15 Desember 2012

28 Ibu Rumah Tangga di Kota Mataram, NTB, Mengidap HIV/AIDS

* Program KPA Kota Mataram ada di hilir pada penyebaran HIV/AIDS

Tanggapan Berita (16/12-2012) – “Bahkan yang lebih mencengangkan lagi, virus tersebut juga sudah menjangkiti kalangan ibu rumah tangga (IRT). Data yang dirilis Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Mataram menyebutkan, tercatat 28 ibu rumah tangga yang menderita HIV/AIDS. Rinciannya, 14 kasus HIV dan 14 kasus AIDS.” Ini pernyataan dalam berita “28 IRT Terjangkit HIV AIDS” di www.jpnn.com, (2/12-2012).

Dikabarkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Mataram, Prov Nusa Tenggara Barat (NTB) sampai Oktober 2012 tercatat 256 yang terdiri atas 133 HIV dan 123 AIDS.

Yang mencegangkan bukan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga, tapi (masih) ada saja suami yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, al. dengan pekerja seks komersial (PSK). Suami-suami yang tertular HIV itu kemudian menuarlan HIV kepada istrinya. Pada gilirannya jika istri-istri itu tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya kelak.

Menurut Sekretaris KPA Kota Mataram, Margaretha Cephas, terpaparnya ibu rumah tangga oleh virus HIV/AIDS disebabkan karena suami yang tidak terbuka dan tidak mengaku mengidap HIV/AIDS.
Kasusnya baru terungkap setelah istrinya memeriksakan kehamilan.

Pernyataan Rita ini tidak akurat karena banyak orang, termasuk suami-suami yang menularkan HIV kepada istrinya, tidak menyadari diri mereka sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.

Soalnya, materi dalam komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS tidak akurat karena hanya mengedepankan moral. Misalnya, menyebutkan bahwa HIV menular melalui zina dan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisaasi pelacuran.

Celakanya, di Kota Matara tidak ada lokalisasi pelacuran sehingga banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang merasa tidak berisiko tertular HIV karena mereka tidak melacur dengan PSK di lokalisasi pelacuran. Banyak di antara mereka yang melacur dengan PSK tidak langsung, seperti cewek cafĂ©, perempuan pemijat, cewek diskotek, cewek panggilan, dll.

Itulah risiko yang terjadi jika informasi dalam KIE tidak akurat.

Masih menurut Rita: "Seharusnya (ibu rumah tangga, Red) tidak sendiri diperiksa kesehatannya.
Pasangannya juga harus konseling dan ikut tes dan pengobatan."

Pertanyaan untuk Rita: Mengapa KPA tidak melakukan konseling pasangan?

Jika suami dari 28 ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV/AIDS itu tidak menerima konseling, maka mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Bisa saja 28 suami itu menularkan HIV kepada PSK, selanjutnya ada laki-laki yang tertular HIV dari PSK (Lihat Gambar). 

Disebutkan oleh Rita: "Bidan itu harus tahu pencegahan terhadap HIV/AIDS, karena pintu masuknya melalui pelayanan kesehatan ibu dan anak, baik di puskesmas, posyandu, maupun polindes."

Persoalannya adalah bagaimana bidan bisa mengetahui ibu hamil mengidap HIV/AIDS?

Soalnya, dalam Perda AIDS Prov NTB sama sekali tidak ada pasal yang mengatur soal mekanisme untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil (Lihat: Menyorot Kinerja Perda AIDS NTB* - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/menyorot-kinerja-perda-aids-ntb.html). 

Disebutkan bahwa kasus ibu rumah tangga yang terpapar HIV/AIDS tetap menjadi perhatian khusus KPA Kota Mataram. Semakin banyak kasus yang ditemukan justru semakin bagus.

Persoalannya adalah kalau hanya menemukan kasus itu artinya KPA Kota Mataram hanya bergerak di hilir pada penyebaran HIV/AIDS. Artinya, KPA menunggu ada dulu ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya baru kemudian ditanggani.

Dikabarkan wartawan media cetak dan elektronik di Kota Mataram diundang untuk mengikuti Sosialisasi Penghapusan Stigma dan Diskriminasi Terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Menurut Rita sosialisasi bertujuan untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan bagi wartawan tentang penghapusan stigma terhadap Odha.

Stigma dan diskriminasi terjadi di hilir yaitu setelah ada yang tertedeteksi HIV dan identitasnya dipublikasikan. Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu, al. mencegah insiden infeksi HIV baru terutam pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Disebutkan pula oleh Rita: "Termasuk pencegahan penularan dari ibu ke anak, sesuai dengan tema peringatan Hari AIDS Sedunia tahun ini."

Pertanyaan untuk Rita: Apa langkah konkret yang sistematis dilakukan KPA Kota Mataram untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil?

Selama tidak ada program penanggulangan yang konkret untuk mencegah penularan HIV di hulu, maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Mataram akan terus terjadi. Tinggal munggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Kalau Hasil Tes HIV Positif Merasa Tak Punya Harapan Lagi


Tanya-Jawab AIDS No 21 /Desember 2012

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan melalui telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM “InfoKespro” PO Box 1244/JAT Jakarta 13012, (2) e-mail aidsindonesia@gmail.com, (3) Telepon (021) 4756146, atau (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Hasil tes darah saya dengan ELISA menunjukkan reaktif TU 26,93, (1) Apakah saya terjangkit HIV? Hasil tes di rumah sakit mereka langsung memberikan hasil secara lisan, kalau di lab hasilnya tertulis. (2) Kalau saya benar tertular HIV, apa yang harus saya lakukan sekarang? Kayaknya sudah tidak ada lagi harapan dalam hidup ini.

