Renungan Hari AIDS Sedunia 1
Desember 2012
Abstract. When, early spread of HIV/AIDS in Indonesia? When HIV/AIDS spread
in many countries around the world,
the Indonesian government does not do
any concrete steps to confront HIV/AIDS epidemic. Governments are denied HIV/AIDS
will go to Indonesia because of Indonesia's
cultural and religious
communities. In fact, when there are cases associated with HIV/AIDS, called
ARC (AIDS related complex),
prior to 1987, the government still denies. Finally, the Government
of Indonesia set of
the first cases of HIV/AIDS in Indonesia in 1987 when the death of a Dutch
tourist who died
in Sanglah Hospital, Denpasar, Bali,
associated with HIV/AIDS.
Cumulative cases of HIV/AIDS in Indonesia since 1987 until June 30,
2012 reported 118.865, comprising
86,762 HIV and 32,103
AIDS with 5.623 deaths. ***
****
Liputan (1/12-2012) - Biarpun
sebelum tahun 1987 sudah ada kasus kematian terkait dengan HIV/AIDS di
Indonesia, tapi pemerintah bersikukuh bahwa kssus HIV/AIDS pertama di Indonesia
adalah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada seorang wisatawan Belanda yang
meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 1987. Ditjen PP & PL Kemenkes RI,
31/5-2012, melaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia priode 1987 sampai
30 Juni 2012 sebesar 118.865 yang terdiri atas 86.762 HIV dan 32.103 AIDS
dengan 5.623 kematian.
Penetapan
pemerintah ini bermuatan politis dan normatif, sekaligus mengukuhkan mitos
(anggapan yang salah), yaitu: AIDS penyakit bule,
AIDS dibawa dari luar negeri, dan AIDS penyakit homoseksual. Mitos ini
diperkuat lagi dengan pernyataan pejabat di awal-awal epidemi sehingga menjadi
pegangan banyak orang sampai sekarang.
Celakanya,
sampai sekarang cara-cara menanggapi dan mengomentari HIV/AIDS nyaris tidak
berubah sejak awal epidemi. Bahkan, terkesan mundur karena memberikan komentar
dan pernyataan yang tidak akurat karena hanya bertopang pada norma, moral dan
agama, seperti mengaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, ‘seks bebas’, ‘jajan’,
selingkuh, dll. yang tidak terkait langsung dengan penularan HIV/AIDS.
Tahun 1983 dr. Zubairi
Djoerban, staf Sub-Bagian Hematologi-Penyakit Dalam FK UI, meneliti kalangan
homoseksual dan waria di Jakarta terkait leukemia. Hasil penelitian dr Zubairi
ada tiga waria yang menunjukkan gejala mirip AIDS. Tapi, karena ketika itu
defenisi AIDS masih kabur maka gejala itu, lemas-lemas seperti yang dikeluhkan
ketiga waria itu, disebut sebagai AIDS related complex (ARC).
Tahun 1986 seorang perempuan berusia
25 tahun meninggal dunia di RSCM Jakarta. Tes darahnya memastikan bahwa dia
terinfeksi HTLV-III, dan dengan gejala klinis yang menunjukkan AIDS. Kasus ini
tidak dilaporkan oleh Depkes.
Pada tahun yang sama Direktur
RS Islam Jakarta, dr H Sugiat, melaporkan kasus pasien yang mati di rumah sakit
itu (7/1-1986) karena AIDS melalui surat kepada Menkes melalui Kanwil Depkes
DKI Jakarta. Ditemukan virus HTLV III dalam darah pasien melalui tes
darah metode ELISA. Contoh darah pasien
tsb. dites dengan Western blot di RS Walter Reed, AS, hasilnya negatif.
Belakangan kematian pasien itu disebut-sebut sebagai ARC.
Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Depkes, Prof Dr AA Loedin kembali menegaskan bahwa saat ini
penderita AIDS belum ada di Indonesia, tetapi penderita gejala ringan AIDS yang
disebut AIDS Related Complex (ARC), sudah cukup banyak. “Jumlah penderita ARC
kalau dihitung mencapai ratusan.” ( Harian “Suara Karya”, 9/4-1986).
