03 Januari 2013

HIV/AIDS di Papua, Tanpa Penanggulangan yang Konkret Papua Bisa Jadi ‘Afrika Kedua’

Tanggapan Berita (4/1-2013) –  "Ratusan bayi itu bukan saja hanya mengidap HIV, tapi juga AIDS." Ini pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Josef Rinta, tentang 150 bayi di bawah umur lima tahun di Papua yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di berita “150 Bayi Papua Tertular HIV-AIDS” di tempo.co (18/12-2012).  

Pernyataan Josef itu ditulis dalam bentuk pernyataan langsung yang ditandai dengan kutipan. Kalau ini pernyataan Josef, maka amat disayangkan karena pernyataan itu menyesatkan.

Sebelum masuk masa AIDS yang terjadi adalah tertular HIV. Maka, orang yang sudah ada pada masa AIDS dia pengidap HIV.

Jika dikaitkan dengan fakta HIV/AIDS, maka ada di antara bayi-bayi itu yang terdeteksi mengidap HIV pada masa AIDS. Ini yang tepat.

Ini juga disebutkan oleh Josef, sebenarnya kalau para bayi ini masih dalam tahap HIV, bisa dibantu dengan vaksin. Namun, kalau sudah terjangkit AIDS, jelas kekebalan tubuhnya sudah benar-benar hancur.

Pernyataan ini juga tidak akurat karena tidak ada vaksin HIV/AIDS. Yang ada adalah obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menekan laju pertambahan HIV di dalam darah.

Ini disampaikan oleh Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Papua, Constant Karma, para ibu yang terinfeksi HIV-AIDS dan sedang mengandung, harus ikut program prevention-mother-to-child-transmission (PMTCT) atau program pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Persoalannya adalah tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu-ibu hamil. Tidak semua ibu hamil menyadari dirinya sudah tertular HIV. Itulah sebabnya diperlukan cara-cara yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.

Tapi, Constant punya alasan lain yiatu: "Ada banyak hambatan yang mempengaruhi, seperti biaya dan jarak atau letak geografis Papua.”

Program yang konkret dan sistematis tidak memerlukan biaya dan tidak terpengaruh kepada jarak. Lagi pula tidak dijelaskan jarak dari mana ke mana.

Pertanyaan lain adalah: Apakah suami atau pasangan dari 150 ibu yang melahirkan bayi dengan HIV/AIDS itu sudah menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya belum, maka 150 laki-laki itu menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizonal di masyarakat, al.melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Papua sampai akhir 2012 mencapai 13.196. Daerah yang jumlah penderitanya tertinggi ada di Kab Mimika 2.823 dan Kota Jayapura 2.666.

Faktor risiko terbesar, menurut Josef: "Sebanyak 98 persen penyebarannya melalui hubungan seks."
Pertanyaan untuk Josef: Apa langkah Dinkes Papua untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual?

Tentu saja tidak ada karena dalam Perda AIDS Prov Papua pun tidak ada satu pasal pun yang memberikan langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS di Papua (Lihat: Perda AIDS Prov Papua: Tidak Ada Lokalisasi Pelacuran (di Papua)- http://www.aidsindonesia.com/2012/08/dalam-perda-aids-prov-papua-tidak-ada.html).   

Menurut Josef, peningkatan jumlah penderita HIV-AIDS di Papua terjadi akibat kesadaran masyarakat untuk memeriksakan dirinya semakin tinggi. Tapi, di sisi lain, peningkatan angka penderita HIV-AIDS ini akibat perilaku seks menyimpang dari masyarakat.

Lagi-lagi Josef mengumbar mitos (anggapan yang salah). Apa yang dimaksud dengan perilaku seks menyimpang?

Kalau ’perilaku seks menyimpang’ diartikan sebagai melacur, maka risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (perilaku seks menyimpang), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu laki-laki tidak memakai kondom dan perempuan mengidap HIV/AIDS (kondisi hubungan seksual).

Di Papua banyak lokasi pelacuran, tapi tidak ada intervensi berupa program yang konkret untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.