Tn D (via SMS, 4/12-2012)

Jawab: Terkait dengan tes HIV akan lebih baik jika tidak dilakukan di sembarang tempat, seperti laboratorium yang tidak mempunyai konselor (pembimbing) yang sudah terlatih. Tes HIV di klinik VCT (tempat tes HIV sukarela dengan konseling dan kerahasiaan yang gratis) akan memberikan pemahaman yang komprehensif tentang HIV/AIDS dan tes HIV. Koseling dilakukan sebelum dan sesudah tes. Hasil tes pun tidak langsung diberikan. Bisa saja yang membuka hasil tes konselor atau dokter kalau Anda tidak bersedia. (1) Itulah salah satu risiko kalau tes di tempat yang tidak ada konselor. Mereka hanya memberikan hasil tes tanpa bimbingan. Silakan ditanya ke lab atau tempat tes yang memberikan hasil tsb., apakah hasil itu memastikan terular HIV atau tidak. (2) Terdeteksi positif HIV melalui tes HIV tidak berarti semuanya habis. Banyak yang terdeteksi HIV belasan tahun tapi tetap hidup biasa sehari-hari. Untuk itulah Anda sebaiknya tes di klinik VCT agar diberikan bimbingan yang bisa menenteramkan hati. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

13 Desember 2012

Apakah Hasil Tes HIV Akurat Setelah Tertular Empat Bulan?

Tanya-Jawab AIDS No 20/Desember 2012

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan melalui telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM “InfoKespro” PO Box 1244/JAT Jakarta 13012, (2) e-mail aidsindonesia@gmail.com, (3) Telepon (021) 4756146, atau (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Sekitar empat bulan yang lalu saya melakukan hubungan seksual tanpa kondom. (1) Apakah kalau saya tes sekarang hasil tes sudah bisa dipastikan positif atau negatif?

’Zz’ (via SMS, 2/12-2012)

Jawab: Risiko tertular melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang mengidap HIV/AIDS adalah 1:100. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui penularan terjadi pada hubungan seksual yang keberapa. Bisa saja yang pertama, ketiga, kedua puluh, dst. Maka, selalu ada risiko tertular  HIV pada setiap hubungnan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti (seperti kawin-cerai) atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan (seperti PSK dan waria). (1) Tes HIV dengan ELISA bisa akurat jika tertular lebih dari tiga bulan. Karena Anda melakukan perilaku berisiko sudah lebih dari tiga bulan, maka hasil tes bisa akurat. Dianjurkan Anda tes di klinik-klinik VCT (tempat tes HIV sukarela dan gratis dengan konseling dan kerahasiaan) di rumah sakit pemerintah atau tempat lain yang ditunjuk pemerintah. Tes di klinik VCT gratis. Jika kelak hasil tes lain menunjukan Anda harus minum obat antiretroviral (ARV), maka akan diberikan secara gratis. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***


Penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta dengan Menyebarkan Stiker ke RW

* Program gagal yang sudah dilakukan sejak awal epidemi

Tanggapan Berita (14/12-2012) – “ …. Basuki (Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama-pen.) juga meminta KPAP (Komisi Penanggulagnan AIDS Prov DKI Jakarta-pen.) untuk membuka saluran konseling 24 jam. Para tenaga konselornya direkrut dari kalangan profesional, akademisi, ataupun relawan yang telah dibina.” (Sosialisasi HIV AIDS Rp 14 M, Basuki Larang Iklan di TV, kompas.com, 13/12-2012).

Itulah bagian dari ‘cara’ Basuki menekan penularan virus HIV di Ibu Kota.

Ternyata Basuki tidak memahami HIV/AIDS secara akurat. Konseling adalah bagian di hilir karena yang membutuhkan konseling biasanya orang yang sudah melakukan perilaku berisiko tertular HIV, seperti melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK), baik PSK langsung maupun PSK tidak langsung.

Laporan Kemenkes RI menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Jakarta per 30 Juni 2012 mencapai 25.893 yang terdiri atas  20.775 HIV dan 5.118 AIDS. Angka ini menempatkan Jakarta pada peringkat pertama jumlah kasus terbanyak di Indonesia.

Di Jakarta, terutama di Jakarta Barat, banyak tempat hiburan, seperti panti pijat dan hiburan malam, yang juga tempat transaksi seks. Itu artinya ada laki-laki dewasa penduduk Jakarta yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan di tempat-tempat hiburan tsb. Maka, yang diperlukan adalah program yang konkret yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual di tempat-tempat hiburan malam.

Memang, Basuki mengatakan kunci sukses menekan HIV AIDS adalah kesiapan pemerintah dalam menyiapkan sebuah program dan dukungan biaya yang memadai.

Tapi, Basuki sama sekali tidak menyebutkan program apa yang (akan) disiapkan pemerintah, dalam hal ini KPA Prov Jakarta.

Disebutkan bahwa “informasi mengenai bahaya AIDS dapat lebih optimal saat langsung disampaikan pada masyarakat, atau menempelkan stiker informasi sampai ke tiap RW.”

