22 Desember 2012

Mensos Menutup Lokalisasi Pelacuran ‘Pucuk’ Jambi dengan Pola Lama

Tanggapan Berita (23/12-2012) – “ …. sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Sosial, bahwa prostitusi itu terkait dengan masalah kemiskinan.” Ini pernyataan Menteri Sosial (Mensos), Salim Segaf Al-Jufri (Mensos: Prostitusi Pucuk Disebabkan Kemiskinan, metrojambi, 16/12-2012).

Pernyataan Mensos ini terkait dengan lokalisasi pelacuran ”Payo Sigadung” lebih dikenal sebagai ”Pucuk” yang sulit dipindahkan.

Pernyataan Mensos ini menunjukkan bias gender yang hanya melihat kesalahan pada perempuan, dalam hal ini pekerja seks, yang mangkal di lokalisasi itu.

Kalau pekerja seks ’praktek’ di lokalisasi, lalu apa alasan laki-laki ’hidung belang’, bahkan ada yang sudah beristri’ melacur ke ’Pucuk’? Sayang, wartawan tidak bertanya sehingga tidak ada jawaban Mensos.

Padahal, laki-laki ’hidung belang’ yang melacur ke ’Pucuk’ menjadi jembatan penyebaran IMS ((infeksi menular seksual yaitu penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dari yang mengidap IMS kepada pasangannya, seperti sifilis/raja singa, GO/kencing nanah, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, dll.) atau HIV atau dua-duanya sekaligus dari masyarakat ke pekerja seks atau sebaliknya.

Dengan  703 kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Jambi, yang terdiri atas  362 HIV dan 341 AIDS dengan 123 kematinan tentulah langkah yang pas bukan menutup lokalisasi tsb., tapi menjalankan program yang bisa mencegah penularan HIV dari laki-laki ke pekerja seks dan sebaliknya.

Ini pernyataan Mensos: "Lokalisasi itu tidak ada relokasi atau pemindahan, cara menyelesaikannya lakukanlah lokakarya yang dihadiri oleh dinas terkait, dan hadirkan juga tokoh masyarakat dan para ulama."

Pak Mensos lupa atau pura-pura lupa kalau pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Biar pun lokalisasi ’Pucuk’ ditutup itu tidak berarti praktek pelacuran berhenti di Kota Jambi.

Praktek pelacuran menyebar ke banyak tempat, seperti penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel berbintang sehingga program penanggulangan IMS dan HIV tidak bisa dijalankan karena pelacuran tidak bisa dijangkau.

Masih pernyataan Mensos: Dan untuk memanusiakan mereka kembali dilakukan langkah-langkah secara bertahap, yakni siapkan rumah yang sederhana untuk mereka, dan anak-anaknya bisa tumbuh sehat dan bersekolah, serta siapkan lapangan kerja bagi mereka.

Pertanyaan untuk Pak Mensos: Bagaimana ’memanusiakan’ laki-laki ’hidung belang’ agar tidak mencari-cari pekerja seks biar pun kelak ’Pucuk’ ditutup?

Nah, ini juga tidak ditanya wartawan sehingga dikesankan kalau ’Pucuk’ ditutup maka pelacuran berhenti dan pekerja seks ’pulang kampung’ menjalani hidup yang ’lempang’.

Itulah yang diperkirakan Mensos akan terjadi: "Saya yakin, mereka pasti akan meninggalkan perilaku yang seperti itu." pungkasnya.

Lagi-lagi Pak Mensos lupa kalau program rehabilitasi dan resosialisasi pekerja seks sudah dijalanan pemerintah semasa rezim Orba, tapi hasilnya nol besar (Lihat: Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an) - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/menyingkap-kegagalan-resosialisasi-dan.html). 

Pelacuran adalah fenomena sosial yang tidak akan terpecahkan karena di sana ada hukum pasar: ada permintaan terhadap pekerja seks (laki-laki ’hidung belang’) dan ada pula pasokan pekerja seks (germo).

Kalau saja Pak Mensos membalik paradigma berpikirnya yaitu dengan mengajak laki-laki agar tidak ada lagi yang melacur, maka ’Pucuk’ dan pelacuran lain di negeri ini akan tutup dengan sendirinya tanpa harus seminar dengan membuang-buang uang rakyat yang juga tidak akan ada hasilnya.