Diingatkan UNAIDS
Biar pun sudah ada kasus yang
erat kaitannya dengan AIDS, tapi pemerintah, dalam hal ini Depkes RI, baru mau
mengakui AIDS sudah ada di Indonesia melalui kematian EGH, 44 tahun, seorang
turis asal Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 5 April 1987 karena penyakit
terkait AIDS. EGH tiba di Denpasar tanggal 26 Maret 1987.
Kasus ini membuat Indonesia
masuk dalam daftar Badan Kesehatan Sedunia (WHO) sebagai negara ke-13 di benua
Asia yang melaporkan ada kasus AIDS. Indonesia menetapkan HIV/AIDS resmi
sebagai penyakit menular yang dikuatkan dengan Instruksi Menteri Kesehatan No.
72/Menkes/Inst/II tanggal11 Februari 1988.
Ketika Indonesia ‘geger’ karena
kematian ‘bule’ di Denpasar itu, di rumah sakit yang sama justru seorang WNI,
pria asli Indonesia, 35 tahun, meninggal dunia juga karena penyakit terkait
AIDS di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 23 Juni 1988. Tes darah pria ini dengan ELISA
di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan hasil positif.
Sekretaris Panitia Penanggulangan AIDS Depkes, dr Suriadi Gunawan, MPH,
membenarkan hal itu. Tes dengan ELISA di Bali dan Western blot di
Jakarta menunjukkan hasil positif. (Harian “Kompas”, 22/7-1988).
Jika disimak matriks di atas
WNI yang meninggal di Denpasar (1988) kemungkinan tertular HIV antara tahun
1973 dan 1983 dengan perhitungan rentang waktu mencapai masa AIDS antara 5 dan
15 tahun. Ini jauh sebelum EGH tiba di Bali.
Bahkan, tahun 1987 Depkes RI
melaporkan 5 kasus HIV dan 2 kasus AIDS. Ini menunjukkan 2 kasus AIDS tertular
antara tahun 1972 dan 1982. Maka, kalau ada asumsi atau anggapan bahwa AIDS
dibawa orang ‘bule’ dari luar negeri maka fakta ini memupus asumsi tsb.
Di tahun 1984 Kepala Divisi
Transfusi Darah PMI, Dr. Masri Rustam, mengatakan masyarakat tidak perlu
khawatir AIDS menyerang penerima transfusi darah pencegahan dilakukan dengan
melarang kaum homoseksual atau waria menjadi donor darah.
Padahal, tahun 1985 Menkes,
ketika itu, Dr Suwardjono Surjaningrat, mengatakan bahwa belum pernah ditemukan
orang yang betul-betul terkena penyakit AIDS. Menjawab pertanyaan wartawan,
Menkes komentar “Kalau kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir
terjangkit penyakit AIDS.”
Ini salah satu pernyataan yang
menyuburkan mitos (anggapan yang salah) dan stigmatisasi (pemberian cap buruk)
serta diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang tertular
HIV, temasuk yang tertular melalui cara-cara yang justru dibenarkan agama,
seperti transfusi darah dan transplantasi organ tubuh.
Apakah orang yang tidak
bertaqwa otomatis tertular HIV? Lalu, apa ukuran taqwa yang bisa mencegah
penularan HIV, seperti melalui transfusi darah? Kemudian, apa alat ukur dan
siapa yang bernak menakar ketaqwaan seseorang terkait dengan pencegahan HIV?
Begitu pula dengan pernyataan
Ketua PMI yang mengesankan HIV/AIDS hanya ada di kalangan waria dan
homoseksual. Ini pun menyuburkan mitos yang sampai sekarang sangat sulit
dihapuskan dari memori sebagian orang Indonesia.
Tahun 1986 ada usulan dari
kalangan dokter di RSCM Jakarta untuk melakukan suvailan tes HIV terhadap
kalangan yang dianggap berisiko tinggi tertular HIV, al. pekerja seks dan
homoseksual. Usul ini muncul karena di banyak negara kasus HV/AIDS mulai
bermunculan, sedangkan di Indonesia sama sekali tidak ada kegiatan mendeteksi
HIV/AIDS. Hal ini dikemukakan oleh dr Zubairi Djoerban, Kasub Hematologi, Bag.
Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSTM.
