* Pengalaman seorang konselor HIV/AIDS mendampingi seorang Odha di Kota
Parepare, Sulsel
Liputan (10/12-2012) - Aku telah meninggalkan kesenangan.
Meninggalkan segala suka cita kehidupan. Mengikuti jalan yang engkau ridhoi.
Tapi, kau tak juga bersikap adil padaku. Aku tetap terbuang dan terbaring tak
berdaya tanpa sanak keluarga. Aku terbuang dari rasa kemanusiaan, keibuan,
kebapakan dan kekerabatan hanya karena dalam cairan tubuhku terdapat virus (HIV).
Karena stigma dan diskriminasi seorang dokter yang telah kuanggap orang tua.
Tuhanku, adillah padaku. Atau panggilah aku untuk melepaskanku dari belenggu
kesedihan dan penderitaan ini.
Itulah isi hati Rian, 24 tahun, seorang anak manusia yang hidup
dengan HIV/AIDS (Odha) di Kota Parepare, Sulawesi Selatan.
Kondisi kesehatannya menurun dratis
setelah dia mengetahui kalau dirinya sudah mengidap HIV. Tubuh yang gemuk,
padat dan berisi dengan sorotan mata tajam pupus sudah. Tanggal 2 Februari 2008
Rian menjalani tes HIV. Tapi, tidak langsung menerima hasil dengan alasan belum
siap menerima. Seminggu kemudian, ia kembali ke tempat tes dan menerima
hasil tesnya.
Ketika tahu hasil tesnya reaktif
matanya nanar, wajahnya terlihat tegang. Berulang kali ia bertanya
arti kata reaktif kendati telah dijelaskan berulang kali. “Jadi
apa yang mesti kulakukan sekarang,” katanya waktu itu.
Buka Status HIV
“Jangan lagi melakukan perilaku berisiko,
jalani pola hidup sehat,” ujar konselor yang mendampinginya.
Jangan banyak berpikir karena akan
merusak kesehatan. Jangan pernah berpikir bahwa kematian
sudah dekat, dunia belum berakhir. Tapi, awal untuk memperbaiki kehidupan.
Banyak orang dengan status HIV hidupnya panjang karena melakukan pola hidup
sehat. Kau perlu tes CD4 dan terapi
ART (meminum obat antiretroviral() jika CD4-mu sudah di bawah 350. Memang,
dengan melakukan terapi takkan menghilangkan virus yang ada dalam cairan
tubuhmu. Tapi, setidaknya hidupmu akan lebih baik, mandiri dan berdaya.
Rian diam. Lalu meminta supaya hasil
tesnya disampaikan pada salah satu dokter yang telah dia anggap sebagai
keluarga yang bekerja di RSUD Andi Makkasau Parepare.
Sayang, keputusan itu justru
mengantarnya dalam fatamorgana yang tak berujung. Dokter yang semula diyakini
akan membantunya justru membuka statusnya. Dokter itu memberitahu warga yang
tinggal di sekitar rumahnya bahwa Rian HIV-positif.
Akibatnya, masyarakat dan kerabatnya
takut pada Rian. Tak ada lagi yang berani mendekat. Hingga akhirnya pada
tanggal 17 Mei 2008 Rian pamit mau pergi ke Makakssar. Sebelum pergi, Rian
kembali menerima konseling dengan harapan
dia menjalani kehidupan yang sehat
“Ketika orang tuaku bercerai, saya ikut
tanteku. Setelah remaja barulah saya ikut mama di Samarinda, Kaltim. Karena tidak
memiliki pendidikan dan ketidak tahuanku soal HIV dan AIDS saya melakukan
perilaku berisiko. Mabuk-mabukkan, berganta-ganti pasangan seks dan menyalangunakan
putauw.” Inilah keluhan Rian.
Rian menghapus wajahnya yang dibasahi
air matanya. Lalu mencoba tersenyum dan memperbaiki letak duduknya. Kala itu, kami duduk di teras rumah dokter yang membeberkan status HIV-nya.
“Semua orang memiliki masa lalu, yang
terpenting sekarang adalah menata hidup jika kau merasa waktu yang telah
dihabiskan tidak bermamfaat.” Rian mengangguk.