Sayang, Pak Mensos ternyata tetap memakai cara berpikir lama yang sudah terbukti tidak berhasil. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

ML Tanpa Kondom dengan PSK Ketakutan Kena HIV/AIDS

Tanya-Jawab AIDS No 26 /Desember 2012

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan melalui telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM “InfoKespro” PO Box 1244/JAT Jakarta 13012, (2) e-mail aidsindonesia@gmail.com, (3) Telepon (021) 4756146, atau (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: (1) Apakah pertama kali ML (hubungan seksual) dengan PSK (pekerja seks komersial) tanpa kondon ada kemungkinan tertular HIV? Baru tadi malam saya ML itu pun karena diajak teman. Saya takut kena HIV. Saya mau cek ke dokter, tapi saya bingung. (2) Kalau cek ke dokter apakah bisa langsung diketahui hasilnya kena atau tidak? (3) Kalau saya harus menunggu masa jendela virusnya keburu menyebar dong. (4) Saya harus bagaimana?

Tn ”Zx” Kota Tangerang Selatan, Banten (via SMS 8/12-2012)

Jawab: (1) Probabilitas (kemungkinan) tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan yang mengidap HIV/AIDS adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual risiko tertular ada 1 kali. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual yang ke berapa terjadi penularan HIV. Selain itu tidak bisa pula dikenali PSK yang mengidap HIV. Maka, bisa saja terjadi penularan pada hubungan seksual yang pertama, kelima, ketujuh puluh, dst.

(2) Karena terkait langsung dengan perilaku berisiko tertular HIV dan belum ada gejala, akan lebih baik kalau Anda ke klinik VCT (tempat tes HIV sukarela yang gratis dengan konseling dan kerahasiaan terjamin) di rumah sakit di daerah Anda.

(3) dan (4) Begitu virus masuk ke dalam tubuh virus (HIV) sudah mulai menggandakan diri. HIV tidak menyebar tapi memperbanyak diri dengan cara memproduksi virus baru di sel darah putih. Virus yang baru diproduksi akan mencari sel darah putih lain untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya. Tes HIV dengan ELISA memang baru akurat kalau darah diambil setelah tertular tiga bulan. Artinya, tiga bulan setelah terakhir Anda ML dengan PSK.

Untuk menenteramkan pikiran Anda segeralah ke klinik VCT. Jangan tunda-tunda lagi. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Pemuda Gay Khawatir karena Ada Kutil di Anus


Tanya-Jawab AIDS No 25 /Desember 2012

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan melalui telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM “InfoKespro” PO Box 1244/JAT Jakarta 13012, (2) e-mail aidsindonesia@gmail.com, (3) Telepon (021) 4756146, atau (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Di sekitar anus saya ada kutil, mengapa ya? Saya gay dan setia dengan satu pasangan

Mr ”Xx”, Kota C, Jabar (via SMS 22/12-2012)

Jawab: Bisa saja Anda setia dengan pasangan Anda, tapi apakah Anda bisa menjamin pasangan Anda juga setia? Kalau Anda tidak yakin pasangan Anda juga setia seperti Anda, maka akan lebih baik kalau berobat ke dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin untuk memeriksa kutil.

Hubungan seksual berupa seks anal tanpa kondom berisiko karena terjadi gesekan antara lubang dubur dengan penis secara langsung sehingga ada kemungkinan terjadi perlukaan yang menjadi pintu masuk IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus jika salah seorang dari pasangan tsb. mengidap IMS atau HIV atau dua-duanya.

Jika Anda ingin konsultasi terkait dengan perilaku seksual Anda, maka silakan ke klinik VCT (tempat tes HIV sukarela gratis dengan konseling dan kerahasiaan) di rumah sakit pemerintah di daerah Anda. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Di Kota Ambon Menanggulangi AIDS dengan Memeriksa Anak Jalanan


Tanggapan Berita (23/12-2012) - Sekretaris Kota Ambon Tonny Latuheru mengatakan pemerintah kota (pemkot) Ambon melakukan pencegahan dini penularan HIV/AIDS melalui pemeriksaan bagi anak-anak jalanan. Sehingga apabila dalam pemeriksaan nanti ada kedapatan atau terindikasi terjangkit, maka akan dilakukan langkah penanganan secara cepat dan tepat (Cegah HIV/AIDS, Pemkot Ambon Periksa Anak Jalanan, www.beritasatu.com, 27/11- 2012).