Karena tidak ada program yang konkret dan faktor risiko penularan HIV/AIDS terbesar adalah hubungan seksual, al. dengan PSK, maka penyebaran HIV/AIDS di Papua akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’ yang membuat Papua sebagai ’Afrika Kedua’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Penyebaran HIV/AIDS di Kab Klaten Menyalahkan PSK Ibu-ibu Muda

Tanggapan Berita (4/1-2013) – “ …. Granat menemukan ada indikasi jaringan ibu-ibu muda yang menjajakan diri melalui fasilitas dunia maya sudah ada. Temuan itu sudah dipelajari sejak beberapa bulan terakhir. Kelompok-kelompok tersebut menjadi kelompok rentan penularan HIV/ AIDS jika tidak segera ditangani bersama seluruh elemen masyarakat.” Ini pernyataan dalam berita “Kasus HIV/AIDS Meningkat, Jaringan PSK Ibu Muda Gentayangan” di suaramerdeka.com (30/12-2012) terkait dengan kasus HIV/AIDS di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Pertanyaan untuk Granat: Siapa yang ‘memakai’ jasa ibu-ibu muda yang menjajakan diri di dunia maya tsb.?

Kalau saja Sekjen DPC Granat Klaten, Anton Sanjaya, berpikir dengan jernih, maka persoalan bukan pada ibu-ibu muda itu tapi pada laki-laki ’hidung belang’ yang membeli jasa seks dari ibu-ibu muda tsb.

Selama cara berpikir yang bias gender dan tidak komprehensif dipakai melihat epidemi HIV, maka tidak akan pernah ditemukan langkah yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Hal yang sama terjadi pada Perda AIDS Jawa Tengah yang justru mengabaikan pelacuran (Lihat: Perda AIDS Provinsi Jawa Tengah Mengabaikan (Lokalisasi) Pelacuran- http://www.aidsindonesia.com/2012/08/perda-aids-provinsi-jawa-tengah.html).  

Disebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Klaten sampai tahun 2012 meningkat dari peringkat ke-20 menjadi peringkat ke-10 dari 35 kabupaten dan kota di Jateng.

Disebutkan bahwa data kasus HIV/AIDS di Klaten itu menunjukkan masyarakat Klaten rentan terhadap HIV. Termasuk faktor penyebabnya baik seks bebas dan penggunaan narkoba.

Pernyataan ini tidak akurat karena tidak semua orang berisiko tertular HIV/AIDS. Orang-orang yang berisiko tertular HIV adalah orang-orang yang berperilaku berisiko yaitu pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks.

Kunci permasalahan ada pada laki-laki ’hidung belang’, maka program penanggulangan pun menyasar laki-laki ’hidung belang’, al. melakukan intervensi terhadap laki-laki agar memakai kondom jika sanggama dengan pekerja seks. Tanpa langkah yang konkret penyebaran HIV/AIDS di Klaten akan terus terjadi. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Penanggulangan HIV/AIDS di Natuna Tanpa Cara-cara yang Konkret


Tanggapan Berita (4/1-2013) – “Enam orang pekerja seks komersil (PSK) positif terjangkit virus HIV. Hal ini diketahui dari hasil tes sample darah dari 20 PSK yang bekerja di sekitar lokasi hiburan malam Karpet Biru (di Kab Natuna, Prov Kepulauan Riau-pen.).” Ini lead pada berita “Enam PSK Positif HIV” di haluanmedia.com (1/10-2012).

Lagi-lagi berita ini tidak mengungkap realitas sosial terkait dengan penemuan enam PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Kafe Karpet Biru. Ada beberapa hal yang tidak dikembangkan wartawan, yaitu:

Pertama, ada kemungkinan PSK itu tertular HIV dari laki-laki penduduk lokal yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK. Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, aka ada risiko penularan HIV secara horizontal dari suami ke istri yang selanjutnya juga ada risiko penularan vertikal dari ibu ke bayi yang dikandungnya.

Kedua, ada kemungkinan PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tsb. tertular di luar Natuna. Jika ini yang terjadi maka laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK berisiko tertular HIV. Laki-laki yang tertular HIV dar PSK ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, aka ada risiko penularan HIV secara horizontal dari suami ke istri yang selanjutnya juga ada risiko penularan vertikal dari ibu ke bayi yang dikandungnya.

Ketiga, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Hasil tes HIV bisa akurat jika sudah tertular HIV minimal tiga bulan. Maka, sebelum enam PSK itu terdeteksi, maka sudah ada 1.800  laki-laki penduduk Natuna yang berisiko tertular HIV (8 PSK x 3 laki-laki/malam x 25 hari/bulan x 3 bulan).

Realitas sosial inilah yang tidak dikembangkan wartawan sehingga terkesan persoalan hanya pada delapan PSK itu. Padahal, persoalan ada di masyarakat.