Itulah akhir pertemuanku dengan Rian
ketika kondisi tubuhnya masih sangat sehat. Kenyataan itu yang membuatku seolah
tidak percaya ketika melihat Rian tergolek tak berdaya di rumah tetangganya
pada Jumat 10 Juli 2008 setelah melarikan diri dari RSU Andi Makkasau Parepare
setelah dirawat tiga hari. Ia terlihat sangat kurus
dan hanya mengenakan sarung lusuh dan celana dalam.
Warga yang ketakutan berkumpul di luar
rumah. Pemilik rumah mengomel karena Rian masuk ke rumahnya tanpa pamit.
Tantenya yang selama ini menjadi harapan Rian dan pernah tinggal di rumah itu
juga tidak mau menerimanya.
Gelas, piring, dan sendok yang telah
Rian pakai untuk minum dan makan ketika
baru melarikan diri dari rumah sakit dibuang. Air yang ada dalam bak mandi
pun dibuang. Semua benda yang telah disentuh Rian dibuang. Alasan tantenya
karena takut tertular HIV.
Malam itu, suasana di Jalan Syamsul
Bahri, Kota Parepare, heboh. Ada yang meminta supaya
Rian diisolasi atau dibawa paksa ke rumah sakit. Karena warga sudah panik,
akhirnya saya menenangkan warga dengan memberikan pemahaman soal HIV dan AIDS.
Bahwa HIV tidak menulari warga hanya karena Rian tidur di rumahnya, atau makan
dan minum. Minum di gelas yang sama takkan terjadi penularan. Menggunakan kamar
mandi yang sama, tidur sama, ganti pakian juga takkan terjadi penularan dan
tidak menular lewat gigitan nyamuk. Penularan hanya jika terjadi pertukaran
cairan tubuh misalnya air mani, air vagina, darah dan air susu ibu yang HIV
positif.
Berbagai cara kulakukan dengan
menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami dan dimegerti oleh warga. Tapi,
ternyata kabar dari dokter yang membeberkan status HIV Rian justru lebih
diterima warga. Kata-kata dokter memang jauh lebih diterima masyarakat daripada
saya yang hanya seorang pekerja sosial yang bergerak di HIV dan AIDS.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan, akhirnya Rian saya bangunkan dan saya bujuk kembali ke rumah sakit.
“Saya mau dirawat asal keluargaku mau
menjengukku. Yang saya butuhkan hanya teman ngobrol, perhatian keluarga. Kalau
mereka takut duduk di dekatku, biarlah mereka berdiri dipintu asal saya punya
teman ngobrol,” pintanya. Malam itu, persyaratan Rian dipenuhi kerabatnya melalui pendekatan dengan
keluarga Rian dan warga.
Janji tante Rian ternyata tidak
ditepati, selama dirawat tidak ada satupun keluarganya yang menjenguknya.
“Selama di Makassar saya sering minum
minuman beralkohol dan nyabu. Saya lakukan untuk mengusir pikiranku yang
dihantui oleh virus yang ada dalam tubuhku. Hingga akhirnya saya drop dan jatuh
sakit seperti sekarang ini,” ujarnya terbata-bata ketika itu.
Bunuh Diri
Setelah dirawat empat hari di rumah
sakit, Rian meminta keluar dengan alasan kondisinya sudah membaik. Oleh dokter
yang menanganinya memberikan izin karena memang kondisinya kala itu sudah
membaik, HB-nya sudah normal. Akhirnya, tanggal 16 Juli 2008 Rian ke luar dari
rumah sakit.
Melihat Rian datang tantenya menutup
pintu. Tidak ada yang mau menerimanya. Akhirnya, Rian tidur di pos ronda karena
dia tidak mau tiggal bersamaku. Kenyataan yang memilukan membuatnya frustrasi.
Baginya, mati jauh lebih berarti daripada hidup dalam asa yang begitu
menyakitkan.
Untunglah dewi fortuna berpihak pada
Rian. Suami dokter yang membeberkan status HIV-nya memintanya tinggal di
rumahnya. Rian diberi tempat di dekat tangga. “Semua orang sudah takut padaku,
tidak ada lagi yang mau menerimaku. Saya sudah berulang kali mencoba bunuh diri,
mati jauh lebih baik bagiku,” katanya sambil menyerahkan dua buah silet yang
pernah ia pergunakan bunuh diri ketika saya menjenguknya.
