Tanggapan Berita (4/1-2013)
– "Ratusan bayi itu bukan saja
hanya mengidap HIV, tapi juga AIDS." Ini pernyataan Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Papua, Josef Rinta, tentang 150 bayi di bawah umur lima tahun di Papua
yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di berita “150 Bayi Papua Tertular HIV-AIDS” di tempo.co (18/12-2012).
Pernyataan Josef itu ditulis
dalam bentuk pernyataan langsung yang ditandai dengan kutipan. Kalau ini pernyataan Josef, maka amat disayangkan
karena pernyataan itu menyesatkan.
Sebelum masuk masa AIDS yang terjadi adalah tertular HIV. Maka, orang yang sudah ada pada masa
AIDS dia pengidap HIV.
Jika dikaitkan dengan fakta HIV/AIDS, maka ada
di antara bayi-bayi itu yang terdeteksi mengidap HIV pada masa AIDS. Ini yang
tepat.
Ini juga disebutkan oleh Josef, sebenarnya
kalau para bayi ini masih dalam tahap HIV, bisa dibantu dengan vaksin. Namun,
kalau sudah terjangkit AIDS, jelas kekebalan tubuhnya sudah benar-benar hancur.
Pernyataan ini juga tidak akurat karena tidak ada vaksin HIV/AIDS. Yang ada
adalah obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menekan laju pertambahan HIV
di dalam darah.
Ini disampaikan oleh Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Papua, Constant
Karma, para ibu yang terinfeksi HIV-AIDS dan sedang mengandung, harus ikut
program prevention-mother-to-child-transmission (PMTCT) atau program
pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Persoalannya adalah tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi
HIV/AIDS pada ibu-ibu hamil. Tidak semua ibu hamil menyadari dirinya sudah
tertular HIV. Itulah sebabnya diperlukan cara-cara yang sistematis untuk mendeteksi
HIV/AIDS pada perempuan hamil.
Tapi, Constant punya alasan lain yiatu: "Ada banyak hambatan yang
mempengaruhi, seperti biaya dan jarak atau letak geografis Papua.”
Program yang konkret dan sistematis tidak memerlukan biaya dan tidak
terpengaruh kepada jarak. Lagi pula tidak dijelaskan jarak dari mana ke mana.
Pertanyaan lain adalah: Apakah suami atau pasangan dari 150 ibu yang melahirkan bayi dengan HIV/AIDS itu sudah menjalani tes HIV?
Kalau jawabannya belum, maka 150 laki-laki itu menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizonal di masyarakat, al.melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Papua sampai akhir 2012 mencapai 13.196.
Daerah yang jumlah penderitanya tertinggi ada di Kab Mimika 2.823 dan Kota
Jayapura 2.666.
Faktor risiko terbesar, menurut Josef: "Sebanyak 98 persen
penyebarannya melalui hubungan seks."
Pertanyaan untuk Josef: Apa langkah Dinkes Papua untuk menanggulangi
penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual?
Tentu saja tidak ada karena dalam Perda AIDS Prov Papua pun tidak ada satu
pasal pun yang memberikan langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS di
Papua (Lihat: Perda AIDS Prov
Papua: Tidak Ada Lokalisasi Pelacuran (di Papua)- http://www.aidsindonesia.com/2012/08/dalam-perda-aids-prov-papua-tidak-ada.html).
Menurut Josef, peningkatan jumlah penderita HIV-AIDS di Papua terjadi
akibat kesadaran masyarakat untuk memeriksakan dirinya semakin tinggi. Tapi, di sisi lain, peningkatan angka
penderita HIV-AIDS ini akibat perilaku seks menyimpang dari masyarakat.
Lagi-lagi Josef mengumbar mitos (anggapan yang salah). Apa yang dimaksud
dengan perilaku seks menyimpang?
Kalau ’perilaku seks menyimpang’ diartikan sebagai melacur, maka risiko
tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (perilaku
seks menyimpang), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu
laki-laki tidak memakai kondom dan perempuan mengidap HIV/AIDS (kondisi
hubungan seksual).
Di Papua banyak lokasi pelacuran, tapi tidak ada intervensi berupa program
yang konkret untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.
Karena tidak ada program yang konkret dan faktor risiko penularan HIV/AIDS
terbesar adalah hubungan seksual, al. dengan PSK, maka penyebaran HIV/AIDS di Papua
akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’ yang membuat Papua
sebagai ’Afrika Kedua’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W.
Harahap]***