Menurut dr Faisal, Kepala Dinas Kesehatan Kab Natuna, dengan tambahan eman kasus tersebut, menambah jumlah penderita HIV/AIDS di Natuna menjadi 37.

Tapi, Faisal tidak menjelasan bahwa 37 itu hanya kasus yang terdeteksi karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es sehingga kasus tsb. (37) hanya sebagian kecil (digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut) dari kasus yang ada di masyarakat (digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut).

Masih menurut Faisal, pihaknya akan melakukan penyuluhan dan koordinasi dengan mami para PSK sebagai langkah penanggulangan: “Kami tidak bisa berbuat banyak dalam melakukan pencegahan berkembangnya penyakit ini, sebab ada UU HAM yang sudah mengaturnya dan perdanya kurang berjalan maksimal.”
Tidak ada kaitan UU HAM dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS selama berada pada koridor yang tidak melawan hokum. Faisal saja yang tidak memahami cara-cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV di pelacuran.

Yang perlu dilakukan Faisal adalah menggagas peraturan, bisa dalam bentuk peraturan bupati atau peraturan daerah, berupa intervensi yang konkret yaitu memaksa laki-laki memakai kondom ketika sanggama dengan PSK. Ini tidak melanggar HAM.

Celakanya, Perda AIDS Prov Kepulauan Riau sama sekali tidak memberikan cara-cara yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: Menakar Efektivitas Perda AIDS Provinsi Kepulauan Riau- http://www.aidsindonesia.com/2012/09/menakar-efektivitas-perda-aids-provinsi.html).  

Disebutkan oleh Faisal: “Kita hanya bisa berharap agar ada ketegasan dari pihak yang berwenang terhadap pemilik dan pengguna lokalisasi ini, sebab dari sinilah sumber utama merebaknya virus  tersebut.”

Pernyataan ini menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS tidak komprehensif. Yang membawa HIV/AIDS ke lokalisasi pelacuran adalah laki-laki dan yang membawa HIV/AIDS dari lokalisasi pelacuran juga laki-laki.

Kuncinya ada pada laki-laki. Kalau saja Faisal membalik paradigma berpikir melihat penyebaran HIV/AIDS terkait dengan lokalisasi pelacuran, maka yang menjadi sasaran penyuluhan bukan PSK atau germo tapi laki-laki ’hidung belang’.

Masih menurut Faisal, Natuna merupakan surga bagi penyakit tersebut, sebab tidak ada aturan yang tegas yang mengatur keberadaan sumber HIV. Kesadaran masyarakt masih rendah dan tempat tersebut semuanya masih berstatus ilegal.

Pernyataan Faisal di atas juga tidak akurat karena sumber penyebaran HIV/AIDS adalah laki-laki. Yang rendah kesadarannya bukan masyarakat, tapi laki-laki ‘hidung belang’ karena mereka tidak memakai kondom setiap kali sanggama dengan PSK. Tidak ada pelacuran yang legal, yang ada adalah pelacuran yang dilokalisasi melalui regulasi.

Ini juga pernyataan Faisal, kondisi Natuna dengan keberadaan virus tersebut sudah berada pada titik darurat, sehingga pihaknya melakukan apa saja yang bisa dan boleh dilakukannya.

Yang perlu dilakukan adalah intervensi yang konkret berupa regulasi yang memaksa laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.

Tanpa program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Natuna akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Di Jabar Penanggulangan di Hilir dengan Menemukan Kasus HIV/AIDS


Tanggapan Berita (3/1-2013) – “Kasus HIV/AIDS di Jawa Barat (Jabar) fenomenanya seperti gunung es. Puncaknya saja yang terlihat, padahal yang tidak terlihat lebih banyak lagi.” Ini lead pada berita “HIV/AIDS di Jabar Gambarkan Fenomena Gunung Es” di www.republika.co.id (1/1-2013)

Epidemi HIV/AIDS di banyak negara erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi digambarkan dengan puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut dan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).

Kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan di Jabar sampai akhir tahun 2012 mencapai 7.375. Angka inilah (7.375) yang digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut. Sedangkan estimasi Depkes RI (2009) jumlah penduduk berperilaku berisko tertular HIV di Jabar mencapai 23.413.

Yang menjadi persoalan adalah: Apa langkah konkret Pemprov Jabar untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang belum terdeteksi di masyarakat?

Menurut Sekretaris Harian KPA Prov Jabar, Pantjawidi Djuharnoko: ” .... semakin banyak kasus HIV/AIDS ditemukan akan semakin baik. Karena, program yang dilakukan berbagai pihak telah ’berhasil’”.