Sebuah tim dari Hematologi
FKUI/RCTM melakukan pemeriksaan HIV dengan ELISA terhadap 7.464 orang
dari kalangan risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klinis AIDS pada
kurun waktu April-September 1986. Hasilnya? Reaksi positif pada tes pertama 47,
tes ulang tinggal 18 yang reaksi positif. Dari 18 ini hanya 8 yang mau
melanjutkan pemeriksaan. Hasilnya, 4 terdeteksi imunitas selular dan 4 terdapat
antigen HIV.
Tahun 1987 dilaporkan ada tiga
penduduk Indonesia yang ‘terjangkit’ AIDS. Menanggapi fakta ini, Kabalitbang
Depkes RI, waktu itu Prof. Dr. AA Loedin, mengatakan: “Jangan Ikut-ikutan Panik
Terhadap AIDS.”
Disebutkan
pula, kasus AIDS masih relatif tertanggulangi di Indonesia. Jadi, penyakit ini tidak usah dijadikan persoalan nasional. Ketua IDI Cab.
Denpasar, waktu itu, Dr. Agus Bagiada “Biar saja bangsa Barat kalang kabut,
tapi jangan impor keresahan mereka ke sini. Sebab berbeda dengan bangsa
Indonesia, umumnya bangsa Barat tidak berpengalaman menanggulangi kasus penyakt
menular, sehingga mereka menjadi sangat panik.” (Harian “Suara Pembaruan”, 21/9-1987).
Pada tahun 1989 dilaporkan ada
lima orang yang ’diduga’ mengidap penyakit terkait AIDS secara rutin konsultasi
ke Kelompok Studi Khusus AIDS (Pokdisus AIDS) Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia (FKUI)/RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pada tahun ini juga dilaporkan
ada WNI yang meninggal di RS dr. Soetomo, Surabaya. Dikabarkan, ‘teman kencan’
laki-laki ini cemas. Celakanya, kalangan rumah sakit justru panik menghadapi
kasus ini.
Kalau saja sejak ditemukan
kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan langkah-langkah penanggulangan yang
konkret tentulah akan lain hasilnya. Tapi, karena yang tejadi hanya sanggahan
dan penyangkalah, maka jangan heran kalau sekarang. kasus HIV dan AIDS terdeteksi
terus-menerus di semua daerah. Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara di
Asia, setelah Cina dan India yang tinggi percepatan laju infeksi baru HIV,
khususnya di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik yang bergantian.
Peringatan terhadap Indonesia
sudah juga dikumandangkan oleh Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif
UNAIDS (Badan PBB untuk AIDS). Dalam pidato pembukaan, Dr Piot secara khusus
menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan pengguna narkoba dengan jarum
suntik berganti-ganti di Indonesia. Di Indonesia sendiri kasus komulatif
HIV/AIDS sampai 30 Juni 2001, seperti dilaporkan Ditjen PPM & PL Depkes RI,
tercatat 2.150. Dari jumlah ini tercatat 415 pengguna narkoba yang terdiri atas
309 HIV dan 106 AIDS. Estimasi UNAIDS/WHO kasus HIV/AIDS di Indonesia 52.000,
sedangkan Depkes RI memperkirakan 120.000 kasus. Jumlah ini bertambah drastis
karena diperkirakan ada 60.000 – 80.000 pengguna narkoba suntikan (Syaiful W. Harahap, AIDS di
Indonesia Menjadi Sorotan, Harian “SUARA PEMBARUAN”, Jakarta, 6
Oktober 2001)
Debat Kusir
Di tahun 1985 dr. Zubairi
mengatakan bila penyakit AIDS sampai menyerang masyarakat akan sulit dicegah.
Begitu pula dengan Dr A. Haryanto Reksodiputro, ketika itu Kepala Bagian
Penyakit Dalam FK UI, mengingatkan masyarakat perlu memperoleh penjelasan
terntang AIDS tapi tidak menimbulkan kepanikan. Kepada KOMPAS Dr
Haryanto mengingatkan bahwa akan ada konsekuensi yang besar jika AIDS sudah ada
di Indonesia. Baiaya yang mahal akan dikelaurkan untuk skrining darah untuk
transfusi. Biaya yang besar juga diperlukan untuk memeriksa antibody HIV pada
orang-orang yang diduga tertular HIV. Sub-Bagian Hematologi Penyakit Dalam FKUI
mendeteksi antibody dengan ELISA. Ketika itu harga reagent-nya Rp
10.000. (Harian “Kompas”,
10/8-1985).
