* Cewek yang dijadikan gratifikasi merupakan pekerja seks komerial
(PSK) atau pelacur tidak langsung
** Kasus kumulatif HIV/AIDS per 30 September 2012 dilaporkan Kemenkes RI mencapai 131.685 yang terdiri atas 92.251 HIV dan 29.434 AIDS dengan 7.293 kematian
** Kasus kumulatif HIV/AIDS per 30 September 2012 dilaporkan Kemenkes RI mencapai 131.685 yang terdiri atas 92.251 HIV dan 29.434 AIDS dengan 7.293 kematian
Opini (14/1-2013) – Gratifikasi (KBBI: uang hadiah kepada pegawai di
luar gaji yang telah ditentukan) sekarang tidak hanya dalam bentuk uang dan
barang, tapi juga dengan layanan seks yaitu menyodorkan perempuan.
Perempuan-perempuan atau cewek yang dijadikan
gratifikasi itu dikategorikan sebagai pekerja seks komersial (PSK) atau pelacur
tidak langsung. Artinya, pekerjaan mereka adalah melacur yang mendapatkan
imbalan berupa uang dari laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan
mereka. Dalam hal ini mereka tidak dibayar oleh laki-laki yang mereka layani,
tapi dibayar oleh orang atau pihak lain yang mem-booking mereka. Tapi, mereka tidak berada di lokasi atau lokalisasi
pelacuran atau pun di rumah bordil.
Ketika mengasuh rubrik “Konsultasi HIV/AIDS”
di salah satu harian yang terbit di Prov Sulawesi Selatan (Sulsel) beberapa
tahun yang lalu, penulis menerima surat dari seorang pejabat teras di sebuah
kabupaten di Sulsel: “Abang, kalau dinas ke Surabaya, Bandung dan Jakarta saya
selalu diberikan cewek. Mereka itu cantik, mulus, pintar dan naik mobil mewah.
Apakah ada risiko saya tertular HIV/AIDS jika melakukan hubungan seksual dengan
mereka? Mereka bukan pelacur, Bang.”
Pandapat pejabat itu jelas keliru, tapi dia
tidak salah karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
tentang HIV/AIDS yang disebarluaskan pemerintah selalu menyebutkan bahwa
HIV/AIDS ada di lokalisasi pelacuran. Penularan terjadi jika melakukan hubungan
seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi atau lokalisasi pelacuran
yang dikenal sebagai PSK langsung.
Padahal, perilaku seksual PSK tidak langsung
(cewek cantik yang dijadikan gratifikasi) dan PSK langsung di lokasi atau
lokalisasi pelacuran sama saja yaitu melakukan hubungan seksual tanpa kondom
dengan laki-laki yang berganti-ganti. Ada kemuingkinan salah satu dari
laki-laki yang mereka ladeni mengidap HIV/AIDS sehingga mereka pun berisiko
tertular HIV/AIDS.
Para laki-laki ‘hidung belang’ dari kalangan
menengah atas memakai apologia: cewek-cewek itu selalu rutin memerikasakan
kesehatan ke dokter.
Boleh-boleh saja mereka rutin memeriksa kesehatan
ke dokter, bisa saja dokter pribadi, tapi memeriksa kesehatan tidak sama dengan
tes HIV. Artinya, status HIV seseorang tidak bisa
diketahui dari cek kesehatan rutin.
Maka, biar pun
cewek-cewek yang disodorkan sebagai gratifikasi itu cantik dan mulus itu tidak
jaminan bahwa mereka ’bebas HIV/AIDS’. Celakanya, tidak ada tanda-tanda yang
khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS sebelum masa AIDS
(masa AIDS terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Tes HIV senditi bukan
vaksin. Artinya, jika seseorang, seperti cewek gratifikasi, menjalani tes HIV
tanggal 14 Januari 2013 pukul 12.00 dengan hasil nonreaktif (negatif) itu tidak
jaminan selamanya akan ’bebas HIV/AIDS’ karena bisa saja setelah tes HIV mereka
tertular HIV melalui hubungan seksual dengan laki-laki yang mereka ladeni
sebagai gratifikasi seks.
Maka, gratifikasi seks
akan menjadi mata rantai yang mendorong penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.
Karena gratifikasi seks diberikan kepada pejabat dan aparat negara, maka
tidaklah mengherankan kalau kelak kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada
kalangan pejabat dan aparat negara.
Belakangan ini pun
laporan dari beberapa daerah menyebutkan kasus HIV/AIDS terdeteksi pada pegawai
negeri sipil (PNS). Ini hal yang amat wajar karena PNS mempunyai penghasilan
yang besar dan tetap sehingga mereka bisa menyisihkan uang untuk melacur.
Di Jayapura PNS mendapat
uang lebih berupa tunjungan yang bervariasi antara Rp 1 juta sampai puluhan
juta rupiah. Tidak sedikit PNS di sana yang memakai uang untuk sendiri sehingga
tidak sampai ke rumah. Antara lain menjadikan cewek bar sebagai ’istri
simpanan’. Tapi, laki-laki yang mempunyai ’istri simpanan’ itu setiap malam
tetap ke bar mem-booking ’istri’
agar, maaf, tidak dipakai orang lain.
Selain ’cewek gratifikasi’ di beberapa kota besar
di Indonesia banyak laki-laki ’hidung belang’ berkantung tebal yang merasa aman
melacur karena mereka melakukannya dengan PSK tidak langsung yang bertemu di
bar, diskotek, mal, hotel, dll.
Kasus penyebaran HIV/AIDS melalui PSK tidak
langsung sudah mulai terdeteksi di Kota Makassar, Sulsel (Lihat: AIDS di Kota Makassar, Sulsel,
Penyebarannya Didorong PSK Tidak Langsung -http://www.aidsindonesia.com/2012/08/aids-di-kota-makassar-sulsel.html).
Ketika epidemi HIV/AIDS yang didorong oleh hubungan seksual, termasuk
gratifikasi seks, mulai menjadi masalah besar di Indonesia, yang diributkan justru
tindakan hukum terhadap pemberi dan penerima gratifiasi seks. Soalnya, tidak
ada payung hukum berupa undang-undang yang bisa menjerat pelaku gratifikasi
seks.
Dikabarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mengkaji pemberian sanksi terhadap penerima gratifikasi seks yang merujuk pada konvensi internasional yaitu United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Dikabarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mengkaji pemberian sanksi terhadap penerima gratifikasi seks yang merujuk pada konvensi internasional yaitu United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Pertengahan tahu lalu aparat penegak hukum di Singapura menguak praktek
gratifiaksi seks yang melibatkan pejabat di neger itu, mantan Kepala
Pasukan Sipil Bersenjata Singapura (SCDF) Peter Benedict Lim Sin Pang. Tiga
perempuan diumpankan sebagai gratifikasi untuk memuluskan tender di lembaga
tsb. Berdasarkan peraturan terkait di Singapura selain Peter tiga perempuan
yang memberikan gratifikasi seks itu pun terancam denda US$ 100.000 (setara
dengan Rp 792.500.000) dan hukuman penjara maksimal hingga lima tahun atau
denda dan penjara.
Terlepas dari wacana mengatur jeratan hukum terkait dengan gratifikasi
seks, yang jelas selama perdebatan dan diskusi soal gratifikasi seks berjalan
penyebaran HIV/AIDS melalui penerima gratifikasi seks di Indonesia terus pula
terjadi. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.