07 Desember 2012

Membaca Probabilitas Penularan HIV Melalui Hubungan Seksual


Oleh Syaiful W. Harahap

Dimuat di Newsletter HindarAIDS ” No. 16, 1 Maret 1999

Karena tidak ada gejala yang khas pada diri Odha maka upaya untuk mencegah penularan HIV adalah dengan melindungi diri sendiri agar tidak terinfeksi HIV. Hal ini dapat dilakukan oleh seseorang dengan menghindarkan diri dari perilaku yang berisiko tinggi terinfeksi HIV (seperti melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti, melakukan hubungan seksual dengan yang berperilaku berisiko tinggi tanpa kondom, menerima transfusi darah yang belum diskirining HIV, atau memakai jarum tindik, jarum akupungtur dan jarum suntik secara bersama-sama, terutama di kalangan pengguna narkotik).

Penularan HIV melalui hubungan seksual menjadi persoalan besar karena kita tidak dapat mengetahui atau memastikan kapan dan bagaimana sebenarnya HIV menular pada saat hubungan seksual. Biar pun penelitian menunjukkan sekitar 80% penyebaran HIV terjadi melalui hubungan seksual yang tidak aman, tapi penelitian menunjukkan probabilitas (kemungkinan) penularan melalui hubungan seksual yang tidak aman berkisar antara 0,03 dan 5,60 persen. Justru melalui transfusi darah probabilitasnya mencapai 89,50%, sedangkan dari ibu yang positif HIV kepada bayi yang dikandungnya antara 15-30%.

Jika dilihat dari probabilitas risiko infeksi HIV melalui hubungan seksual yang sangat kecil itu tentulah berpengaruh secara psikologis. Tidak tertutup kemungkinan ada yang akan melihatnya dengan sebelah mata. Risiko yang kecil itu membuat mereka tidak berhati-hati. "Angka-angka itu hanya untuk keperluan ilmu pengetahuan," kata dr. Kartono Mohamad, mantan Ketua IDI ini, mengingatkan. Kartono membandingkannya dengan pilot yang selalu ekstra hati-hati dan tetap mengikuti standar prosedur operasi dalam menerbangkan dan mendaratkan pesawat. Statistik menunjukkan angka kecelakaan pesawat terbang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kecelakaan di darat dan di laut.

Jadi, kita tidak bisa melihat probabilitas itu dengan mata telanjang. Karena kemungkinannya kecil, kita pun mengabaikannya. Buktinya, jalur penyebaran infeksi HIV yang paling banyak justru melalui hubungan seksual. Ini terjadi, menurut dr. Zubairi Djoerban, DSPD, pakar AIDS di Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Jakarta, karena setiap orang melakukan hubungan seksual berkali-kali. 

Bahkan, sering pula dengan pasangan yang berganti-ganti. Inilah yang membuat penyebaran HIV jauh lebih besar melalui faktor risiko hubungan seksual (heteroseksual dan homoseksual), daripada melalui transfusi darah biar pun probabilitas penularan melalui transfusi jauh lebih besar daripada melalui hubungan seksual. Lagipula, jumlah orang yang menerima transfusi darah jauh lebih sedikit daripada orang yang melakukan hubungan seksual. Frekuensi transfusi darah terhadap seseorang pun jauh lebih kecil daripada kegiatan hubungan seksual yang dilakukannya pada kurun waktu tertentu.

Maka, biar pun risiko penularan melalui hubungan seksual sangat kecil, tapi "Kita tidak bisa mengetahui kapan terjadi penularannya," ujar Mas Ton, panggilan akrab Kartono, lagi-lagi mengingatkan kita. Soalnya, tidak ada alat tes HIV yang cepat dan langsung bisa mengetahui status HIV seseorang, terutama pada oang yang perilakunya berisiko tinggi terhadap penularan HIV. Misalnya, kemungkinan tertular melalui hubungan seksual 1:100. Persoalannya, kita tidak dapat mengetahui dengan persis pada hubungan seksual yang keberapa penularan itu (akan) terjadi. Bisa saja terjadi pada kesempatan pertama.

Pengalaman Zubairi menunjukkan ada Odha yang mengaku baru tujuh kali melakukan hubungan seksual. Jadi, dalam kasus ini probabilitasnya 1:7. Bisa juga terjadi bagi salah satu dari pasangan itu baru untuk pertama kali, tapi lawannya sudah yang ke 100, atau sebaliknya. Atau, bagi salah seorang yang ke-25, tapi bagi pasangannya itu sudah yang ke-100. Dan seterusnya.

