Darah putrinya baru diambil agi
hari oleh dokter puskesmas untuk diperiksa di laboratorium, tapi sore harinya
sudah ada berita di koran tentang penyakit anaknya itu.
Itulah yang membuat keluarga
Kartam, penduduk Cibuaya, Kab Karawang, Jabar, pusing tujuh keliling.
Pengambilan darah itu pun menurut
petugas yang datang ke rumahnya karena putrinya baru pulang dari seberang
(maksudnya Prov Riau, khusunya Riau Keplauan).
Tampaknya, pengambilan darah itu
sendiri bertolak dari pemberitaan beberapa koran yang terbit hari itu tentang
pemulangan tiga wanita asal Karawang oleh Pemda Prov Riau. Ketiga wanita itu
dinyatakan seropositif (tertular virus HIV/AIDS) berdasarkan pemeriksaan terhadap
wanita-wanita berisiko tinggi yang bekerja di kawasan Riau Kepualuan.
Pemberitaan di koran itu pulalah
yang menjadi awal melapetaka yang tidak berkesudahan yang dialami keluarganya
sampai hari ini. Rupanya, dalam berita tersebut disebutkan Mh, 21 tahun, putri
sulung Kartam, mengidap virus HIV/AIDS.
Mh dan dua penduduk Karawang
lainnya (Am penduduk Desa Jorang Mekarpohaci, Kec Tempuran, dan NY penduduk Kp
Keceot, Tanjungpura) divonis seropositif setelah diperiksa Dinas Kesehatan Riau
sekitar Agustus 1993.
Dinas Kesehatan Riau memeriksa wanita-wanita
berisiko tinggi (pelacur dan wanita-wanita penghibur), tapi kepada “Mutiara”
Mh bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Romlah, tetangganya di
Cibuaya, di Tanjung Batu, Kab Riau Kepulauan, Prov Riau.
Hari-hari berikutnya silih
berganti yang dating ke rumahnya, semuanya mencibir dan mencaci-maki. “Jangan
dekat-dekat nanti nepa (tertular-Red.),” kata penduduk di sana kepada
anak-anaknya yang lewat di depan rumah Mh.
Tidak sedikit pula orang lewat di
depan rumahnya hanya untuk melihat mereka dari dekat dan mencibir.
Aparat-aparat dari berbagai instansi menuding putrinya membikin malu daerah,
anak-anak muda mencercanya sebagai penyebar maut.
Bahkan, seorang polisi dengan
berkacak pinggang di depan rumah Kartam memaki-maki Mh: “Kami datang ke sini
hanya menularkan penyakit.”
Rupanya, Pak Polisi tadi menuduh
Mh sebagai pelacur. Ini pulalah yang membuat Kartam naik pitam, tapi ia hanya
mengurut dada. “Kalau ketika itu saya tidak sakit akan saya lawan biar pun dia
polisi karena menuduh anak saya pelacur,” kata Kartam dengan terbata-bata
menahan tangis.
Tetanggannya tahu persis Mh tidak
pernah ke luar rumah sejak dipulangkan dari Riau. Apalagi setelah diberitakan koran
dan televisi Mh praktis tidak pernah jauh-jauh dari rumahnya. Hanya beberapa tetangganya
yang mau menerimanya bertamu, yang lain menolaknya. “Tidak ada lagi yang mau ampreng-ampreng
(bertamu-Red.) ke rumah kami,” kata Mh dengan nada sedih.
Sejak pengambilan darah itu
orang-orang pun menjauh. Ketika pengmbilan darah itu pun rupanya banyak orang yang
datang ke rumah Kartam bersama petugas puskesmas.
Penduduk mengatakan kalau
bersentuhan saja penyakitnya akan menular sehingga tidak ada yang mau
dekat-dekat denan Mh dan keluarganya. Tetangganya mencibir dan tidak ada yang
mau bergaul lagi. “Tidak ada lagi yang mau membeli telur asin dagangan saya,”
kata Bu Tarmen, ibu Mh, sambil mengusap air matanya.
