29 Desember 2012

‘Ancaman’ HIV/AIDS di Kota Bogor


Tanggapan Berita (30/12-2012) – “Total 1565 Sudah Meninggal. HIV/AIDS Masih Mengancam Bogor” Ini judul berita di www.lensaindonesia.com (27/12-2012).

Judul berita ini menyesatkan karena HIV/AIDS tidak mengancam kota atau daerah. HIV hanya menular melalui cara-cara yang sangat khas, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah antara seseorang yang mengidap HIV/AIDS dan orang lain.

Selain itu data yang ada di judul berita juga tidak akurat. Data di Dinas Kesehatan Kota Bogor, jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS adalah 1.605 yang terdiri atas 1.048 HIV dan  557 AIDS dengan 58 kematian (kotabogor.go.id).

Maka, yang mengancam Kota Bogor terkait dengan penyebaran HIV/AIDS adalah perilaku penduduk, terutama laki-laki dewasa, yang pernah atau sering melacur tanpa kondom di Kota Bogor atau di luar Kota Bogor.

“Tren peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS juga cenderung progresif.” Ini pernyataan Sekretaris Daerah Kota Bogor, Aim Halim Hermana.

Aim rupanya tidak memahami cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Karena pelaporan kasus HIV/AIDS dilakukan denga cara kumulatif, maka jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan akan terus bertambah atau meningkat. Biar pun banyak penderita atau pengidap HIV/AIDS yang meninggal angka laporan tidak akan pernah turun.

Pertanyaan untuk Aim: Apakah Anda bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kota Bogor yang melacur tanpa kondom di Kota Bogor atau di luar Kota Bogor?

Kalau jawaban Aim: Bisa, maka tidak ada persoalan penyebaran HIV/AIDS di Kota Bogor dengan faktor risiko hubungan seksual.

Tapi, kalau jawaban Aim: Tidak bisa, maka ada persoalan besar terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di Kota Bogor dengan faktor risiko hubungan seksual.

Ada laki-laki dewasa penduduk Kota Bogor yang tertular HIV karena melacur tanpa kondom di Kota Bogor atau di luar Kota Bogor. Laki-laki inilah kemudian yang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Pertanyaan berikut untuk Aim: Apaka di Kota Bogor ada pelacuran?

Wow, tentu saja Aim berujar dengan membusungkan dada: Tidak ada!

Aim benar. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran, sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Maka, selama Pemkot Bogor tidak mempunyai program yang konkret berupa intervensi untuk memaksa laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom ketika melacur, maka selama itu pula penyebarna HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota Bogor yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

HIV/AIDS Menular di Dalam dan di Luar Nikah


Tanya-Jawab AIDS No  28/Desember 2012

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Di berbagai ceramah agama yang saya ikuti dan saya baca di banyak poster disebutkan bahwa hindari seks sebelum menikah karena dapat tertular penyakit kutukan. Jika melakukan hubungan seksual di dalam nikah itu halal dan bebas dari penyakit. Apakah hal itu benar?

‘Xx’ via SMS (23/12-2012)

Jawab: Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seksual) bukan karena hubungan seksual dilakukan di luar nikah (sifat hubungan seksual).

Dalam ikatan pernikahan yang sah pun terjadi penularan HIV. Kasus HIV/AIDS yang mulai banyak terdeteksi pada ibu rumah tangga menunjukkan penularan HIV terjadi di dalam ikatan pernikahan yang sah.

Kalau HIV/AIDS disebut kutukan karena menular, al. melalui hubungan seksual, maka orang-orang yang menderita atau mengidap kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), dan virus hepatitis B juga mengidap penyakit kutukan karena cara penularannya persis sama dengan HIV/AIDS. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Risiko Tertular HIV kalau Hubungan Seksual Jarang Dilakukan


Tanya-Jawab AIDS No 27/Desember 2012

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: (1) Apakah melakukan hubungan seksual dengan dua orang bisa tertular HIV/AIDS, sedangkan hubungan seksual jarang dilakukan?

Nn V, Kota B, Jawa Tengah via SMS (28/12-2012)

Jawab: Secara teoritis risiko tertular HIVmelalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang mengidap HIV/AIDS adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali risiko terjadi penularan HIV.

Persoalannya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual yang ke berapa kelak akan terjadi penularan HIV. Maka, setiap hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan ada risiko tertular HIV.

Biar pun Anda jarang melakukan hubungan seksual dan hanya dengan dua orang, tapi Anda tidak bisa mengetahui apakah salah satu atau kedua laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dengan Anda tidak mengidap HIV/AIDS.

Maka, Anda berisiko tertular HIV jika Anda tidak bisa memastikan bahwa kedua laki-laki tsb. tidak mengidap HIV/AIDS.