Peringatan Mas Ton itu sangat beralasan karena epidemi AIDS sudah menjangkau orang di luar yang berperilaku berisiko tinggi terhadap penularan HIV, seperti anak-anak dan ibu rumah tangga. Kondisinya kian mengkhawatirkan karena sampai saat ini tidak ada cara pencegahan yang objektif dan realistis yang dianjurkan ataupun direkomendasikan di Indonesia.

Bahkan, berbagai anjuran dan program sama sekali tidak memberikan cara yang objektif dan realistis untuk melindungi diri agar tidak terinfeksi HIV. Yang dikumandangkan dalam berbagai kegiatan, seperti penyuluhan dan kampanye, hanyalah slogan yang bermuatan pesan moral. Padahal, fakta membuktikan pesan moral tidak pernah membawa hasil yang baik. Buktinya, biar pun ada sanksi dosa bagi pelaku kejahatan, tapi tetap saja terjadi tindakan yang membuat orang menanggung dosa. Justru law enforcement jauh lebih berhasil daripada pesan moral.

Untuk itulah Zubairi mengharapkan agar pemberitaan tentang probabilitas itu selalu dikemas dalam satu paket yang utuh agar tidak ada yang salah tafsir. Maksud Zubairi, kalau membicarakan probabilitas dikaitkan pula dengan fakta, seperti jumlah kasus infeksi HIV melalui hubungan seksual dan faktor yang membuat risiko tertular melalui hubungan seksual tetap harus diperhitungkan.

Probabilitas yang kecil itu akan menjadi besar karena seseorang melakukan hubungan seksual berkali-kali, apalagi kalau hubungan seksual itu dilakukan dengan orang yang tidak diketahui status HIVnya ataupun dengan orang yang berperilaku berisiko tinggi terhadap penularan HIV tanpa menggunakan kondom. Risiko kian meningkat tatkala ada penyakit menular seksual (PMS) karena infeksi PMS ini (yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop) akan memudahkan HIV memasuki aliran darah seseorang. ***[AIDS Watch Indonesia]***

06 Desember 2012

Perda AIDS Kab Timor Tengah Selatan


Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di Prov Nusa Tenggara Timur (NTT) menelurkan Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan, No 3 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 14 April 2009. Perda ini merupakan perda yang ke-31 dari 46 perda yang ada di Indonesia.

Untuk tingkat provinsi sendiri Pemprov NTT sudah menelerukan Perda No 3 Tahun 2007 yang merupakan Perda ke-17 di Indonesia. Tapi, seperti halnya perda-perda yang ada perda ini pun tidak bisa mengendalikan penyebaran HIV karena hanya mengandalkan moral (Lihat: Mengukur Peran Perda Penanggulangan AIDS NTT - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/mengukur-peran-perda-penanggulangan.html). 

Di pasal 1 ayat 18 disebtukan: Pencegahan adalah upaya-upaya agar seseorang tidak tertular HIV/AIDS dan tidak menularkannya kepada orang lain, dan di ayat 19 disebutkan Penanggulangan adalah upaya-upaya menekan laju penularan HIV/AIDS.

Sedangkan di Pasal 3 disebutkan: Pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS bertujuan untuk menghindari mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.

Celakanya, dalam Perda ini sama sekali tidak ada cara-cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV.

Di pasal 9 ayat 3 disebutkan: Penanggulangan HIV dan AIDS terintegrasi dengan nilai-nilai agama, moral dan sosial budaya.

HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, HIV/AIDS bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara penularan dan pencegahan pun dapat diketahui secara empiris. Maka, pencegahan pun dapat dilkukan secara medis.

Maka, tidak jelas penanggulangan macam apa yang harus diintegrasikan dengan nilai-nilai agama, moral dan sosial budaya Kab TTS.

Pada bagian penjelasan disebutkan ada aktor-faktor penyebab potensi penyebaran HIV dan AIDS di Kab Timor Tengah Selatan di antaranya adalah:

1. Faktor geografis, yaitu letaknya yang diapit oleh Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara serta Belu yang merupakan jalur lintas Negara Timor Leste-Kupang (Ibu Kota Prov Nusa Tenggara Timur)

2. Faktor ekonomi, di mana tingkat pendapatan perkapita masih rendah sehingga berpotensi terjadinya praktek prostitusi terselubung.