Duh, sosialisasi melalui stiker, brosur, leaflet, dll. sudah lama dilakukan tapi hasilnya nol besar karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dalam stiker hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, disebutkan mencegah HIV “jangan melakukan hubungan seksual sebelum menikah”, “jangan melakukan hubungan seksual dengan bukan pasangan sah”, dll.

Biar pun sosialisasi melalui berbagai cara sudah digencarkan, tapi pertanyaan dari masyarakat jika ada diskusi, seminar, talk show di radio, dll. Menunjukkan informasi HIV/AIDS yang mereka terima tidak konkret. Pertanyaan yang diterima penulis melalui e-mail, telepon, dan SMS membuktikan hal itu. Sebagian pertanyaan dimuat di situs ini.

Dikabarkan KPA Jakarta akan menerima dana Rp 14 miliar dari Rp 25 miliar yang diminta KPA.

Biar pun dana ratusan miliar rupiah kalau tidak ada program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Jakarta akan terus terjadi karena insiden infeksi HIV baru terus terjadi, al. pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja hiburan malam dan panti pijat.

Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu hamil menunjukkan suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom, al. dengan pekerja hiburan malam dan panti pijat. Dikabarkan 78 ibu hamil di Jakarta mendapatkan pelayanan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (PMTCT) dari Januari hingga September 2012.

Angka itu hanya bagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena KPA Jakarta tidak mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.

Disebutkan pula bahwa sosialisasi menekan penularan itu tidak berjalan maksimal karena tidak diimbangi dengan pelaksanaan program yang tepat.

Itu terjadi karena KPA Jakarta memang tidak mempunyai program yang konkret. Lihat saja Perda AIDS Jakarta yang sama sekali tidak memberikan langkah yang konkret dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS DKI Jakarta – http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-dki-jakarta.html). 

Penyebaran HIV/AIDS di Jakarta al. didorong oleh laki-laki dewasa yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Biar pun lokalisasi pelacuran, seperti Kramat Tunggak di Jakarta Utara, Boker di Jakarta Timur, Kali Jodo di Jakarta Barat, dll., itu tidak jaminan di Jakarta tidak ada pelacuran. Setelah tempat-tempat pelacuran itu ditutup kegitan pelacuran menyebar ke berbagai tempat, seperti di sekitar Stasiun KA Jatinegara, dll.

Celakanya, tanpa program yang konkret Pemerintah Kota Jakarta Barat sesumbar akan menghentikan penyebaran HIV. Ini tentu saja omong kosong (Lihat: Mustahil Jakarta Barat ’Bebas HIV/AIDS’ Tahun 2015 - http://www.aidsindonesia.com/2012/12/mustahil-jakarta-barat-bebas-hivaids.html).  


Maka, kalau penanggulangan HIV/AIDS hanya dengan menyarluaskan informasi, seperti dengan stiker, maka sudah bisa dipastikan insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang bisa dipantau dari kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga. Pemprov DKI Jakarta tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Ketakutan HIV setelah ML Tanpa Kondom dengan PSK

Tanya-Jawab AIDS No 19/Desember 2012

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan melalui telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM “InfoKespro” PO Box 1244/JAT Jakarta 13012, (2) e-mail aidsindonesia@gmail.com, (3) Telepon (021) 4756146, atau (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Sejak dua hari lalu saya ketakutan luar biasa karena ML (hubungan seksual-pen.) dengan PSK (pekerja seks komersial-pen.) tanpa kondom. Itu pertama kali saya ML. Saya sangat menyesal dan sangat takut terkena HIV. (1) Apabila tiga minggu ke depan saya tidak mendapatkan gejala-gejala HIV, apakah itu tandanya saya tidak tertular HIV?

’A’ (via SMS, 26/11-2012)

Jawab: (1) Risiko tertular melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang mengidap HIV/AIDS adalah 1:100. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui penularan terjadi pada hubungan seksual yang keberapa. Bisa saja yang pertama, ketiga, kedua puluh, dst. Maka, selalu ada risiko tertular  HIV pada setiap hubungnan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti (seperti kawin-cerai) atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan (seperti PSK dan waria). Sama sekali tidak ada tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas pada orang yang tertular HIV. Gejala yang bisa dikaitkan dengan HIV/AIDS secara statistik terjadi setelah tertular HIV antara 5-15 tahun yang disebut pada masa AIDS. Gejala ini, seperti diare, jamur di rongga mulut, TBC, dll. terkait dengan HIV/AIDS jika sulit disembuhkan. Maka, jika Anda ingin tes HIV harus menunggu sampai 12 minggu atau 3 bulan. Kalau mau tes silakan ke klinik-klinik VCT (tempat tes HIV gratis dengan sukarela, konseling dan kerahasiaan) di rumah-rumah sakit pemerintah atau tempat yang ditunjuk pemerintah. Tes di klinik VCT gratis. Jika kelak hasil tes lain menunjukan Anda harus minum obat antiretroviral (ARV), maka akan diberikan secara gratis. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***


Takut Kena HIV karena Hubungan Seksual dengan Pemijat


Tanya-Jawab AIDS No  18/Desember 2012

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan melalui telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM “InfoKespro” PO Box 1244/JAT Jakarta 13012, (2) e-mail aidsindonesia@gmail.com, (3) Telepon (021) 4756146, atau (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Saya baru pertama kali berhubungan (melakukan hubungan seksual-pen.) dengan perempuan yang ada di panti pijat  tanpa menggunakan pengaman (kondom-pen). (1) Apakah saya bisa tertular HIV? (2) Bagaimana cara untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV?