Dikabarkan bahwa sejak Januari-Oktober 2012 83 kasus baru HIV/AIDS terdeteksi di Kota Ambon, Prov Maluku, sehingga jumlah kumulatif sejak sejak tahun 1996 sampai Oktober 2012 tercatat 935.

Langkah Pemkot Ambon itu mengesankan penyebaran HIV/AIDS di Kota Ambon dilakukan oleh anak jalan.

Itu tidak masuk akal karena penyebaran HIV justru dilakukan oleh laki-laki dewasa yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami.

Pertama, ada laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks komersial (PSK).

Kedua, ada laki-laki yang tertular HIV dari PSK.

Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Yang menjadi pertanyaan untuk Tonny adalah: Apakah di Kota Ambon ada pelacuran?

Kita bisa menebak Tonny akan berujar lantang: Tidak ada!

Tonny benar. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran yang ’resmi’, artinya ditangani oleh dinas terkait, dalam hal ini dinas sosial.

Tapi, praktek pelacuran ada di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Persoalannya adalah praktek pelacuran yang terjadi di banyak tempat itu tidak bisa dijangkau untuk memaksa laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Akibatnya, laki-laki ’hidung belang’ yang dalam hal ini sebagai suami menjadi jembatan penyebaran HIV dari masyarakat (dia sendiri) ke PSK dan dari PSK ke masyarakat, al. ke istri.

Disebutkan oleh Tonny: “Anak-anak jalanan sangat berpotensi terkena HIV/AIDS karena mereka sehari-hari berada di luar rumah. Ada teman yang ajak dan mereka tidak tahu bahwa teman tersebut mengidap HIV/AIDS. Akibat ajakan itu mereka juga bisa tertular.”

Kalau penyebaran HIV hanya terjadi di antara mereka tentu tidak ada masalah bagi masyarakat.

Lalu, mengapa anak-anak jalanan itu dianggap sebagai mata rantai penyebaran HIV?

Itu yang jadi pertanyaan.

Disebutkan pula bahwa untuk mencegah penularan HIV/AIDS, pemerintah Kota Ambon bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melakukan pemeriksaan darah terhadap anak jalanan yang keseharian beraktiviktas di kawasan pasar Mardika dan Batu Merah.

Pernyataan di atas dikesankan anak-anak jalanan itu menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat. Koq bisa? Nah, itu yang tidak muncul dalam berita ini.

Tonny membenarkan bahwa pihaknya bersama LSM berupaya keras untuk mencegah penularan HIV/IADS dengan melakukan sosialisasi di tempat-tempat hiburan malan seperti karaoke, pub dan kafe, Lapas Rutan dan anak-anak jalanan.

Untuk apa sosialisasi ke tempat-tempat hiburan malam kalau di sana tidak ada transaksi seks?

Tapi, dari pernyataan tsb. terbuktilah bahwa di tempat-tempat hiburan malam ada transaksi seks. Hubungan seksual di tempat-tempat hiburan itu bisa berisiko terjadi penularan dari pengunjung (laki-laki) ke perempuan yang menjadi pekerja seks dan sebaliknya.

Kalau yang dilakukan hanya sebatas sosialisasi itu tidak ada gunanya karena tidak bisa dipastikan laki-laki yang melakukan hubungan seksual di tempat-tempat hiburan malam itu memakai kondom.

Yang diperlukan adalah intervensi yang konkret berupa program yang bisa memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks di tempat-tempat hiburan malam tsb.

Jika Pemkot Ambon tidak mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk menanggulangi penyebaran HIV, maka kasus-kasus yang terjadi di masyarakat akan menjadi ’bom waktu’ untuk ledakan AIDS.
***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

21 Desember 2012

Kecamatan ‘Bebas AIDS’ di Kab Lamongan


Tanggapan Berita (23/12-2012) – “Dinkes Lamongan Klaim Hanya Satu Kecamatan Bebas HIV/AIDS.” Ini judul berita di detikSurabaya (19/12-2012)

Judul ini tidak akurat karena:

(1) Tidak ada daerah, kota, kabupaten bahkan negara yang bebas HIV/AIDS karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya.

(2) Jika disebut satu daerah disebut ’bebas HIV/AIDS’ tentu semua penduduk harus menjalani tes HIV.

(3) Kondisi ’bebas HIV/AIDS’ jika semua penduduk sudah menjalani tes HIV pun hanya sementara. Artinya, kondisi itu hanya ketika darah diambil untuk dites. Soalnya, setelah tes HIV bisa saja ada yang tertular HIV melalui perilaku berisiko.