3. Meningkatnya jumlah PSK.

4. Meningkatnya penyalahgunaan NAPZA dengan jarum suntik.

5. Faktor budaya yaitu adanya praktek sifon pada sunat tradisional.

Tanggapan untuk point 1. Risiko seseorang tertular HIV tidak ada kaitannya secara langsung dengan letak geografis karena tergantung kepada perilaku seksual orang per orang. Pemkab Kupang dan Pemkab TTU juga akan mengatakan potensi penyebaran HIV/AIDS di daerah mereka karena letak geografis dekat dengan TTS.

Tanggapan untuk point 2. Praktek prostitusi bisa menjadi faktor pendorong risiko penularan HIV jika tidak daa kewajiban memakai kondom bagi laki-laki ‘hidung belang’ ketika sanggama dengan pekerja seks komersial (PSK).

Tanggapan untuk point 3. Ada atau tidak ada PSK di TTS tidak ada kaitan langsung dengan risiko penduduk tertular HIV karena bisa saja penduduk TTS melacur di luar daerah atau di luar negeri.

Tanggapan untuk point 4. Risiko penularan HIV melalui penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) terjadi jika narkoba dipakai dengan jarum suntik secara bergantian.

Tanggapan untuk point 5. Praktek sifon berisiko tertular HIV jika laki-laki tidak memakai kondom. Di pasal 1 ayat 17 disebutkan: Sifon adalah usaha memecahkan kaulili (benjolan atau lepuhan) di sekitar penis akibat sunat tradisonal melalui hubungan seksual dengan beberapa perempuan.

Untuk mencegah penularan HIV pada praktek sifon yang perlu dilakukan adalah mewajibkan laki-laki memakai kondom. Sayang, dalam perda ini tidak ada pasal yang mengatur kewajiban memakai kondom pada praktek sifon. Yang ada di pasal 14 ayat 2 huruf b hanya keterangan tentang SATGAS Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS tingkat Kecamatan mempunyai tugas menginformasikan kepada KPAD tentang adanya kegiatan-kegiatan yang berpotensi penularan HIV dan AIDS seperti praktek prostitusi/pelacuran terselubung, kegiatan sunat tradisional dan sifon yang terjadi dalam wilayahnya.

Pasal 14 ayat 3 huruf b disebutkan: SATGAS Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS tingkat Desa dan Kelurahan mempunyai tugas menginformasikan kepada KPAD tentang adanya kegiatan-kegiatan yang berpotensi penularan HIV dan AIDS seperti praktek prostitusi/pelacuran terselubung, kegiatan sunat tradisional dan sifon yang terjadi dalam wilayahnya.

Pasal 23 ayat 2 disebutkan: Setiap orang yang bersetubuh dengan seseorang padahal diketahui atau patut diduga bahwa dirinya dan/atau pasangannya mengidap HIV wajib melindungi diri dan/atau pasangannya dengan menggunakan kondom atau menerapkan seks yang aman.

Pasal 23 ayat 1 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya telah terinfeksi HIV wajib mencegah orang lain terpapar langsung dengan cairan darah, cairan sperma dan cairan vaginanya.

Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen insiden penularan HIV justru terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah mengidap HIV tidak menyadarinya. Maka, pasal 23 ayat 1 itu tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penyebaran HIV, terutama secara horizontal melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Pasal 14 ayat 3 huruf c disebutkan: SATGAS Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS tingkat Desa dan Kelurahan mempunyai tugas memprakarsai pembentukan Peraturan Desa tentang larangan sifon. Selanjutnya di pasal 24 ayat 5 disebutkan: Setiap orang yang menggunakan jasa sunat tradisional maupun sunat sehat dilarang melakukan sifon.

Sifon adalah budaya sehingga merupakan bagian dari kehidupan masyarakat di tatanan sosial. Maka, budaya ini tidak bisa dilarang karena akan menimbulkan friksi sosial. Yang bisa dilakukan adalah memberikan cara menjalankan sifon yang tidak berisiko tertular IMS dan HIV/AIDS, yaitu memakai kondom. Celakanya, dalam perda ini sama sekali tidak ada cara yang konkret untuk mencegah penularan IMS dan HIV melalui sifon.