“Xz” (via SMS 12/11-2012)

Jawab: (1) Perempuan di  panti pijat itu merupakan orang yang berisiko tinggi tertular HIV karena dia melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti. Risiko perempuan pemijat itu tertular HIV akan sangat besar kalau laki-laki yang diladeninya tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Karena Anda tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan perempuan di panti pijat, maka Anda berisiko pula tertular HIV jika perempuan yang Anda kencani itu mengidap HIV/AIDS. Memang, tidak semua pemijat mengidap HIV/AIDS, tapi kita tidak bisa memastikan siapa di antara mereka yang mengidap HIV atau yang tidak mengidap HIV. Itulah sebabnya setiap kali melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pemijat berisiko tertular HIV.

(2) Untuk mengetahui apakah seseorang sudah tertular HIV atau belum hanya bisa dilakukan dengan cara tes HIV. Tes ini hanya untuk orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV, maaf, seperti Anda. Sebaiknya tes HIV dilakukan di klinik-klinik VCT (tempat tes HIV sukarela dan gratis dengan konseling dan kerahasiaan) di rumah sakit pemerintah atau tempat lain yang ditunjuk pemerintah. Tes di klinik VCT gratis. Jika kelak hasil tes lain menunjukan Anda harus minum obat antiretroviral (ARV), maka akan diberikan secara gratis. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

12 Desember 2012

Pergub AIDS Provinsi Jawa Barat




Media Watch (13/12-2012) – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat (Jabar) menerbitkan Perda AIDS yaitu No 12 Tahun 2012 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS yang disahkan tanggal 11 Juni 2012, tapi sebelum perda ini diterbitkan Pemprov Jabar sudah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) yaitu No 78 Tahun 2010 tanggal 18 November 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS.

Adakah yang lebih bermakna pasal-pasal dalam perda dan pergub dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jabar?

Perda AIDS Jabar tidak lebih baik daripada Pergub AIDS Jabar (Lihat: : Perda AIDS Provinsi Jawa Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-provinsi-jawa-barat.html).  

Di Indonesia sudah ada 68 peraturan daerah, peraturan gubernur dan peraturan walikota yang mangatur HIV/AIDS. Sedangkan di Jabar sudah ada lima daerah yaitu Kab Tasikmalaya (2007) dan Indramayu (2009), serta Kota Tasikmalaya (2008), Bekasi (2009), dan Cirebon (2010).

Dalam 68 peraturan itu tidak satu pun ada pasal yang konkret tentang cara pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Begitu pula dengan perda-perda AIDS di Jabar juga tidak menukik ke akar persoalan.

Perda AIDS Kab Tasikmalaya No 4/2007 tidak memberikan cara-cara pencegahan yang konkret. Begitu pula dengan Perda AIDS Kota Tasikmalaya No 2/2008 juga tidak menawarkan cara-cara penanggulangan yang realistis (Lihat: Menguji Peran Perda AIDS Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya* - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/menguji-peran-perda-aids-kabupaten.html).

Sama halnya dengan Perda AIDS Kota Bekasi No 3/2009 yang juga hanya mengedepankan moral (Lihat: Perda AIDS Kota Bekasi - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-kota-bekasi.html). 

Hal yang sama juga terjadi pada Perda AIDS Kota Cirebon No 1/2010 yang tidak menawarkan cara-cara yang realistis untuk memutus mata rantai penyebaran HIV (Lihat: Perda AIDS Kota Cirebon, Jawa Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kota-cirebon-jawa-barat.html). 

Hal yang sama juga terjadi pada Perda AIDS Kab Indramayu. Sama sekali tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: Perda AIDS Kabupaten Indramayu, Jawa Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kabupaten-indramayu-jawa.html). 

Sama seperti peraturan terkait AIDS yang sudah ada, pergub ini pun sama sekali tidak memberikan cara-cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV di Jabar.

Pada Bab IV tentang Pencegahan di pasal 5 ayat a angka 2 disebutkan: “Dalam rangka pencegahan HIV dan AIDS, dilakukan upaya kegiatan promosi perubahan perilaku, melalui peningkatan penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko.”

Celakanya tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendorong peningkatan pemakaian kondom. Program-program pencegahan dengan sosialisasi kondom di Indonesia mengacu ke program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dewasa dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir di Thailand. Program ini berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa melalui hubungan seksual.

Tapi, mengapa program itu tidak bisa berjalan dengan efektif di Indonesia?

Pertama, tidak ada lokalisasi pelacuran yang merupakan regulasi. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia berlomba-lomba menutup lokalisasi pelacuran sehingga program pemakaian kondom tidak bisa diterapkan. Yang perlu diingat adalah tidak ada negara di dunia yang melegalkan pelacuran, yang ada adalah membuat regulasi yaitu dengan melokalisir pelacuran.

Kedua, program kondom yang dituangkan dalam perda-perda AIDS tidak memberikan cara pemantauan yang konkret. Thailand memantau program wajib kondom melalui mekanisme yang realistis. Germo atau mucikari diberikan izin usaha. Secara rutin dilakukan survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, virus hepatitis B, klamidia, dll.) terhadap PSK. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka germo diberikan sanksi mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha karena hal itu membuktikan ada PSK yang meladeni laki-laki tanpa kondom.

