Tanggapan Berita (26/1-2013)
– Angka kasus HIV/AIDS di Kabupaten Cilacap (Prov Jawa Tengah-pen.) terus
melonjak tajam. Hingga awal tahun 2013, tercatat jumlahnya menembus angka 360 kasus.
Ini lead di berita ”Pengidap HIV/AIDS Cilacap Melonjak Tajam (www.suaramerdeka.com,
20/1-2013).
Karena pelaporan kasus HIV/AIDS
di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif, maka angka kasus HIV/AIDS akan
terus bertambah atau melonjak atau meningkat karena kasus lama ditambah kasus
baru. Begitu seterusnya sehingga biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang
meninggal angka laporan kasus tidak akan pernah turun atau bekurang.
Yang terjadi adalah setiap tahun
kian banyak kasus HIV yang baru terdeteksi. Celakanya, tidak bisa diketahui dengan pasti kapan mereka tertular HIV.
Jika berpijak pada tes HIV, maka tes bisa akurat jika sudah tertular lebih dari
tiga bulan. Jika HIV terdeteksi pada masa AIDS, maka penularan terjadi antara
5-15 tahun sebelum tes HIV.
Disebutkan oleh Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap, Teguh
Prastowo: "Sebanyak 46 orang penderita telah meninggal dunia."
Kalau saja wartawan memaham epidemi HIV secara komprehensif, maka angka 46
itulah yang menjadi berita karena sebelum mereka meninggal tanpa mereka sadari
mereka sudah menularn HIV kepada orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah.
Jika di antara yang 46 itu ada suami, maka istrinya berisiko tertular HIV
(horizontal). Kalau istrinya tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HV
dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (vertikal).
Yang celaka adalah kalau di antara yang 46 itu ada pekerja seks komersial
(PSK). Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi di masa AIDS yaitu
setelah tertular antara 5-15 tahun. Pada rentang waktu itu mereka tidak
menyadari dirinya sudah tertular HIV.
Kalau seorang PSK meladeni tiga laki-laki setiap malam, maka sebelum PSK
itu meninggal sudah 3.600-10.800 laki-laki yang berisiko tertular HIV (1 PSK x
3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 5 atau 15 tahun).
Realitas sosial inilah yang tidak pernah dipaparkan oleh media massa
sehinga masyarakat tidak memahami penyebaran HIV secara akurat.
Disebutkan juga ada tujuh balita yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dan ada pula
pelajar.
Wartawan tidak bertanya: Apakah ayah tujuh balita itu sudah menjalani tes
HIV?
Kalau jawabannya belum, maka tujuh laki-laki itu menjadi mata rantai
penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan seksual
tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Terkait dengan pelajar tentulah itu terjadi karena mereka tidak pernah
diberikan cara-cara yang konkret untuk mencegah agar tidak tertular HIV melalui
hubungan seksual. Dorongan hasrat seks remaja memerlukan penyaluran yang tidak
bisa diganti dengan kegiatan lain. Maka, tidak ada pilihan selain memberikan
informasi yang akurat kepada mereka tentang cara mencegah HIV melalui hubungan
seksual.
Disebukan pula bahwa dari hasil pemetaan yang dilakukan oleh sejumlah tim,
salah satu potensi penyebaran penyakit mematikan tersebut berasal dari kalangan
wanita tuna susila (maksudnya PSK-pen.).
Tapi, ada fakta yang digelapkan yaitu yang menularkan HIV kepada PSK justru
laki-laki yang bisa saja penduduk Cilacap. Kemudian ada pula laki-laki yang
tertular HIV dari PSK.
Di Cilacap saat ini ada sekitar 400 PSK dan jumlah pelanggannya
sebanyak 11.000.
Pertanyaan untuk Pemkab Cilacap adalah: Apa langkah konkret yang dijalankan
untuk menanggulangi penyebaran HIV dari penduduk ke PSK dan sebaliknya melalui
praktek pelacuran?
Tentu saja tidak ada! Maka, tidaklah mengherankan kalau kelak terjadi
’ledakan AIDS’ di Kab Cilacap karena penyebaran HIV/AIDS terus terjadi. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.