Padahal, dagangan telur itulah
salah satu mata pencaharian keluarga ini. Bukan hanya itu. Penduduk kampung itu
pun tidak ada lagi yang mau menerima Kartam mengerjakan sawah-sawah mereka.
Bukan cuma bekerja. Pemuda-pemuda
di sana pun tidak ada lagi yang mau bergaul dengan Mh. Padahal, sebagai orang
tua Kartam dan Tarmen sudah merencanakan akan menikahkan putrinya. “Tidak ada
pemuda yang mau mengawini anak saya,” kata Tarmen dengan terisak-isak.
Celakanya, di tempat barunya pun
(Kartam dan keluarganya pindah dari desanya ke desa lain di lain kacamatan-Pen.)
orang sudah mengetahui perihal Mh. Semula ada seorang pemuda yang sudah
mengajaknya menikah, tapi rupanya ada teman sekampung Mh yang membisiki pemuda
itu. “Sampai sekarang dia tidak pernah datang lagi,” kata Mh dengan mata
berkaca-kaca di rumah petak berdinding gedeg berlantai tanah yang diberikan
majikan tempat mereka bekerja di sebuah lio (pembuatan batu bata sekitar 30 km
dari Cibuaya-pen.).
Kartam dan keluarganya sampai
sekarang tidak mempercayai anaknya mengidap virus HIV/AIDS. “Anak saya sehat,
gemuk, tidak pernah mengeluh pusing-pusing kalau sedang bekerja,” kata Kartam
dengan nada yakin.
Bahkan, keterangan seorang
wartawati sebuah tabloid di Jakarta juga membesarkan hatinya (maksudnya
Kartam-pen.), yang mengatakan bahwa putrinya tidak mungkin seropositif karena
kelihatan sehat-sehat saja.
Keyakinan Kartam semakin kuat
lagi ketika mereka ditolak berobat di RSU Karawang beberapa hari setelah
petugas puskesmas mengambil darah anaknya. “Orang sehat, koq, mau
diperiksa,” kata petugas di RSU Karawang kepada Kartam dan Mh.
Memang di Indonesia tidak sedikit
orang yang masih rancu tentang HIV/AIDS. Ikhwal tentang virus ini masih
simpang-siur. Lihatlah penjelasan wartawati tadi yang menjadi anggapan umum di
Indonesia.
Tampaknya, banyak orang yang
menganggap bahwa pengidap virus HIV/AIDS harus terlentang di tempat tidur atau
di rumah sakit. Padahal, gejala penularan virus itu baru bisa diamati secara
fisik setelah 7-10 tahun sejak ditanyakan seropositif.
Am dinyatakan seropositif tapi
tetap menolak karena darahnya diperiksa di puskesmas. Pendapat Am ini beralasan
karena pacarnya, seorang pengusaha di Singapura, mengangap bahwa yang namanya
rumah sakit, ya, rumah sakit umum semacam RSCM. Pola pikirnya (maksunya pacar
Am-pen.) tentu mengikuti Singapura yang mungkin tidak memiliki puskesmas.
Sayang, Puskesmas Tempuran menolaknya. Karena merasa dirinya negatif Am pun
sekarang bekerja di sebuah warung nasi di Bekasi.
Tetanggan Mh pun mengatakan bahwa
umurnya tinggal dua tahun lagi ketika berita tentang dirinya tersebar luas di
beberapa koran dan siaran televisi di “RCTI”. Bahkan, ada tetangganya
yang berani bertaruh akan memberikan hadiah kepada Mh kalau bertahan hidup
lebih dari dua tahun. “Sekarang sudah empat Lebaran anak saya tetap sehat,”
kata Bu Tarmen masih denga mata yang berkaca-kaca.
Yang paling menyakitkan Tarmen
adalah ketika berita yang menyebutkan bahwa keluarganya tergolong berada.
