singa, klamidia, virus hepatitis B, herpes genital, dll.) atau
HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus yaitu IMS dan HIV/AIDS (Lihat: Syaiful
W. Harahap, ‘Pernikahan Singkat’ (Bisa) Mewariskan AIDS, http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/21/%E2%80%98pernikahan-singkat%E2%80%99-bisa-mewariskan-aids/).
Kawin-kontrak yang banyak terjadi
di lingkungan proyek hasil bumi, seperti kehutanan dan pertambangan, serta di
kota-kota tempat pendidikan bagi instansi juga ada risiko tertular HIV/AIDS
karena di masa jeda bisa saja perempuan yang dijadikan istri pada kawin kontrak
itu juga meladeni laki-laki lain. Bisa juga perempuan itu mempunyai suami atau
pacar. Perilaku suami atau pacar perempuan tsb. bisa saja berisiko tertular
HIV/AIDS.
Begitu pula dengan laki-laki yang
beristri lebih dari satu. Bisa saja ada di antara istri tsb., terutama yang
sudah pernah menikah, sebelum bercerai mempunyai suami yang perilakunya
berisiko tertular HIV/AIDS. Di Medan, Sumut, ada satu keluarga guru agama yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Setelah menjalani konseling ternyata guru agama
itu beristri dua. Istri keduanya sudah pernah menikah. Maka, ada dugaan
HIV/AIDS yang terdeteksi pada keluarga itu berawal dari istri kedua guru agama
tsb.
Sedangkah risiko tertular
HIV/AIDS pada seorang suami atau laki-laki pada hubungan seksual tanpa kondom
di luar nikah terjadi melalui: melacur, selingkuh, ‘kumpul kebo’, WIL (wanita
idaman lain), pacar (jika pacar pernah mempunyai pasangan lain).
Celakanya, karena informasi yang
disebarluaskan selama ini dibumbui dengan moral yang mengesankan bahwa risiko
tertular HIV/AIDS hanya karena ‘jajan’ dan melacur di lokasi atau lokalisasi
pelacuran, maka laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan
pacar, WIL, selingkuhan dan ‘kumpul kebo’ merasa tidak berisiko tertular HIV.
Kondis penyebaran HIV/AIDS di
Indonesia kian runyam karena informasi lagi-lagi memakai jargon moral yang
menghilangkan makna kata.
Misalnya, istilah seks sehat. Ini
ada dalam banyak peraturan daerah (perda) pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS dan dalam berbagai pernyataan pejabat dari pusat sampai daerah.
Tidak ada padanan kata ‘seks
sehat’ yang denotatif karena bisa memunculkan banyak penafsiran atau
pengertian.
Padahal, yang faktual dan
denotatif terkait dengan upaya pencegahan HIV/AIDS melalui hubungan seksual
adalah: hubungan seksual tanpa (laki-laki tidak memakai) kondom.
Karena dibumbui dengan moral
hubungan seksual tanpa kondom pun diperhalus dengan ‘seks tidak sehat’. Dalam
konteks hubungan seksual, maka hanya yang sehat yang bisa melakukan hubungan
seksual. Maka, di mana kaitan sehat dengan tidak pakai kondom? Ya, itu ada di
benak orang-orang yang membalut lidahnya dengan moral.
Begitu pula dengan jargon seks
menyimpang dan penyimpangan seks.Nah, langkah seorang laki-laki
yang menyimpang tentulah tidak akan sampai ke pelacuran, sedangkan yang tidak
menyimpang justru tepat ke sasaran tembak yaitu pelacuran.
Selama jargon-jargon moral
dipakai untuk menjelaskan HIV/AIDS yang merupakan fakta medis, maka selama itu
pula masyarakat tidak akan pernah memahami HIV/AIDS secara akurat. Akibatnya,
tetap saja banyak orang yang perilakunya berisiko tertular HIV/AIDS yang kelak
bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W.
Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.