KPA Merauke menerapkan cara yang terbalik dengan Thailand yaitu yang diberikan sanksi adalah PSK. Sudah beberapa PSK yang masuk bui karena meladeni laki-laki yang tidak memakai kondom. Celakanya, KPA Merauke lupa seorang PSK dibui, ratusan PSK (baru) akan menggantikan PSK yang ditangkap itu. Dan, laki-laki, bisa saja penduduk asli, yang menularkan IMS atau HIV kepada PSK tetap menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Karena tidak ada mekanisme penerapan dan pemantauan maka pasal 5 ayat a angka 2 tidak bisa diterapkan di wilayah Jabar karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang merupakan hasil regulasi.

Pertanyaannya adalah: Apakah Pemprov Jabar bisa menjamin bahwa di Jabar tidak ada praktek pelacuran setelah semua lokalisasi pelacuran ditutup?

Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada persoalan penyebaran HIV di Jabar dengan faktor risko (mode of transmission) hubungan seksual.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka ada persoalan besar yaitu penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual. Ini dapat dilihat dari fakta yaitu kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ratusan ibu rumah tangga di Jabar. Fakta ini membuktikan bahwa suami mereka melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan perempuan yang mengidap HIV, bisa PSK atau pasangan lain, tanpa kondom.

Pergub ini lebih banyak mengatur persoalan di hilir. Artinya, yang diurus adalah orang-orang yang sudah terdeteksi HIV/AIDS, seperti pengobatan, perawatan, rehabilitasi, dll. Ini artinya Pemprov Jabar menunggu penduduk tertular HIV dulu (di hulu).

Satu hal yang tidak muncul di Pergub ini adalah penanganan PSK asal Jabar yang dipulangkan dari daerah lain karena terdeteksi HIV.

Begitu pula dengan tenaga kerja wanita (TKW) yang terdeteksi HIV/AIDS tidak dibicarakan dalam Pergub ini. Sudah ada kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada TKW yang baru pulang dari luar negeri.

Padahal, jika tidak ditangani secara komprehensif maka PSK dan TKW itu bisa membawa malapetaka bagi Jabar karena mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Jabar.

Kalau saja Pergub ini melihat realitas terkait dengan penyebaran HIV di masyarakat tentulah yang diatur adalah intervensi terhadap (perilaku) laki-laki dewasa yaitu mewajibkan memakai kondom jika melakukan hubungan seksual berisiko.

Langkah kedua adalah mewajibkan laki-laki yang perilakunya berisiko memakai kondom jika sanggama dengan istrinya. Kalau Langkah terakhir untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di Jabar adalah menerapkan pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Dalam Pergub diatur di pasal 5 ayat c yaitu: ”Dalam rangka pencegahan HIV dan AIDS, dilakukan upaya pencegahan risiko penularan dari ibu ke bayi (preventive mother to child transmition/PMTCT) dilakukan melalui pemberian anti retro viral (ARV) pada masa kehamilan, proses persalinan melalui Cesar serta pemberian pengganti Air Susu Ibu.” Namun, dalam Pergub tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Perda AIDS Kabupaten Puncak Jaya

Media Watch (13/12-2012) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Puncak Jaya, Prov Papua, menelurkan Perda No. 14 Tahun 2005 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS yang disahkan di Mulia tanggal 22 Juni 2005.

Apakah pasal-pasal di perda ini menukik ke akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS yang konkret?

Seks Menyimpang

Pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS hanya berdasarkan mitos (anggapan yang salah). Ini semua terjadi karena selama ini materi KIE tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama.

Hal yang sama terdapat pada Perda Puncak Jaya ini. Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalu cara (a) Tidak melakukan hubungan seksual secara menyimpang dan berganti-ganti pasangan seks.” Ini jelas ‘cara moral’ yang sama sekali tidak terkait dengan pencegahan penularan HIV yang akurat. ‘Penyimpangan’ dalam seks merupakan sudut pandang moral dan agama. Lagi pula kalau menyimpang tidak akan pernah terjadi hubugnan seksual.

Penularan HIV dan IMS melalui hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif atau mengidap IMS dan laki-laki atau perempuan tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif dan tidak mengidap IMS maka tidak ada penularan HIV dan IMS biar pun mereka berzina, melacur, selingkuh, jajan, menyimpang, homoseksual, dll.

Maka, penularan HIV dan IMS melalui hubungan seksual tergantung kepada kondisi hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual. Artinya, biar pun di dalam ikatan pernikahan yang sah (sifat hubungan seksual) ada risiko penularan HIV kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seksual). Sebaliknya, biar pun di luar nikah, jajan, selingkuh, me-lacur, waria, atau homo-seksual (sifaf) kalau dua-duanya HIV-negatif (kondisi) maka tidak ada penularan HIV.

Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan: “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (b) Setia pada satu pasangan tetap.” Ini juga moralistik karena bisa saja terjadi kesetiaan kepada satu pasangan yang berganti-ganti. Pada kurun waktu tertentu seorang laki-laki setiap pada seorang perempuan. Tapi, bisa saja terjadi sebelum mereka saling setia mereka juga pernah saling setia dengan pasangan lain. Begitu seterusnya.

Pada pasal 4 disebutkan: “HIV dapat menular kepada orang lain melalui: (a) Hubungan seksual yang tak terlindung.” Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Kalau dua-duanya HIV-negatif terlindung atau tidak, sah atau tidak, maka tidak ada penularan HIV.