Pasal-pasal dalam perda ini hanya di awang-awang karena memakai ‘bahasa dewa’ yang tidak membumi bahkan mendorong stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Di bagian peran serta masyarakat, misanya, di pasal 19 ayat 1 disebutkan: Dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS masyarakat turut bertanggung jawab dengan cara: (a) Berperilaku hidup sehat, dan (b) Meningkatkan Ketahanan Keluarga dengan cara setia kepada pasangannya.

Tidak dijelaskan apa ukuran atau takaran perilaku hidup sehat yang bisa mencegah dan menanggulangi penularan HIV. Lalu, siapa pula yang berkompeten mengukur atau menakar perilaku seseorang sehingga bisa mencegah penularan HIV. Pasal 19 ayat 1 huruf a akan mendorong masyarakat melakukan stigma terhadap orang-orang yang tertular HIV karena dianggap perilakunya tidak sehat.

Begitu pula dengan pasal 19 ayat 1 huruf b juga tidak akurat karena apa ukuran dan takaran ketahanan keluarga yang bisa mencegah penularan HIV. Ini juga mendorong masyarakat memberikan stigma dan diskriminasi terhadap Odha karena mereka dianggap tidak mempunyai ketahanan keluarga sehingga tertular HIV.

Di pasal 24 ayat 6 disebutkan: “Setiap hotel dan sarana penginapan lainnya dilarang menyediakan atau mengijinkan praktek prostitusi/pelacuran.”

Padahal, Thailand berhasil menurunkan insiden penularan HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran. Maka, akan lebih efektif dalam menanggulangi penyebaran HIV kalau penginapan, losmen, motel dan hotel diwajibkan menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’.

Praktek pelacuran yang tidak dilokalisir akan sulit dipantau karena PSK yang bekerja di sana juga tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Mereka dikenal sebagai PSK tidak langsung, al. ‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll. Mereka melayani laki-laki ‘hidung belang’ melalui kontak telepon, kurir, sopir taksi, atau karyawan hotel, dll.

Karena tidak ada pasal yang konkret untuk mencegah penularan HIV dan menaggulangi epidemi HIV/AIDS, maka penyebaran HIV akan terus terjadi di TTS. Pemkab TTS tinggal menunggu ‘panen AIDS’ karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Perda AIDS Kabupaten Malang

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang, Prov Jawa Timur, menelurkan peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS yaitu Perda No. 14 Tahun 2008 tanggal 30 Oktober 2008. Ini merupakan perda ke-33 dari 65 perda mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia.

Bagaimana kiprah perda itu dalam penanggulangan epidemi HIV di Kab Malang?

Salah satu materi utama dalam perda-perda penanggulangan AIDS itu adalah pemakaian kondom pada hubungan seks yang berisiko. Ini mengekor ke Thailand yang berhasil menekan kasus infeksi HIV baru di kalangan penduduk dewasa melalui ‘program 100 persen kondom’. Program ini merupakan ekor dari rangkaian program terpadu di Thailand. Nah, perda-perda di Indonesia pun hanya mengekor ke ekor program penanggulangan AIDS di Thailand.

Pada pasal 1 ayat 22 disebutkan “Perilaku seksual berisiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom.” Tidak jelas hubungan seks seperti apa yang dimaksud dengan berganti-ganti pasangan. Perilaku kawin-cerai juga merupakan kegiatan yang berganti-ganti pasangan seksual. Tapi, apakah ini termasuk perilaku seksual berisiko yang dicakup perda? Sedangkan ‘hidung belang’ umumnya mempunyai ‘pacar’, ‘kiwir-kiwir’, atau langganan di kalangan pekerja seks sehingga mereka tidak melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan

’Lokalisasi Resmi’

Definisi yang tepat untuk perilaku berisiko (tertular HIV) adalah “Melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks di wilayah atau di luar Kabupaten Malang.”

Dalam berita “Seks Tanpa Kondom Didenda Rp 50 Juta” di Harian “Surya” (13/5-2009) ada pernyataan tentang kewajiban memakai kondom pada hubungan seks berisiko. Lagi-lagi ada persoalan besar di Indonesia umumnya dan Kab. Malang khususnya terkait dengan hal ini jika dibandingkan dengan Thailand.