Nah, pertanyaan untuk Pemkab Lamongan, Jatim: Apakah semua penduduk di Kecamatan Sukorame tsb. sudah menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya tidak, maka kecamatan itu bukan ’bebas HIV/AIDS’, tapi belum ada penduduk kecamatan itu yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Kabid Pencegahan Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2PLP) Dinkes Lamongan, Chaidir Annas, menjelaskan dari temuan per tahun diketahui jika angka penderita HIV/AIDS di Lamongan menunjukkan grafik peningkatan.

Rupanya Chaidir tidak memahami cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya. Maka, biar pun pengidap HIV/AIDS banyak yang meninggal angka HIV/AIDS tidak akan pernah turun atau berkurang.

Disebutkan: "Bila tahun 2011 ditemukan jumlah penderita sebanyak 73 orang maka tahun 2012 tercatat ditemukan 113 orang penderita."

Yang meningkat atau bertambah adalah kasus baru yang terdeteksi. Ini tidak menunjukkan terjadi infeksi HIV baru karena bisa saja yang terdeteksi di tahun 2012 terdeteksi beberapa tahun sebelumnya.

Disebutkan pula: "Saat penderita ditemukan mereka sudah stadium positif AIDS."  Ini kutipan pernyataan Chaidir. Lagi-lagi pernyataan ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS.

Bukan ’stadium positif AIDS’, tapi pada masa AIDS. Artinya, terdeteksi di masa AIDS yaitu setelah tertular antara 5-15 tahun sebelumnya.

Menurut Chaidir, sebagai langkah agar penyebaran HIV/AIDS tidak semakin merebak diperlukan komitmen semua pihak agar penyuluhan bisa menyentuh semua desa di Lamongan. 

Yang diperlukan tidak sekedar penyuluhan, tapi langkah konkret dari Pemkab Lamongan untuk menanggulangi insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui pelacuran.

Pertanyaannya adalah: Apakah di Kab Lamongan ada pelacuran?

Tentu saja Chaidir mengatakan: Tidak ada!

Chaidir benar. Tapi, tunggu dulu. Yang apa yang tidak ada?

Yang tidak ada adalah lokalisasi ’resmi’ pelacuran, tapi praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Jika Pemkab Lamongan tidak mempunyai program yang konkret untuk memaksa laki-laki dewasa memakai kondom ketika melacur, maka penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat akan terus terjadi.

Pemkab Lamongan tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

20 Desember 2012

Raperda AIDS Kota Banjarbaru Hanya Copy-Paste dari Perda yang Ada


Media Watch (21/12-2012) – Biar pun peraturan daerah (perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di banyak daerah tidak berguna, tapi tetap saja ada daerah yang ngotot menerbitkan perda AIDS. Di Indonesia sudah ada 62 perda (provinsi, kabupaten dan kota), 4 pergub dan 2 perwalko.

Kota Banjarbaru di Prov Kalimantan Selatan (Kalsel), misalnya, sedang meracang perda penanggulangan HIV/AIDS. Padahal, di Kota Banjarmasin, juga di Kalsel, sudah ada perda yang juga sama sekali tidak berguna karena tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: Perda AIDS Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kota-banjarmasin-kalimantan.html). 

Raperda HIV/AIDS Kota Banjarbaru ini pun hanya copy-paste dari perda-perda sejenis yang sudah ada. Maka, sudah bisa dipastikan perda itu pun tidak akan bermanfaat dalam penanggulangan HIV/AIDS. Arang habis besi binasa. Uang rakyat dihambur-hamburkan untuk membuat perda ini, tapi perda itu pun kelak sama sekali tidak ada manfaatnya dalam melindungi masyarakat, terutama kalangan perempuan, dari risiko tertular HIV.

Menularkan HIV dan Tertular HIV

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Banjarbaru dilaporkan 54 dari tahun 2005 sampai 2012. Perlu diingat bahwa angka itu hanyalah sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (54) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar 5).

Di Kota Banjarbaru ada lokasi pelacuran. Di lokasi ini ada 370 pekerja seks komersial (PSK). Tanggal 16/12-2012 dilakukan tes HIV dengan cara VCT (tes HIV sukarela yang gratis dengan konseling dan kerahasiaan) terhadap 109 PSK ’baru’. Hasilnya, 2 contoh darah reaktif. Angka ini tidak menggambarkan status HIV 109 PSK itu karena bisa saja ketika tes mereka dalam masa jendela (tertular di bawah tiga bulan sehingga hasil tes bisa negatif palsu atau positif palsu).