Pada pasal 4 ayat b disebutkan: “HIV dapat menular kepada orang lain melalui: Jarum/alat suntik yang sekali pakai dibuang.” Ini tidak jelas maksudnya.

Cara-cara pencegahan yang ‘ditawarkan’ selalu bersifat moralistik padahal pencegahan HIV dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran yang realistis.

Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan: “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (c) Menggunakan kondom pada setiap kontak seksual yang beresiko tertular virus HIV dan IMS.” Lho, bagaimana kontak seksual yang beresiko? Pada padal 1 ayat 11 disebutkan “Perilaku seksual beresiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom.”

Penjaja Seks

Yang terjadi adalah banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang merasa tidak berganti-ganti pasangan karena dia selalu ‘memakai’ pekerja seks komersial (PSK) yang sama setiap kali melepas hasrat seksual. Bahkan, ada yang menjadikan hubungan mereka pada taraf ‘pacar’ dan ‘suami’. Lagi-lagi penegasan tidak akurat karena dibalut dengan moral.

Perilaku berisiko melalui hubungan seksual bisa terjadi kalau melakukan hubungan seksual di dalam atau di luar nikah serta homoseksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK. langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran), PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, WIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, waria pekerja seks, dll.) serta pelaku kawin-cerai.

Selama materi KIE tetap dibalut dengan moral dan agama maka selama itu pula yang ditangkap masyarakat hanya mitos. Inilah yang mencelakakan masyarakat.

Di beberapa negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Tapi, mengapa di kawasan Asia Pasifik justru sebaliknya?

Ya, lagi-lagi terjadi karena mitos. Di banyak negara masyarakat sudah memahami cara-cara pencegahan yang realistis melalui hubungan seksual yang memakai kondom pada hubungan seksual yang berisiko. Sebaliknya, di kawasan Asia Pasifik yang terjadi justru ‘debat kusir’ soal kondom dengan mempertentangkan aspek kesehatan masyarakat dengan moral dan agama.

Perda ini lagi-lagi merendahkan harkat dan martabat PSK sebagai manusia dengan menyebut mereka sebagai penjaja seks komersial. Penjaja berarti orang yang menjajakan atau menawarkan sesuatu dengan berkeliling.

Pertanyaannya adalah: apakah PSK menjajakan diri dengan berkeliling? Fakta menunjukkan PSK menunggu di tempat. Yang datang ‘membeli’ justru laki-laki. Dan, perlu diingat laki-laki pulalah yang menularkan HIV atau IMS atau dua-duanya sekaligus kepada PSK. Fakta ini selalu ditutup-tutupi sehingga mengesankan PSK-lah yang menjadi biang keladi penyebaran HIV dan IMS. Penggelapan fakta ini selain bias gender juga menyesatkan masyarakat.

Celakanya, ketika ada PSK yang terdeteksi HIV-positif atau mengidap IMS yang dipersoalkan hanya PSK itu. Padahal, ada fakta lain yang merupakan realitas sosial yang digelapkan yaitu ada laki-laki yang menularkan ke PSK dan yang tertular dari PSK. Laki-laki inilah yang merupakan mata rantai penyebaran HIV dan IMS. Mereka menjadi jembatan dari PSK ke populasi.

Lagi-lagi fakta ini luput atau memang sengaja diluputkan agar PSK dikesankan tidak bermoral, sedangkan laki-laki pelanggan lebih bermoral karena dikesankan sebagai korban. Karena ini yang terjadi, maka penyebaran HIV/AIDS terus terjadi sementara perda tidak memberikan langkah yang konkret. Tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

10 Desember 2012

Ketakutan terhadap HIV/AIDS Mengalahkan Rasa Kemanusiaan

* Pengalaman seorang konselor HIV/AIDS mendampingi seorang Odha di Kota Parepare, Sulsel

Liputan (10/12-2012) - Aku telah meninggalkan kesenangan. Meninggalkan segala suka cita kehidupan. Mengikuti jalan yang engkau ridhoi. Tapi, kau tak juga bersikap adil padaku. Aku tetap terbuang dan terbaring tak berdaya tanpa sanak keluarga. Aku terbuang dari rasa kemanusiaan, keibuan, kebapakan dan kekerabatan hanya karena dalam cairan tubuhku terdapat virus (HIV). Karena stigma dan diskriminasi seorang dokter yang telah kuanggap orang tua. Tuhanku, adillah padaku. Atau panggilah aku untuk melepaskanku dari belenggu kesedihan dan penderitaan ini.

Itulah isi hati Rian,  24 tahun, seorang anak manusia yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha) di Kota Parepare, Sulawesi Selatan.

Kondisi kesehatannya menurun dratis setelah dia mengetahui kalau dirinya sudah mengidap HIV. Tubuh yang gemuk, padat dan berisi dengan sorotan mata tajam pupus sudah. Tanggal 2 Februari 2008 Rian menjalani tes HIV. Tapi, tidak langsung menerima hasil dengan alasan belum siap menerima. Seminggu kemudian, ia kembali ke tempat tes dan menerima hasil tesnya.

Ketika tahu hasil tesnya reaktif matanya nanar, wajahnya terlihat tegang. Berulang kali ia bertanya arti kata reaktif kendati telah dijelaskan berulang kali. “Jadi apa yang mesti kulakukan sekarang,” katanya waktu itu.

Buka Status HIV

“Jangan lagi melakukan perilaku berisiko, jalani pola hidup sehat,” ujar konselor yang mendampinginya.