Akan lebih bijaksana kalau Anda konseling ke klinik VCT (tempat tes HIV gratis sukarela dengan konseling dan rahasia) di rumah sakit di kota Anda. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

‘Seks Bebas’ Bukan Hanya pada Remaja


Tanggapan Berita (30/12-2012) – “Usia remaja rentan  seks bebas dan pergaulan bebas yang bisa menjurus kepada tindak kriminal dan narkotika.” Ini pernyataan dalam berita ”Kubar Bentengi Remaja dari Seks Bebas. Bentuk PIK KRR Beranggota Pelajar” di www.kaltimpost.co.id (25/12- 2012).

Pernyataan ini merupakan opini yang menyesatkan dan memojokkan remaja.

Kalau yang dimaksud dengan ’seks bebas’ adalah zina dan melacur, maka pertanyaan untuk wartawan yang menulis berita ini: Apakah yang berzina dan melacur hanya remaja?

Fakta menunjukkan kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada ibu rumah tangga. Mereka ini tertular dari suami dalam hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah. Suami-suami mereka tertular HIV al. karena melacur tanpa kondom.

Berita ini ditulis dengan sudut pandang moralitas pribadi sehingga hanya melihat remaja dan mengabaikan kalangan dewasa.

Persoalan lain yang luput dari perhatian wartawan yang menulis berita ini adalah hubungan seksual adalah konsekuensi logis dari dorongan hasrat seks remaja yang sudah ’mimpi basah’. Penyaluran dorongan seks tidak bisa digantikan dengan kegiatan lain.

Untuk mengantisipasi ’seks bebas’ dan ’pergaulan bebas’ pada remaja di Kubar (Kutai Barat), Kaltim, dibentuk Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR).

Langkah yang paling arif adalah kalangan dewasa berbagi dengan remaja bagaimana para orang tua mengendalikan dorongan seks mereka sebelum menikah dan selama dalam ikatan pernikahan. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

27 Desember 2012

Wakatobi Terpaku pada Tiga Kasus HIV/AIDS


Tanggapan Berita (28/12-2012) – "Sampai saat ini, sudah tiga orang yang terdeteksi mengidap penyakit itu dan dua orang di antaranya sudah meninggal dunia. Tiga penderita ini, terdiri satu laki-laki dan dua perempuan. Pengidap yang meninggal,  satu laki-laki dan satu perempuan." Ini penyataan Abubakar, Kepala Seksi Penyakit Menular, Dinas Kesehatan Kab Wakatobi, Sultra, di berita “2 Orang Penderita AIDS di Wakatobi Tewas” (www.jpnn.com, 26/12-2012).

Kalau saja wartawan yang mewawancarai Abubakar memahami HIV/AIDS dengan komprehensif, maka yang dtanyak adalah tentang laki-laki dan perempuan yang meninggal itu.

Pertama, jika laki-laki yang meninggal itu sebagai suami maka ada risiko penularan pada istrinya. Kalau istrinya tertular HIV, maka ada pula risiko penularan pada bayi yang dikandungnya kelak.

Kedua, apakah pasangan laki-laki yang meninggal itu sudah menjalani tes HIV? Kalau belum tentulah ada persoalan lain yaitu pasangan laki-laki itu kelak bisa menularkan HIV kepada suami atau pasangannya.

Ketika, siapa perempuan yang meninggal itu? Kalau perempuan itu seorang pekerja seks komersial (PSK), maka sudah banyak laki-laki yang berisiko tertular HIV.

Sayang, wartawan tidak membawa data itu ke realitas sosial sehingga tidak ada gambara ril tentang penyebaran HIV di Wakatobi.

Hal lain yang perlu dipertanyakan adalah: Apakah di Wakatobi ada (praktek) pelacuran?

Kalau ada maka pertanyaannya adalah: Apa langkah konkret yang dilakukan Pemkab Wakatobi untuk menanggulangi penyebaran HIV melalui pelacuran?
   
Disebutkan bahwa para penderita baru terdeteksi setelah memeriksakan diri ke petugas kesehatan. Itupun, tujuan pemeriksaannya bukan untuk pemeriksaan HIV/AIDS, tetapi awalnya penderita merasakan penyakit demam atau lainnya, tetapi setelah diperiksa ternyata mengidap HIV.

Itulah gambaran umum yang terjadi di Indonesia terkait dengan HIV/AIDS. Banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS.

Maka, langkah yang perlu dilakukan Pemkab Wakatobi adalah mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat melalui cara-cara yang sistematis.

Soalnya, penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (3) hanya bagian kecil (digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut) dari kasus yang ada di masyakat (digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut).
Jika Pemkab Wakatobi hanya berpatokan pada tiga kasus itu, maka penyebaran HIV akan menjadi bumerang yang pada gilirannya menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***