Memiliki sawah dan rumah bagus. Apalagi berita menggambarkan seolah-olah rumah
dan sawah mereka itu merupakan hasil jerih payah Mh selama di Riau. “Ya, ampun,
rumah kami di sana (maksudnya di Cibuaya-pen.) cuma rumah gedeg
berlantai tanah. Itu pun rumah kakak
saya,” kata Tarmen masih dengan terisak-isak.
Sebagai buruh tani Kartam harus menghidupi istri dan emam anaknya. Mh
sendiri hanya bekerja di rumah Romal selama delapan bulan.
Berbulan-bulan mereka menghadapi cercaan. Akhirnya, Kartam semakin terpuruk
dan tidak bisa lagi menghadapinya. Merek apun sepakat utuk mengizinkan Mh
bekerja di Arab Saudi. Melalui PT Sapta Saguna, sebeuah perusahaan pengerah tenaga
kerja di Jakarta Timur, Mh berangkat ke Arab.
Keberangkatan Mh itu pulalah yang semakmin membingungkan Kartam karena
pemerisaan keseahatan calon TKI ke Arab khususnya dan ke luar negeri umumnya
sangat ketat. “Yang rematik saja tidak lolos,” kata Mh sambil menyebut beberapa
temannnya yang tidak bisa ikut karena berbagai penyakt “biasa”, seperti darah
tinggi, penyakit jantung, dll.
Lebih mengherankan lagi bagi Mh karena ia menilai pemerisaan darah di
Tanjung Batu, Kab Riau Kepualuan, Prov Riau, sangatr janggal karena yang
menyuruhnya berobat ke rumah sakit, Muchtar, seorang petugas keamanan di sana,
tapi yang menyebutkan hasilnya justru orang yang tidak dikenalnya. “Saya baru
bertemu orang itu hari itu,” kata Mh tentang laki-laki tegap tinggi berkulit
hitam yang menyebutnya positif mengidap virus HIV/ADS.
Muchtar menyuruhkan ke rumah sakit seminggu setelah darahnya diambil. Di
rumah sakit Mh bertemu dengan Dokter Eka. Karena dinyatakan berpenyakit Mh pun
bersikeras pulang ke kampugnya. Tapi ketika itu Dokter Eka melarangnya pulang
dan memintanya tetap di Tanjung Batu.
Cuma, karena penasaran ia tetap bersikeras pulang ke kampungnya. “Untuk
memeriksakan kesehatan,” katanya kepada “Mutiara”. Sampai sekarang pun
Mh tidak pernah menerima surat resmi dari aparat terkait tentang dirinya.
Kartam berhadap agar penjelasan tentang anaknya langsung diterimanya dari pejabat
yang berkaitan. Tapi, sampai hari ini tidak ada keterangan resmi deterimanya
tentang anaknya.
Cercaan pulalah yang akhirnya memaksanya dan keluarganya pidah dari Cibuaya
ke salah satu kota di Jawa Barat untuk mencari sesuap nasi. Kartam pindah sejak
enam bulan yang lalu.
Kartam meninggalkan utang sekitar Rp 500.000 kepada beberapa orang di
kampugnnya dan di kampung istrinya di Indramayu, masih di Jabar. Itu, semula Rp 600.000, mereka pakai untuk
keperluan mengurus keberangkatan Mh ke Arab sebagai TKI.
Mh sendiri Cuma enam bulan di Arab sehingga uang yang dibawanya, sekitar Rp
500.000, tidak cukup untuk membayar utang. Utang kian banyak karena uang itu
dipakai juga untuk menyambung hidup karena Kartam dan istrinya tiak bisa
bekerja lagi di kampungnya.
Seorang pemuda yang bekerja sebagai anak buah kapal atau pelaut, sebut saja
Andi, berumur 30-an tahun, mengakut tidak mempunyai orang tua dan sanak saudara
lagi, karena orang tuanya telah memutuskan hubungan dengannya sejak ia mengaku
bahwa dirinya telah tertular virus HIV/AIDS. Hal itu diketahuinya ketika ia
menerima kiriman sebuah surat kabar yang memuat iklan pemutusan hubungan itu.