Jangan banyak berpikir karena akan merusak kesehatan. Jangan pernah berpikir bahwa kematian sudah dekat, dunia belum berakhir. Tapi, awal untuk memperbaiki kehidupan. Banyak orang dengan status HIV hidupnya panjang karena melakukan pola hidup sehat. Kau perlu tes CD4 dan terapi ART (meminum obat antiretroviral() jika CD4-mu sudah di bawah 350. Memang, dengan melakukan terapi takkan menghilangkan virus yang ada dalam cairan tubuhmu. Tapi, setidaknya hidupmu akan lebih baik, mandiri dan berdaya.

Rian diam. Lalu meminta supaya hasil tesnya disampaikan pada salah satu dokter yang telah dia anggap sebagai keluarga yang bekerja di RSUD Andi Makkasau Parepare.

Sayang, keputusan itu justru mengantarnya dalam fatamorgana yang tak berujung. Dokter yang semula diyakini akan membantunya justru membuka statusnya. Dokter itu memberitahu warga yang tinggal di sekitar rumahnya bahwa Rian HIV-positif. 

Akibatnya, masyarakat dan kerabatnya takut pada Rian. Tak ada lagi yang berani mendekat. Hingga akhirnya pada tanggal 17 Mei 2008 Rian pamit mau pergi ke Makakssar. Sebelum pergi, Rian kembali menerima konseling dengan harapan  dia menjalani kehidupan yang sehat

“Ketika orang tuaku bercerai, saya ikut tanteku. Setelah remaja barulah saya ikut mama di Samarinda, Kaltim. Karena tidak memiliki pendidikan dan ketidak tahuanku soal HIV dan AIDS saya melakukan perilaku berisiko. Mabuk-mabukkan, berganta-ganti pasangan seks dan menyalangunakan putauw.” Inilah keluhan Rian.

Rian menghapus wajahnya yang dibasahi air matanya. Lalu mencoba tersenyum dan memperbaiki letak duduknya. Kala itu, kami duduk di teras rumah dokter yang membeberkan status HIV-nya. 

“Semua orang memiliki masa lalu, yang terpenting sekarang adalah menata hidup jika kau merasa waktu yang telah dihabiskan tidak bermamfaat.” Rian mengangguk.

Itulah akhir pertemuanku dengan Rian ketika kondisi tubuhnya masih sangat sehat. Kenyataan itu yang membuatku seolah tidak percaya ketika melihat Rian tergolek tak berdaya di rumah tetangganya pada Jumat 10 Juli 2008 setelah melarikan diri dari RSU Andi Makkasau Parepare setelah dirawat tiga hari. Ia terlihat sangat kurus dan hanya mengenakan sarung lusuh dan celana dalam.

Warga yang ketakutan berkumpul di luar rumah. Pemilik rumah mengomel karena Rian masuk ke rumahnya tanpa pamit. Tantenya yang selama ini menjadi harapan Rian dan pernah tinggal di rumah itu juga tidak mau menerimanya.

Gelas, piring, dan sendok yang telah Rian pakai untuk minum dan makan ketika  baru melarikan diri dari rumah sakit dibuang. Air yang ada dalam bak mandi pun dibuang. Semua benda yang telah disentuh Rian dibuang. Alasan tantenya karena takut tertular HIV.

Malam itu, suasana di Jalan Syamsul Bahri, Kota Parepare, heboh. Ada yang meminta supaya Rian diisolasi atau dibawa paksa ke rumah sakit. Karena warga sudah panik, akhirnya saya menenangkan warga dengan memberikan pemahaman soal HIV dan AIDS. Bahwa HIV tidak menulari warga hanya karena Rian tidur di rumahnya, atau makan dan minum. Minum di gelas yang sama takkan terjadi penularan. Menggunakan kamar mandi yang sama, tidur sama, ganti pakian juga takkan terjadi penularan dan tidak menular lewat gigitan nyamuk. Penularan hanya jika terjadi pertukaran cairan tubuh misalnya air mani, air vagina, darah dan air susu ibu yang HIV positif.

Berbagai cara kulakukan dengan menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami dan dimegerti oleh warga. Tapi, ternyata kabar dari dokter yang membeberkan status HIV Rian justru lebih diterima warga. Kata-kata dokter memang jauh lebih diterima masyarakat daripada saya yang hanya seorang pekerja sosial yang bergerak di HIV dan AIDS.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, akhirnya Rian saya bangunkan dan saya bujuk kembali ke rumah sakit.

“Saya mau dirawat asal keluargaku mau menjengukku. Yang saya butuhkan hanya teman ngobrol, perhatian keluarga. Kalau mereka takut duduk di dekatku, biarlah mereka berdiri dipintu asal saya punya teman ngobrol,” pintanya. Malam itu, persyaratan Rian  dipenuhi kerabatnya melalui pendekatan dengan keluarga Rian dan warga.

Janji tante Rian ternyata tidak ditepati, selama dirawat tidak ada satupun keluarganya yang menjenguknya. “Selama di Makassar  saya sering minum minuman beralkohol dan nyabu. Saya lakukan untuk mengusir pikiranku yang dihantui oleh virus yang ada dalam tubuhku. Hingga akhirnya saya drop dan jatuh sakit seperti sekarang ini,” ujarnya terbata-bata ketika itu.