Pertama, di Indonesia tidak ada lokalisasi atau rumah bordir yang ‘resmi’ sehingga penerapan wajib kondom tidak bisa dijalankan. Berbeda dengan Thailand yang mempunyai lokalisasi dan rumah bordir ‘resmi’. Akibatnya, tidak ada mekanisme untuk menguji tingkat pemakaian kondom di Indonesia. Sedangkan Thailand mengujinya melalui survailans rutin terkait infeksi menular seksual (IMS), seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll. terhadap pekerja seks. Jika ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan pemakaian kondom tidak 100 persen. Ada sanksi bagi pengelola lokaliasi dan rumah bordir.

Kondisinya kian runyam karena MUI Kab. Malang menuntut agar lokalisasi pelacuran ditutup. Wakil Bupati Malang menolak menutup lokalisasi karena khawatir akan muncul lokaliasi liar. Tuntutan MUI ini terkait dengan mitos (anggapan yang salah) yang selama ini berkembang di masyarakat yaitu mengait-ngaitkan zina, pelacuran, jajan, selingkuh, kumpul kebo, seks pra nikah dan homoseksual dengan penularan HIV. Tidak ada kaitan langsung penularan HIV dengan zina, pelacuran, jajan, selingkuh, kumpul kebo, seks pra nikah dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu mengidap HIV (HIV-positif) dan laki-laki tidak memakai kondom. Kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan di luar nikah, zina, pelacuran, jajan, selingkuh, kumpul kebo, seks pra nikah dan homoseksual.

Kedua, penolakan terhadap kondom di Indonesia sangat kuat. Ada asumsi yang ngawur di kalangan orang-orang yang membalut lidahnya dengan moral yang melihat sosialisasi kondom akan mendorong orang melacur. Padahal, lelaki ‘hidung belang’ justru enggan memakai kondom. Fakta ini yang tidak dilihat oleh orang-orang yang kontra terhadap sosialisasi kondom untuk kalangan yang perilaku seksnya berisiko tertular HIV.

Dalam berita ada pernyataan aktivis LSM Paramitra, Tri Gozali, “Ibu rumah tangga dan TKW yang baru pulang dari luar negeri juga harus diwaspadai.” Ini mendorong stigmatisasi dan diskriminasi terutama terhadap TKW. Kalau kaitannya hanya karena (kerja) ke luar negeri mengapa hanya TKW? Pelancong, pegawai yang dinas, TKI laki-laki, diplomat dan pegawai kedutaan, serta orang-orang yang melalukan kegiatan keagamaan juga pergi ke luar negeri. Lagi-lagi ini mitos. Selalu dikesankan bahwa HIV (hanya) ada di luar negeri. Padahal, bisa saja TKW tertular HIV di Indonesia sebelum ke luar negeri.

Merendahkan Martabat

Kalau perda ini hanya mengatur perilaku penduduk Kab. Malang di wilayah Kab. Malang maka risiko penyebaran HIV tetap akan terjadi karena bisa saja terjadi penduduk Kab. Malang tertular di luar wilayah atau luar negeri. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk. Persoalannya adalah penduduk yang tertular HIV tidak menyadarinya. Akibatnya, tanpa mereka sadari pula mereka menularkan HIV kepada orang lain melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah.

Pada pasal 10 ayat 1 disebutkan “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib menggunakan kondom.” Jika mengacu kepada fakta empiris terkait penularan HIV maka bunyi pasal ini adalah “Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib memakai kondom.”

Selanjutnya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ada pula pasal yang berbunyi “Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV.”

Perda ini pun lagi-lagi merendahkan harkat martabat manusia sebagai makhluk Tuhan. Pada pasal 1 ayat 23 ada kata penjaja seks. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan penjaja adalah orang yang menjajakan dengan berkeliling membawa dan menawarkan barang dagangannya supaya dibeli orang.

Nah, apakah pekerja seks tidak pernah berkeliling menawarkan ‘barangnya’? Justru laki-laki yang mendatangi pekerja seks. Dan, dari aspek epidemiologis laki-lakilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Laki-laki, baik penduduk local maupun pendatang, yang mengidap HIV akan menularkan HIV kepada pekerja seks. Selanjutnya, laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks yang sudah tertular HIV berisiko pula tertular HIV. Tapi, fakta ini selalu ditutup-tutupi karena kita melihatnya dari sudut moral bukan dari fakta empiris.

Selama akar masalah penularan HIV tidak disentuh maka selama itu pula penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk akan terus terjadi. Ini akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.

Apakah kita (akan) menunggu ledakan baru bertindak dengan nalar dalam menanggulangi epidemi HIV? Semua terpulang kepada kita. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***