Andi masih beruntung karena dalam iklan itu tidak disebutkan alasan pemutusan
hubungan tsb. karena tertular HIV/AIDS.
Rupanya, orang tua dan adik-adik Andi marah besar ketika mereka menerima
kabar itu. Bahkan, ayahnya seakan-akan menyesali diri mengapa dulu ia
memasukkan anaknya ke AIP (Akadimi Ilmu Pelayaran) Jakarta. ”Akibatnya kamu
sekarang terkena penyakit kutukan setan itu karena berlayar keliling dunia
dengan kapal asing,” kata Andi menirukan bentakan ayahnya.
Andi sendiri mengetahui dirinya terinfeksi virus HIV/AIDS ketika diadakan
pemeriksaan darah rutin di rumah sakit perusahaannya di Singapura. Andi pun
mengaku ketika pertama kali ia menerima kabar tentang dirinya ia marah besar.
Semua barang-barang di kapal dibuangnya. Hanya satu stel pakaian dan baju kerja
di kamar mesin yang disisakannya. Teman-temannya berusaha mengorek alsannya
mengapa ia depresi, tapi ia menutupinya karena takut dikucilkan teman-temannya.
Tapi, kini Andi mengaku sudah bisa menerima kenyataan. Ini berkat konseling yang diterimanya di
sebuah klinik AIDS di Singapura. Ia selalu menyemapatkan diri ke sana jiak sedang
berlabuh di ’Kota Singa’ itu. ”Yah, kalau kondisi saya kuat virus HIV/AIDS itu
baru memasuki stadium AIDS 10 atau 15 tahun yang akan datang,” katanya dengan
nada yakin.
Sekarang Andi sudah menyisishkan sebagian penghasilannya (gaji bersih yang
diterimanya 1.500 dolar AS/bulan) untuk menyumbang sebuah gereja di Indonesia
bagian Timur yang juga mempunyai rumah
penampungan orang-orang jompo dan sakit. Rupanya, Andi membayangkan bawah kelak dia akan menjadi salah seorang
penghuninya.
Andi merasa ia tertular virus HIV/AIDS antara
Indonesia dan Muangthai. “Waktu itu saya lagi getol-getolnya plesiran di
Bangkok menikmati gadis-gadis yang cantik dan seksi-seksi,” kata Andi dengan
nada parau. Sekarang ia semakin percaya diri karena ia menganggap dirinya sama
saja dengan orang yang mengidap kanker ganas yang juga tidak bisa sambuh total.
Seorang ayah di Jakarta, sebut saja Pak Ahmad,
mengaku kini sering bertengkar dan saling menyalahkan dengan istrinya sejak
salah soerang anaknya dinyatakan seropositif.
“Rasanya seperti mimpi buruk, selalu membayangi
pikiran saya di mana saja saya berada,” kata Ahmad seakan menyesali dirinya.
Sekarang Ahmad berusaha menutupinya agar tidak diketaui sanak famili, rekan-rekan
anaknya, dan relasi bisnisnya.
Anaknya
itu pun sudah dipindahkannya ke sebuah kota hidup dalam suasana
pertapaan untuk menjauhkan anaknya dari pergaulan dunia ramai. Sekali sebulan
mereka menjenguknya.
Sedangkan Andi, karena tidak mempunyai orang
tua dan sanak saudara lagi setiap kali cuti hanya menghabiskan waktunya di
Jakarta. Padahal, biasanya ia selalu terbang ke bagian Timur Indonesia
menjumpai orang tua dan sanak familinya.
- M/Syaiful W. Harahap (Karawang) dan Gustaf
P (Jakarta).
* Dimuat di Tabloid “Mutiara” Edisi 28 Maret-3
April 1995