Media Watch (21/12-2012) – Biar pun peraturan
daerah (perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di banyak daerah
tidak berguna, tapi tetap saja ada daerah yang ngotot menerbitkan perda AIDS. Di Indonesia sudah ada 62 perda (provinsi, kabupaten dan kota), 4 pergub
dan 2 perwalko.
Raperda HIV/AIDS Kota Banjarbaru ini
pun hanya copy-paste dari perda-perda
sejenis yang sudah ada. Maka, sudah bisa dipastikan perda itu pun tidak akan
bermanfaat dalam penanggulangan HIV/AIDS. Arang habis besi binasa. Uang rakyat
dihambur-hamburkan untuk membuat perda ini, tapi perda itu pun kelak sama
sekali tidak ada manfaatnya dalam melindungi masyarakat, terutama kalangan
perempuan, dari risiko tertular HIV.
Menularkan HIV dan Tertular HIV
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota
Banjarbaru dilaporkan 54 dari tahun 2005 sampai 2012. Perlu diingat bahwa angka
itu hanyalah sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena epidemi
HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (54) digambarkan
sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan
kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di
bawah permukaan air laut (Lihat Gambar 5).
Di Kota Banjarbaru ada lokasi
pelacuran. Di lokasi ini ada 370 pekerja seks komersial (PSK). Tanggal
16/12-2012 dilakukan tes HIV dengan cara VCT (tes HIV sukarela yang gratis
dengan konseling dan kerahasiaan) terhadap 109 PSK ’baru’. Hasilnya, 2 contoh
darah reaktif. Angka ini tidak menggambarkan status HIV 109 PSK itu karena bisa
saja ketika tes mereka dalam masa jendela (tertular di bawah tiga bulan
sehingga hasil tes bisa negatif palsu atau positif palsu).
PSK yang mengidap HIV/AIDS akan menularkan HIV kepada laki-laki yang
melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tsb. Selanjutnya laki-laki
yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di
masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah (Lihat Gambar 1).
Pintu masuk HIV/AIDS ke masyarakat Kota
Banjarbaru al. melalui laki-laki dewasa yang tertular HIV melalui hubungan
seksual tanpa kondom di Kota Banjarbaru, di luar kota Banjarbaru atau di luar
negeri.
Yang bisa diintevensi dengan program
yang konkret dan sistmatis hanyalah perilaku laki-laki dewasa penduduk Kota
Banjarbaru yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di Kota Banjarbaru.
Salah satu langkah yang konkret untuk
menanggulangi penyebaran HIV hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah,
melalui laki-laki ’hidung belang’ adalah dengan program ’wajib kondom 100
persen’ bagi laki-laki yang melacur dengan PSK di lokalisasi pelacuran di Kota
Banjarbaru (Lihat Gambar 2).
Sayang, dalam Raperda AIDS Kota
Banjarbaru sama sekali tidak ada satu pun pasal yang konkret untuk
menanggulangi penyebaran HIV pada laki-laki ’hidung belang’ yang melacur di
Kota Banjarbaru.
Pada paragraf 3 tentang pencegahan pada
hubungan seks berisko pun pasal-pasal pencegahan tidak konkret.
Di pasal 10 ayat 1 disebutkan: ”Setiap
orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib menggunakan kondom”.
Sedangkan di pasal 10 ayat 2 disebutkan: ” Setiap pelanggan penjaja seks wajib
menggunakan kondom pada saat berhubungan
seks.”
Hubungan seksual berisiko adalah
hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang
berganti-ganti atau dengan yang sering beganti-ganti pasangan, seperti PSK dan
waria.
Tentu saja ayat 1 dan 2 pada pasal ini
tidak bisa menjerat laki-laki ’hidung belang’ karena hubungan seksual berisiko
terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa dipantau.
Untuk menerapkan program kondom sebagai
bagian dari upaya menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ’hidung
belang’ melalui hubungan seksual dengan PSK diperlukan regulasi untuk
melokalisir pelacuran (Lihat Gambar 3).
Penanggulangan di Hilir
Di Gambar 3 bisa dilihat
langkah-langkah penanggulangan yang dilakukan adalah kegiatan di hilir.
Artinya, ditunggu dulu ada penduduk yang tertular HIV (di hulu) baru ditangani.
Misalnya, di Bagian Keempat pasal 15 dan 16 tentang Tes Sukarela, Rahasia dan
Konseling juga dilakukan di hilir.
Hal yang sama juga pada Bagian Kelima pasal 17, 18 dan 19 tentang
Pengobatan juga di hilir.
Juga di Bagian Keenam pasal 20 tantang Perawatan dan Dukungan juga kegiatan di
hilir.
Perda ini sama sekali tidak bekerja di
hulu, tapi di hilir. Misalnya, pada paragraf 4 pasal 11 tentang pemeriksaan IMS
(infeksi menular seksual yaitu penyakit yang ditularkan melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dari yang mengidap IMS ke orang
lain, seperti GO/kencing nanah, sifilis/raja singa, virus hepatitis B,
klamidia, jengger ayam, dll.).
Pemeriksaan adalah langkah di hilir.
Artinya, penularan IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus sudah terjadi dari
laki-laki ’hidung belang’ penduduk Kota Banjarbaru ke PSK dan sebaliknya.
Begitu pula dengan pasal 10 ayat 3
disebutkan: ”Setiap orang yang berperilaku seks berisiko wajib melakukan
pemeriksaan IMS sebulan sekali dan VCT sesuai prosedur yang berlaku di tempat
pemeriksaan yang telah ditunjuk dinas teknis.”
