30 Januari 2013

Jargon-jargon Moral yang Menyesatkan dalam Penanggulangan HIV/AIDS


Opini (31/1-2013) – “Suami ‘Jajan’, Istri Jadi Korban”. Ini salah satu bentuk jargon moral yang dikaitkan dengan penularan HIV/AIDS.

Kalau yang dimaksud dengan ‘jajan’ adalah melacur, maka jargon itu justru menyesatkan karena risiko seorang suami tertular HIV melalui hubungan seksual tidak hanya melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), baik PSK langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan di jalanan) maupun PSK tidak langsung (‘cewek kafe’, ‘cewek diskotek’, ‘cewek biliar’, ‘cewek pub’, ‘perempuan pemijat’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, ‘cewek panggilan’, dll.), tapi juga melalui beberapa bentuk hubungan seksual.

Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.

Sedangkan hubungan seksual tanpa kondom di dalam nikah  dengan perempuan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, ada risiko penularan HIV karena ada kemungkinan perilaku suami atau pasangan perempuan tsb. juga berisiko tertular HIV.

Begitu pula dengan nikah mut’ah yang melibatkan PSK. Pada sebuah pelatihan memahami HIV/AIDS untuk pemuka masyarakat dan pemuka agama (Cisarua, Bogor, YPI, 2002) salah satu peserta mengaku sebagai ‘penghulu’ di sebuah hotel di Jakarta yang melakukan nikah mut’ah antara tamu hotel dengan cewek-cewek yang disediakan.

Pak ‘Penghulu’ tadi bersikeras nikah yang dijalankannya memenuhi akidah. Itu memang benar karena rukun nikah adalah: ada calon mempelai laki-laki dan perempuan, wali, saksi, serta ijab dan kobul.

Tapi, ketika Pak ‘Penghulu’ tadi diingat bahwa pada perempuan ada masa idah (tenggang waktu sejak diceraikan sampai buleh menikah lagi yaitu selama tiga bulan), Pak ‘Penghulu’ tidak bisa lagi berkelit: “Saya terjerat dalam sindikat,” katanya dengan nada pelan sambil menundukkan kepala.

Di kawasan Puncak, Bogor, juga dikenal ‘kawin kontrak’ dengan model nikah mut’ah yang melibatkan laki-laki dari kawasan Timur Tengah dan Afrika. Risiko yang akan dihadapi perempuan di sana adalah tertular IMS (infeksi menular seksual, seperti GO/kencing nanah, sifilis/raja singa, klamidia, virus hepatitis B, herpes genital, dll.) atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus yaitu IMS dan HIV/AIDS (Lihat: Syaiful W. Harahap, ‘Pernikahan Singkat’ (Bisa) Mewariskan AIDS, http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/21/%E2%80%98pernikahan-singkat%E2%80%99-bisa-mewariskan-aids/). 

Kawin-kontrak yang banyak terjadi di lingkungan proyek hasil bumi, seperti kehutanan dan pertambangan, serta di kota-kota tempat pendidikan bagi instansi juga ada risiko tertular HIV/AIDS karena di masa jeda bisa saja perempuan yang dijadikan istri pada kawin kontrak itu juga meladeni laki-laki lain. Bisa juga perempuan itu mempunyai suami atau pacar. Perilaku suami atau pacar perempuan tsb. bisa saja berisiko tertular HIV/AIDS. 

Begitu pula dengan laki-laki yang beristri lebih dari satu. Bisa saja ada di antara istri tsb., terutama yang sudah pernah menikah, sebelum bercerai mempunyai suami yang perilakunya berisiko tertular HIV/AIDS. Di Medan, Sumut, ada satu keluarga guru agama yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Setelah menjalani konseling ternyata guru agama itu beristri dua. Istri keduanya sudah pernah menikah. Maka, ada dugaan HIV/AIDS yang terdeteksi pada keluarga itu berawal dari istri kedua guru agama tsb.

Sedangkah risiko tertular HIV/AIDS pada seorang suami atau laki-laki pada hubungan seksual tanpa kondom di luar nikah terjadi melalui: melacur, selingkuh, ‘kumpul kebo’, WIL (wanita idaman lain), pacar (jika pacar pernah mempunyai pasangan lain).

Celakanya, karena informasi yang disebarluaskan selama ini dibumbui dengan moral yang mengesankan bahwa risiko tertular HIV/AIDS hanya karena ‘jajan’ dan melacur di lokasi atau lokalisasi pelacuran, maka laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pacar, WIL, selingkuhan dan ‘kumpul kebo’ merasa tidak berisiko tertular HIV.

Kondis penyebaran HIV/AIDS di Indonesia kian runyam karena informasi lagi-lagi memakai jargon moral yang menghilangkan makna kata.

Misalnya, istilah seks sehat. Ini ada dalam banyak peraturan daerah (perda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan dalam berbagai pernyataan pejabat dari pusat sampai daerah.

Tidak ada padanan kata ‘seks sehat’ yang denotatif karena bisa memunculkan banyak penafsiran atau pengertian.

Padahal, yang faktual dan denotatif terkait dengan upaya pencegahan HIV/AIDS melalui hubungan seksual adalah: hubungan seksual tanpa (laki-laki tidak memakai) kondom.

Karena dibumbui dengan moral hubungan seksual tanpa kondom pun diperhalus dengan ‘seks tidak sehat’. Dalam konteks hubungan seksual, maka hanya yang sehat yang bisa melakukan hubungan seksual. Maka, di mana kaitan sehat dengan tidak pakai kondom? Ya, itu ada di benak orang-orang yang membalut lidahnya dengan moral.

Begitu pula dengan jargon seks menyimpang dan penyimpangan seks.Nah, langkah seorang laki-laki yang menyimpang tentulah tidak akan sampai ke pelacuran, sedangkan yang tidak menyimpang justru tepat ke sasaran tembak yaitu pelacuran.

Selama jargon-jargon moral dipakai untuk menjelaskan HIV/AIDS yang merupakan fakta medis, maka selama itu pula masyarakat tidak akan pernah memahami HIV/AIDS secara akurat. Akibatnya, tetap saja banyak orang yang perilakunya berisiko tertular HIV/AIDS yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.