Melihat banyak orang yang ada di
halaman rumah, saya sengaja membuka pintu kamar tempat Rian tidur. Untuk
membuktikan kepada warga bahwa tak ada yang perlu ditakutkan. Malam itu, suami dokter
itu memintaku memberikan penjelasan tentang HIV dan AIDS. Saya berikan
penjelasan secara rinci soal HIV dan AIDS, bagaimana bentuk penularannya. Saya
juga memberikan penjelasan bahwa yang dibutuhkan Rian hanyalah perhatian dan
dukungan.
“Bu, ternyata kau terlalu ketakutan,
toh penularannya tidak gampang. Bagaimana warga tidak ketakutan sama Rian kalau
sikapmu terlalu berlebihan sampai-sampai menutup pintu dan gorden karena
ketakutan tertular,” kata suami dokter tadi.
Nasehat suaminya tak membuat nurani dokter
itu tergugah. Ia tetap bersisukukuh pada pendiriannya. Hari Sabtu, 19 Juli 2008,
Rian harus meninggalkan rumahnya dengan alasan seluruh keluarganya akan ke
Makassar. Keputusan itu membuatku terhenyak.
Pukul 20.50 Wita saya ingatkan agar
Rian minum obat, namun Rian menggeleng
dan tertunduk. “Saya belum makan malam,”
ujarnya.
Nasi yang saya beli di warung rupanya keras
sehingga Rian kesulitan memakannya. Kepada tantenya yang kebetulan ada di teras
rumah dokter, saya meminta supaya membuatkan bubur dan memberikan setiap hari
pada Rian.
Sayang, ketakutan terhadap HIV mengalahkan
kekerabatan. Tante Rian tidak mau memberikan sepiring bubur pun dengan dalih ia
punya anak kecil. Dia takut anaknya tertular HIV.
Kekerbatan yang hilang dan nurani kemanusiaan yang mati membuat
Rian kembali terpuruk. Dengan alasan diare dan dadanya semakin sakit, Sabtu 19
Juli 2008, Rian kembali ke rumah sakit, orang tuanya tidak mau menjenguknya
karena tahu Rian HIV-positif.
Berulang kali orang tuanya keberikan
penjelasan tentang HIV dan AIDS lewat telepon, tapi rasa keibuan dan kebapakan dikalahkan oleh ketakutan terhadap
HIV. Di saat kuberada di Bali mengikuti Pertemuan Regional KPA, pikiranku kacau
memikirkan Rian, masalahnya karena dirikulah cahaya kehidupan baginya. Hanya saya
yang selalu menjenguknya, memberikan dukungan.
Saya memilih segera pulang setelah
pertemuan dengan harapan, semangat hidupnya kembali bergelora. Kebawakan
oleh-oleh jam tangan dan baju.
Tapi, tepat pukul 00.00 Wita, Sabtu 26
Juli 2008, ketika saya sudah hampir memasuki Kota Parepare, saya menerima
telepon jika Rian sudah meninggal. Pagi-pagi sekali, pukul 06.00 Wita, saya
telah berada di ruang mayat seorang diri dengan linangan air mata. Memandangi
Rian yang tinggal tulang dan kulit, padahal hanya enam hari kutinggalkan.
Kerabat Rian saya beritahukan jika
Rian meninggal dan memintanya mengurus
mayatnya di rumah sakit, tapi lagi-lagi tidak ada yang mau dengan sejuta alasan
yang tidak masuk akal.
Hari itu, jiwaku benar-benar bercampuk
aduk. Tak ada yang mau memandikan dengan alasan takut tertular.
Pukul 16.30. Wita keluarga Rian akhirnya datang setelah saya marah-marah di
rumahnya. Mereka memandikan Rian setelah ku jelaskan cara
memandikan jenazah dan kuberikan sarung tangan.
Kematian Rian menyadarkanku bahwa
stigma dan diskriminasi mampu mengalahkan rasa keibuan, kebapakan dan
kekerabatan. Diskriminasi yang dilakukan tenaga medis begitu kuat tertanam
dalam diri masyarakat. Bagaimana masyarakat tidak takut dengan Odha jika tenaga
medis saja ketakutan. Padahal, yang dibutuhkan Odha adalah perhatian, kasih sayang dan dukungan dari
orang tua, kerabat, teman, kekasih dan masyarakat. Stigma dan diskriminasi mempercepat
mematian Odha. ***[AIDS Watch Indonesia/Santiaji Syafaat-dari Kota Parepare,
Sulsel]***