Jika seorang PSK tertular IMS, maka
dalam satu bulan dia sudah menularkan IMS kepada 75 laki-laki (1 PSK x 3
laki-laki/malam x 25 hari per bulan). Laki-laki yang tertular HIV akan menjadi
mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah.
Upaya untuk mencegah penularan HIV dari
suami ke istri tidak bisa diintervensi. Itulah sebabnya program yang realistis
adalah menerapkan program wajib kondom bagi laki-laki ’hidung belang’ yang
melacur.
Karena risiko istri tertular HIV tidak
bisa diintervensi, maka ibu rumah tangga yang tertular HIV akan berisiko
menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya.
Maka, diperlukan intervensi yang konkret
yaitu pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya yang dikenal sebagai
program PMTCT/prevention-mother-to-child-transmission
(Lihat Gambar 2).
Celakanya, dalam rapeda tidak ada
langkah yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Akibatnya, hanya sebagian kecil ibu-ibu yang mengidap HIV/AIDS terdeteksi,
al. yang kontrol ke layanan pemerintah seperti posyandu, puskesmas atau rumah
sakit. Bandingkan dengan Malaysia yang menerapkan program skirining rutin
terhadap perempuan hamil sehingga bisa dideteksi ibu-ibu yang mengidap
HIV/AIDS.
Materi raperda pada Paragraf 5 tentang Pencegahan pada Tempat
hiburan, Panti pijat, Perusahaan dan tempat potensial lainnya menunjukkan
langkah yang tidak membumi.
Coba saja
simak bunyi pasal 12 ayat 1 ini: Kewajiban Setiap
pemilik/pengelola tempat hiburan, Pantipijat, dan tempat potensial lainnya
adalah:
a. memberikan penyuluhan dan informasi
tentang bahaya penularan IMS, HIV dan AIDS pada karyawannya;
b. menyediakan tempat media KIE tentang
HIV dan AIDS yang mudah di akses oleh pengunjung serta karyawannya;
c. berperan aktif dalam upaya
penanggulangan HIV dan AIDS, dengan melakukan pemeriksaan IMS dan HIV rutin
untuk karyawannya;
d. memberikan prioritas pemberian dana
CSR pada program penanggulangan HIV dan AIDS.
Program Konkret
Pasal ini di awang-awang karena tidak
menyentuh akar persoalan. Program yang sudah dijalankan di Thailand adalah
pemilik/pengelola termpat hiburan diberikan izin usaha sebagai pintu masuk
untuk intervensi hukum. Pemilik/pengeola tempat hiburan mewajibkan laki2
memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks. Secara
rutin pekerja seks menjalani tes IMS, kalau ada pekerja seks yang terdeteksi
mengidap IMS yang diberikan sanksi adalah pemilik/pengelola tempat hiburan
bukan pekerja seks.
Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia (PKBI) Kalsel menjangkau (out reach) PSK di lokasi pelacuran di Kota
Banjarbaru sebagai upaya dari kegiatan PMTS (pencegahan melalui transmisi
seksual), al. mendorong laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom ketika
melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Tapi, ”Bang, kami kewalahan menghadapi
PSK ’pendatang baru’ tapi ’stok lama’.” Ini keluhan seorang petugas out reach
di sana. Soalnya, KPA Prov Kalsel dan KPA Kota Banjarbaru sama sekali tidak
mendukung penjangkauan yang dilakukan PKBI. Bahkan mereka tidak mempunyai
program penjangkauan dan program PMTS.
Soalnya, kalau yang dipakai adalah
paradigma lama yaitu ’membasmi’ lokalisasi pelacuran itu tidak ada manfaatnya
karena praktek pelacuran terjadi di banyak tempat dan setiap waktu mulai dari
pagi sampai pagi lagi. Ini terjadi karena ada pasokan (PSK) dan permintaan
(PSK) seperti pada gambar segi tiga (Gambar 4).
Pasokan dan permintaan ini adalah hukum
pasar sehingga mustahil untuk dihilangkan dari kehidupan masyarakat. Untuk
itulah diperlukan paradigma baru berupa mengajak laki-laki agar tidak melacur, atau
melokalisir pelacuran agar program penanggulangan HIV/AIDS dapat dijalankan
dengan langkah-langkah yang konkret.
Raperda ini kian tidak berguna karena
pada Bab V tentang Peran Serta
Masyarakat sama sekali tidak ada program yang konkret.
Lihat saja
pasal 23 ayat 1: Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan
serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara:
berperilaku hidup sehat (tidak ada
kaitan antara perilaku hidup sehat dengan penualran HIV, melakukan hubugnan
seksual dalam nikah dan di luar nikah adalah perilaku hidup sehat, orang tidak
sehat tidak bisa melakukan hubungan seksual).
meningkatkan ketahanan keluarga untuk
mencegah penularan HIV dan AIDS (apa alat ukur, takar dan timbang ketahanan
keluarga, siapa yang berhak menjadi petugas ukur, takar dan timbang ketahanan
keluarga, berapa takaran ketahanan keluarga yang bisa mencegah HIV).
Jika perda kelak diharapkan bisa
menjadi regulasi untuk menanggulangi HIV/AIDS, maka yang perlu ada dalam perda,
antara lain adalah:
(1) Program penanggulangan berupa
intervensi yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.
(2) Program yang konkret dan sistematis
untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.
(3) Program pencegahan HIV
dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Tanpa program
yang konkret maka perda itu sama saja dengan perda-perda lain yang tidak bisa
dipakai untuk menanggulangi HIV/AIDS. Maka, jika ini yang terjadi Pemkot
Banjabaru tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’.. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***