Bunuh Diri

Setelah dirawat empat hari di rumah sakit, Rian meminta keluar dengan alasan kondisinya sudah membaik. Oleh dokter yang menanganinya memberikan izin karena memang kondisinya kala itu sudah membaik, HB-nya sudah normal. Akhirnya, tanggal 16 Juli 2008 Rian ke luar dari rumah sakit.

Melihat Rian datang tantenya menutup pintu. Tidak ada yang mau menerimanya. Akhirnya, Rian tidur di pos ronda karena dia tidak mau tiggal bersamaku. Kenyataan yang memilukan membuatnya frustrasi. Baginya, mati jauh lebih berarti daripada hidup dalam asa yang begitu menyakitkan.

Untunglah dewi fortuna berpihak pada Rian. Suami dokter yang membeberkan status HIV-nya memintanya tinggal di rumahnya. Rian diberi tempat di dekat tangga. “Semua orang sudah takut padaku, tidak ada lagi yang mau menerimaku. Saya sudah berulang kali mencoba bunuh diri, mati jauh lebih baik bagiku,” katanya sambil menyerahkan dua buah silet yang pernah ia pergunakan bunuh diri ketika saya menjenguknya.

Melihat banyak orang yang ada di halaman rumah, saya sengaja membuka pintu kamar tempat Rian tidur. Untuk membuktikan kepada warga bahwa tak ada yang perlu ditakutkan. Malam itu, suami dokter itu memintaku memberikan penjelasan tentang HIV dan AIDS. Saya berikan penjelasan secara rinci soal HIV dan AIDS, bagaimana bentuk penularannya. Saya juga memberikan penjelasan bahwa yang dibutuhkan Rian hanyalah perhatian dan dukungan.

“Bu, ternyata kau terlalu ketakutan, toh penularannya tidak gampang. Bagaimana warga tidak ketakutan sama Rian kalau sikapmu terlalu berlebihan sampai-sampai menutup pintu dan gorden karena ketakutan tertular,” kata suami dokter tadi.

Nasehat suaminya tak membuat nurani dokter itu tergugah. Ia tetap bersisukukuh pada pendiriannya. Hari Sabtu, 19 Juli 2008, Rian harus meninggalkan rumahnya dengan alasan seluruh keluarganya akan ke Makassar. Keputusan itu membuatku terhenyak.

Pukul 20.50 Wita saya ingatkan agar Rian minum obat, namun Rian  menggeleng dan tertunduk.  “Saya belum makan malam,” ujarnya.

Nasi yang saya beli di warung rupanya keras sehingga Rian  kesulitan memakannya.  Kepada tantenya yang kebetulan ada di teras rumah dokter, saya meminta supaya membuatkan bubur dan memberikan setiap hari pada Rian.

Sayang, ketakutan terhadap HIV mengalahkan kekerabatan. Tante Rian tidak mau memberikan sepiring bubur pun dengan dalih ia punya anak kecil. Dia takut anaknya tertular HIV.

Kekerbatan  yang hilang dan nurani kemanusiaan yang mati membuat Rian kembali terpuruk. Dengan alasan diare dan dadanya semakin sakit, Sabtu 19 Juli 2008, Rian kembali ke rumah sakit, orang tuanya tidak mau menjenguknya karena tahu Rian HIV-positif. 

Berulang kali orang tuanya keberikan penjelasan tentang HIV dan AIDS lewat telepon, tapi rasa keibuan dan  kebapakan dikalahkan oleh ketakutan terhadap HIV. Di saat kuberada di Bali mengikuti Pertemuan Regional KPA, pikiranku kacau memikirkan Rian, masalahnya karena dirikulah cahaya kehidupan baginya. Hanya saya yang selalu menjenguknya, memberikan dukungan. 

Saya memilih segera pulang setelah pertemuan dengan harapan, semangat hidupnya kembali bergelora. Kebawakan oleh-oleh jam tangan  dan baju.

Tapi, tepat pukul 00.00 Wita, Sabtu 26 Juli 2008, ketika saya sudah hampir memasuki Kota Parepare, saya menerima telepon jika Rian sudah meninggal. Pagi-pagi sekali, pukul 06.00 Wita, saya telah berada di ruang mayat seorang diri dengan linangan air mata. Memandangi Rian yang tinggal tulang dan kulit, padahal hanya enam hari kutinggalkan.

Kerabat Rian saya beritahukan jika Rian  meninggal dan memintanya mengurus mayatnya di rumah sakit, tapi lagi-lagi tidak ada yang mau dengan sejuta alasan yang tidak masuk akal.

Hari itu, jiwaku benar-benar bercampuk aduk. Tak ada yang mau memandikan dengan alasan takut tertular. Pukul 16.30. Wita keluarga Rian akhirnya datang setelah saya marah-marah di rumahnya. Mereka memandikan Rian setelah ku jelaskan cara memandikan jenazah dan kuberikan sarung tangan.

Kematian Rian menyadarkanku bahwa stigma dan diskriminasi mampu mengalahkan rasa keibuan, kebapakan dan kekerabatan. Diskriminasi yang dilakukan tenaga medis begitu kuat tertanam dalam diri masyarakat. Bagaimana masyarakat tidak takut dengan Odha jika tenaga medis saja ketakutan. Padahal, yang dibutuhkan Odha  adalah perhatian, kasih sayang dan dukungan dari orang tua, kerabat, teman, kekasih dan masyarakat. Stigma dan diskriminasi mempercepat mematian Odha. ***[AIDS Watch Indonesia/Santiaji Syafaat-dari Kota Parepare, Sulsel]***