PSK yang mengidap HIV/AIDS akan  menularkan HIV kepada laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tsb. Selanjutnya laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah (Lihat Gambar 1).

Pintu masuk HIV/AIDS ke masyarakat Kota Banjarbaru al. melalui laki-laki dewasa yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom di Kota Banjarbaru, di luar kota Banjarbaru atau di luar negeri.

Yang bisa diintevensi dengan program yang konkret dan sistmatis hanyalah perilaku laki-laki dewasa penduduk Kota Banjarbaru yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di Kota Banjarbaru.

Salah satu langkah yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, melalui laki-laki ’hidung belang’ adalah dengan program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melacur dengan PSK di lokalisasi pelacuran di Kota Banjarbaru (Lihat Gambar 2).

Sayang, dalam Raperda AIDS Kota Banjarbaru sama sekali tidak ada satu pun pasal yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV pada laki-laki ’hidung belang’ yang melacur di Kota Banjarbaru.

Pada paragraf 3 tentang pencegahan pada hubungan seks berisko pun pasal-pasal pencegahan tidak konkret.

Di pasal 10 ayat 1 disebutkan: ”Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib menggunakan kondom”. Sedangkan di pasal 10 ayat 2 disebutkan: ” Setiap pelanggan penjaja seks wajib menggunakan kondom pada saat berhubungan seks.”

Hubungan seksual berisiko adalah hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering beganti-ganti pasangan, seperti PSK dan waria.

Tentu saja ayat 1 dan 2 pada pasal ini tidak bisa menjerat laki-laki ’hidung belang’ karena hubungan seksual berisiko terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa dipantau.

Untuk menerapkan program kondom sebagai bagian dari upaya menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ’hidung belang’ melalui hubungan seksual dengan PSK diperlukan regulasi untuk melokalisir pelacuran (Lihat Gambar 3). 

Penanggulangan di Hilir

Di Gambar 3 bisa dilihat langkah-langkah penanggulangan yang dilakukan adalah kegiatan di hilir. Artinya, ditunggu dulu ada penduduk yang tertular HIV (di hulu) baru ditangani.

Misalnya, di Bagian Keempat pasal 15 dan 16 tentang Tes Sukarela, Rahasia dan Konseling juga dilakukan di hilir.

Hal yang sama juga pada Bagian Kelima pasal 17, 18 dan 19 tentang Pengobatan juga di hilir.

Juga di Bagian Keenam pasal 20 tantang Perawatan dan Dukungan juga kegiatan di hilir.

Perda ini sama sekali tidak bekerja di hulu, tapi di hilir. Misalnya, pada paragraf 4 pasal 11 tentang pemeriksaan IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dari yang mengidap IMS ke orang lain, seperti GO/kencing nanah, sifilis/raja singa, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, dll.).

Pemeriksaan adalah langkah di hilir. Artinya, penularan IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus sudah terjadi dari laki-laki ’hidung belang’ penduduk Kota Banjarbaru ke PSK dan sebaliknya.

Begitu pula dengan pasal 10 ayat 3 disebutkan: ”Setiap orang yang berperilaku seks berisiko wajib melakukan pemeriksaan IMS sebulan sekali dan VCT sesuai prosedur yang berlaku di tempat pemeriksaan yang telah ditunjuk dinas teknis.”

Jika seorang PSK tertular IMS, maka dalam satu bulan dia sudah menularkan IMS kepada 75 laki-laki (1 PSK x 3 laki-laki/malam x 25 hari per bulan). Laki-laki yang tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Upaya untuk mencegah penularan HIV dari suami ke istri tidak bisa diintervensi. Itulah sebabnya program yang realistis adalah menerapkan program wajib kondom bagi laki-laki ’hidung belang’ yang melacur.

Karena risiko istri tertular HIV tidak bisa diintervensi, maka ibu rumah tangga yang tertular HIV akan berisiko menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya.

Maka, diperlukan intervensi yang konkret yaitu pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya yang dikenal sebagai program PMTCT/prevention-mother-to-child-transmission (Lihat Gambar 2). 