Di satu sisi pernyataan Pantjawidi benar, tapi di sisi lain hal itu hanya langkah di hilir. Artinya, Pantjawidi menunggu dulu ada penduduk Jabar yang tertular HIV baru kemudian ditemukan melalui tes HIV di berbagai fasilitas kesehatan melalui klinik VCT di puskesmas, rumah sakit, dll.

Itu artinya insiden infeksi HIV baru di hulu, al. pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di lokasi atau tempat-tempat pelacuran, di pantura disebut tempat esek-esek) dan PSK tidak langsung (perempuan pemandu karaoke, diskotek, pemijat, pub, cafe, panggilan, mahasiswi, pelajar, dll.).

Maka, pertanyaan untuk Pantjawidi adalah: Apala program Pemprov Jabar yang konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru di hulu?

Pantjawidi mungkin mengelak dengan mengatakan di Jabar tidak ada pelacuran. Ini memang benar, tapi tunggu dulu karena yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran yang ’resmi’ artinya ditangani dinas sosial.

Tapi, praktek pelacuran di Jabar dan daerah lain di Indonesia terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Selain itu ada pula perempuan asal Jabar yang menjadi PSK di berbagai tempat. Dari Riau pernah dipulangkan beberapa PSK asal Jabar. Ada berita di Harian ”Pikiran Rakyat” (11/11-2005) dengan judul ”6.300 Wanita Indramayu Jadi PSK di Pulau Batam. Mereka Merasa Menjadi Pahlawan Ekonomi Keluarga”. 

Celakanya, pemerintah daerah tempat asal PSK yang dipulangkan tidak mempunyai program untuk menangani PSK yang dipulangkan. Bahkan, dua di antaranya menjadi ’bulan-bulanan’ masyarakat dan pejabat setempat (Lihat: Duka Derita Seorang Perempuan Pengidap HIV/AIDS di Karawang, Jawa Barat-http://www.aidsindonesia.com/2012/10/duka-derita-seorang-perempuan-pengidap.html dan dan Keluarga Pengidap HIV/AIDS di Karawang Dicerai-beraikan Media Massa*-http://www.aidsindonesia.com/2012/10/keluarga-pengidap-hivaids-di-karawang.html).

Karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS, ini karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka, maka banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada masa AIDS (sudah tertular HIV antara 5-15 tahun). Artinya, mereka terdeteksi HIV ketika berobat ke rumah sakit. Soalnya, penyakit yang mereka derita, seperti diare, TBC, dll. sulit sembuh. Untuk itulah mereka dianjurkan tes HIV.

Disebutkan oleh Pantjawidi bahwa salah satu upaya untuk mengungkap lebih banyak lagi kasus HIV/AIDS adalah meningkatkan promosi tes HIV bagi orang-orang yang perilakunya berisiko. Saat ini di banyak rumah sakit sudah tersedia klinik VCT (tempat tes HIV gratis secara sukarela dengan konseling dan rahasia).

Persoalannya adalah materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS yang disebarluaskan ke masyarakat tidak akurat karena dibumbui dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos.

Bahkan, dalam Pergub AIDS Jabar dan Perda AIDS Jabar sama sekali tidak ada pasal yang memberikan langkah konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS di Jabar (Lihat: Pergub AIDS Provinsi Jawa Barat-http://www.aidsindonesia.com/2012/12/pergub-aids-provinsi-jawa-barat.html dan Perda AIDS Provinsi Jawa Barat-http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-provinsi-jawa-barat.html)  
.
Risiko penularan HIV selalu dikaitkan dengan zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, homoseksual, dll. Padahal, risiko tertular HIV bukan karena sifat hubungan seksual (zina, melacur, dll.) tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama).

Maka, untuk menemukan kasus HIV/AIDS yang belum terdeteksi di masyarakat perlu dilakukan langkah-langkah yang sistematis melalui program yang konkret.

Misalnya, regulasi berupa skirining rutin terhadap perempuan hamil, pasien IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.), pasien TBC, kalangan tertentu seperti mahasiswa, pelajar, PNS, polisi, dll.

Penyebaran HIV/AIDS di Jabar juga didorong oleh laki-laki yang melacur tanpa kondom. Cuma, program kondom tidak bisa diterapkan di Jabar karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang ditangani oleh dinas sosial.

Kondisi itu akan menjadi bumerang bagi Jabar karena penyebaran HIV/AIDS di masyarakat akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***