Tanggapan Berita (10/1-2013)
– “ .... sangat susah memberangus jaringan prostitusi di sana (lokasi
‘esek-esek’ di Batukarung di Melaya pada lintas jalan raya Denpasar-Gilimanuk, Kab
Jembarana, Prov Bali-pen.). ....
sudah puluhan tahun bahkan hingga lima keturunan, aktivitas itu masih
beroperasi. Sangat sulit menghapus bersih protitusi dengan embel-embel
warung kopi. ''Bosnya juga
orang-orang sini kok, kalau dihapus total tidak bisa. Pasti timbul lagi, ....,''
Ini pernyataan sumber wartawan yang menulis berita ”Prostitusi di Batukarung
Kembali Marak” di Harian ”Bali Post” (10/12-2012).
Kalau saja wartawan memakai perspektif dalam menulis berita ini tentulah
tidak hanya melihat dari sisi warung kopi yang disebut memberikan ”pelayanan
pemuas nafsu dan sangat rentan dengan HIV/AIDS”, tapi juga melihatnya dari sisi
laki-laki yang memanfaatkan layanan pemuas nafsu (seks) tsb.
Biar pun warung kopi itu menyediakan layanan pemuas nafsu (seks), kalau
laki-laki tidak ’membeli’ seks tentulah tidak akan terjadi hubungan seksual di
sana.
Selain itu yang perlu dingat adalah yang menularkan HIV/AIDS kepada pelayan
di sana justru laki-laki yang bisa saja penduduk setempat atau pelacong yang
mampir di warung-warung itu.
Disebutkan: ” .... warung-warung itu berada satu permukiman dengan rumah
penduduk. Selain warga asli Melaya, di sekitar lokasi banyak ditemui masyarakat
pendatang dari Jawa.”
Secara sosiologis pada kegiatan pelacuran terjadi mobilitas para pekerja seks
dari daerahnya ke daerah lain. Maka, di warung-warung itu tentulah lebih banyak
pekerja seks dari luar daerah karena jika ada perempuan setempat yang menjadi
pelayan mereka akan pergi ke daerah lain.
Disebutkan bahwa para pemilik warung juga didominasi pendatang yang memang berbisnis lendir.
Pertanyaan untuk wartawan: Apa julukan Anda untuk laki-laki yang ’membeli’
seks pada pelayan di sana?
Kalau saja wartawan mengamati praktek pelacuran di sana dan menggambarkan
realitas terkait dengan laki-laki yang ’membeli’ seks tentulah masyarakat
melihat dampak buruk ’esek-esek’ itu.
Aktivis HIV/AIDS di Jembrana, I Nengah Suardana, mengatakan Batukarung merupakan salah satu kawasan yang memungkinkan terjadi transaksi prostitusi dan rentan dengan HIV/AIDS. Dampaknya sudah nyata. Kasusd HIV/AIDS di Kab Jembrana disebutkan 51.
Khusus di Batukarung, selaku aktivis peduli HIV/AIDS, Suardana mengaku
beberapa kali mengimbau kepada para pekerja seks untuk bermain aman.
Sebagai aktivis Suardana maklum kalau posisi tawar pekerja seks untuk
memaksa laki-laki memakai kondom sangat rendah. Maka, tidak ada pilihan lain
kecuali membuat langkah penanggulangan yang konkret berupa intervensi melalui
program yang memaksa laki-laki memakai kondom jika sanggama dengan pekerja seks.
Tanpa program yang konkret penyebaran HIV dari masyarakat ke pekerja seks
di Batukarang dan sebaliknya dari pekerja seks ke masyarakat melalui laki-laki
akan terus terjadi. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.