Celakanya, dalam rapeda tidak ada langkah yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Akibatnya, hanya sebagian kecil ibu-ibu yang mengidap HIV/AIDS terdeteksi, al. yang kontrol ke layanan pemerintah seperti posyandu, puskesmas atau rumah sakit. Bandingkan dengan Malaysia yang menerapkan program skirining rutin terhadap perempuan hamil sehingga bisa dideteksi ibu-ibu yang mengidap HIV/AIDS.

Materi raperda pada Paragraf 5 tentang Pencegahan pada Tempat hiburan, Panti pijat, Perusahaan dan tempat potensial lainnya menunjukkan langkah yang tidak membumi.

Coba saja simak bunyi pasal 12 ayat 1 ini: Kewajiban Setiap pemilik/pengelola tempat hiburan, Pantipijat, dan tempat potensial lainnya adalah:

a. memberikan penyuluhan dan informasi tentang bahaya penularan IMS, HIV dan AIDS pada karyawannya;

b. menyediakan tempat media KIE tentang HIV dan AIDS yang mudah di akses oleh pengunjung serta karyawannya;

c. berperan aktif dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, dengan melakukan pemeriksaan IMS dan HIV rutin untuk karyawannya;

d. memberikan prioritas pemberian dana CSR pada program penanggulangan HIV dan AIDS.

Program Konkret

Pasal ini di awang-awang karena tidak menyentuh akar persoalan. Program yang sudah dijalankan di Thailand adalah pemilik/pengelola termpat hiburan diberikan izin usaha sebagai pintu masuk untuk intervensi hukum. Pemilik/pengeola tempat hiburan mewajibkan laki2 memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks. Secara rutin pekerja seks menjalani tes IMS, kalau ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS yang diberikan sanksi adalah pemilik/pengelola tempat hiburan bukan pekerja seks.

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kalsel menjangkau (out reach) PSK di lokasi pelacuran di Kota Banjarbaru sebagai upaya dari kegiatan PMTS (pencegahan melalui transmisi seksual), al. mendorong laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Tapi, ”Bang, kami kewalahan menghadapi PSK ’pendatang baru’ tapi ’stok lama’.” Ini keluhan seorang petugas out reach di sana. Soalnya, KPA Prov Kalsel dan KPA Kota Banjarbaru sama sekali tidak mendukung penjangkauan yang dilakukan PKBI. Bahkan mereka tidak mempunyai program penjangkauan dan program PMTS.

Soalnya, kalau yang dipakai adalah paradigma lama yaitu ’membasmi’ lokalisasi pelacuran itu tidak ada manfaatnya karena praktek pelacuran terjadi di banyak tempat dan setiap waktu mulai dari pagi sampai pagi lagi. Ini terjadi karena ada pasokan (PSK) dan permintaan (PSK) seperti pada gambar segi tiga (Gambar 4).

Pasokan dan permintaan ini adalah hukum pasar sehingga mustahil untuk dihilangkan dari kehidupan masyarakat. Untuk itulah diperlukan paradigma baru berupa mengajak laki-laki agar tidak melacur, atau melokalisir pelacuran agar program penanggulangan HIV/AIDS dapat dijalankan dengan langkah-langkah yang konkret.

Raperda ini kian tidak berguna karena pada Bab V tentang Peran Serta Masyarakat sama sekali tidak ada program yang konkret.

Lihat saja pasal 23 ayat 1: Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara:

berperilaku hidup sehat (tidak ada kaitan antara perilaku hidup sehat dengan penualran HIV, melakukan hubugnan seksual dalam nikah dan di luar nikah adalah perilaku hidup sehat, orang tidak sehat tidak bisa melakukan hubungan seksual).

meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS (apa alat ukur, takar dan timbang ketahanan keluarga, siapa yang berhak menjadi petugas ukur, takar dan timbang ketahanan keluarga, berapa takaran ketahanan keluarga yang bisa mencegah HIV).

Jika perda kelak diharapkan bisa menjadi regulasi untuk menanggulangi HIV/AIDS, maka yang perlu ada dalam perda, antara lain adalah:

(1) Program penanggulangan berupa intervensi yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.

(2) Program yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.

(3) Program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Tanpa program yang konkret maka perda itu sama saja dengan perda-perda lain yang tidak bisa dipakai untuk menanggulangi HIV/AIDS. Maka, jika ini yang terjadi Pemkot Banjabaru tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’.. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Melindungi Perempuan dari HIV/AIDS Tanpa Program yang Konkret

Liputan (21/12-2012) - Tema Hari AIDS Sedunia (HAS) tahun ini, ”Lindungi Perempuan dan Anak” yang diperingati 1 Desember ’menyentuh’ nurani perempuan. Istri tertular HIV dari suami, selanjut istri menularkan HIV pula kepada bayi yang dikandungnya. Padahal, apa salah mereka sebagai perempuan? Mereka hanyalah ibu rumah tangga yang mengurus suami dan anak.

Tema HAS ini mengingatkanku pada salah seorang teman yang menangis sesunggukan ketika tahu istrinya yang baru melahirkan terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Laki-laki itu bergumam: “Andai saja saya tahu bagaimana penularan HIV dan tahu statusku, saya takkan pernah menikah. Saya takkan pernah menularkan virusku pada orang lain apalagi pada perempuan yang sangat kucintai. Tapi, akh …. mengapa status HIV-ku baru kuketahui justru ketika menjelang ajal menjemput istriku? Ketika anakku yang baru dilahirkan dalam kondisi lemah dengan jamur di mulut.”

Beberapa laki-laki lain yang tahu status HIV-nya setelah menikah dan hasil tes istrinya positif, umumnya mengungkapkan rasa penyesalan dan rasa berdosa. Padahal, tak ada yang perlu disesalkan. Perasaan berdosa dan bersalah justru menjadi beban yang akan membuat kondisi kesehatan jelek. Perilaku berisiko, seperti melacur tanpa kondom atau memakai narkoba dengan jarum suntik bergantian, mereka lakukan karena tidak mengetahui akibatnya. Ini, al. terjadi karena  informasi HIV/AIDS yang tidak memasyarakat.

Maka, belakangan ini kasus HIV dan AIDS di Indonesia justru banyak terdeteksi pada ibu rumah tangga. Nah, apa yang salah dengan perempuan?

Tidak ada yang salah. Yang salah adalah ketidak-pedulian suami mereka terkait dengan perilaku suami-suami yang berisiko. Banyak laki-laki yang beranggapan bahwa HIV hanya ada pada pekerja seks komersial (PSK), waria dan laki-laki homoseksual. Laki-laki enggan menggunakan kondonm bila ganta-ganti pasangan seks dan melacur dengan dalih tidak enak dan tidak jantan. Atau dengan dalih karena sudah membayar untuk apa pakai kondom.

Ketidak-pedulian laki-laki terhadap penualaran HIV mungkin juga karena program penanggulangan HIV dan AIDS selama ini lebih banyak pada PSK, waria dan pengguna narkoba suntik.

Laki-laki berisiko, atau pelanggan PSK belum maksimal terjangkau, mereka sangat sulit untuk dijangkau. Laki-laki kurang peduli terhadap informasi HIV dan AIDS. Mereka selalu merasa bersih dan tidak mungkin tertular HIV, maka istri dan anak-anak mereka yang menjadi korban.

Padahal, dengan ganta-ganti pasangan seksual dan melacur tanpa kondom rentan tertular HIV. Istri yang setia menunggu di rumah akan tertular HIV dari suami. Jika hamil dan melahirkan ada kemungkinan anaknya juga akan tertular HIV. Oleh karena itu, program HIV dan AIDS bagi laki-laki berisiko sudah sangat perlu dilakukan jika kita ingin melindungi perempuan dan anak.

Seperti halnya di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulsel, sejak tahun 2008 sampai Desember 2012 dari 57 kasus HIV dan AIDS, kasus pada PSK dan waria hanya 4, pengguna narkoba dan pasangan 24, selebihnya penduduk 27 dan 2 anak. Data ini menunjukkan bahwa yang terinfeksi HIV justru lebih banyak dari kalangan masyarakat, seperti suami dan istri tertular dari suaminya.

Ketika kondom ditawarkan untuk mencegah penularan HIV lewat hubungan seksual yang berisiko, seperti berganti-ganti pasangan dan melacur, masyarakat beranggapan bahwa langkah itu melegalkan porstitusi. Menyuruh orang melakukan zina. Padahal, hanya dengan kondomlah penularan HIV bisa dicegah pada hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau melacur.

Sayangnya, tidak ada program yang konkret untuk melindungi perempuan dari risiko tertular HIV. ***[AIDS Watch Indonesia/Santy Syafaat dari Parepare, Sulsel]***