Terkait dengan informasi
HIV/AIDS melalui media massa yang tidak komprehensif sudak disuarakan oleh
Prof. Dr AA Loeddin, ketika itu Kalitbang Depkes RI, yang menilai bahwa media
massa di Indonesia belum banyak membantu dalam upaya menyadarkan masyarakat
mengenai masalah AIDS. Media massa dinilainya lebih banyak membuat sensasi dan
hal itu justru telah membuat masyarakat gelisah. (Tajuk Rencana, Harian “Suara
Pembaruan”, 22/6-1987).
Kalangan pejabat juga ada yang
menuding media massa menyebar ’kabar bohong’ tentang kasus HIV/AIDS di
Indonesia. Terkait dengan hal ini Ketua Umum IDI Pusat, dr. Kartono Mohamad,
mengatakan:.Ribut-ribut tentang AIDS. Pilihan kita dalam hal ini memang tidak
dapat lain, kecuali mengumumkan jika memang benar ada kasus AIDS di Indonesia,
karena hanya masyarakatlah yang dapat mencegah penyebarannya. Bukan pemerintah
dan bukan pula dokter. Ribut-ribut saling bantah justru makin membingungkan.
Kalau memang berita pers tidak benar, maka perlu ditunjukkan di mana letak kebohongan
berita itu. (Harian “Kompas”,
9/4-1986).
Pernyataan
pakar-pakar ternyata hanya bagaikan ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’
karena dibantah oleh pejabar dan pemuka masyarakat yang justru didengar rakya
walaupun yang mereka sampaikan hanya mitos.
Lilatlah
pernyataan dr Adhyatma, ketika itu Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2MPLP), Depkes
RI, “ …. mengakui sulit mencegah
masuknya AIDS ke Indonesia,
karena Indonesia
adalah negara terbuka. “Apalagi di sana sini
banyak praktek pelacuran dan kebiasaan kumpul kebo pun mulai masuk ke Indonesia.
Jadi AIDS sulit dicegah masuk. Tapi sebenarnya memberantasnya tidak sulit. Caranya, berantas saja perzinahan dan kemesuman. Dan ini
tentu bukan tugas Depkes saja.” (Harian “Kompas”, 4/9-1985).
Pernyataan-pernyataan yang
tidak akurat terus bermunculan dengan muatan norma, moral dan agama. Coba simak
berita ini: Boyke Dian Nugraha: Korban
AIDS bisa Berubah Mirip Monster. Ada nasihat dari pakar seks, Prof. Dr.
Boyke Dian Nugraha, SOG, untuk siswa SMU tentang bahaya HIV Aids. Seseorang
yang terkena Aids, dalam 5 tahun wajahnya akan berubah mirip monster. Tidak
perduli apakah wania itu cantik dan lelaki ganteng. Semuanya akan berubah
menjadi monster. Hal itu dikemukakan, Boyke Dian Nugraha, saat bebicara dalam
seminar yang dihadiri pelajar SMU di Surabaya (29/5). (Harian “Bali Post”,
30/5-2000).
Mengumbar mitos terus terjadi,
seperti yang diberitakan Harian “Pos Metro Balikpapan” (30/5-2009) ini:
Pada kesempatan itu, dr Boyke juga memaparkan bahaya atau dampak yang
ditimbulkan dari selingkuh berupa, kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit
kelamin diantaranya AIDS dan perceraian. “AIDS itu ‘kan anunya itu dimasukan
sembarangan, jadi kalau enggak mau kena AIDS jangan berselingkuh,” tegasnya
yang lagi-lagi disambut tawa kaum ibu. Untuk menginspirasi agar orang tidak
berselingkuh, kemarin, ia pun memperdengarkan salah satu lagu dari album Bunga
Jantungku.
Kalangan artis pun ikut pula nimbrung menyuburkan mitos. Pada acara Redaktur
Hebooh (ANTEVE, 21/4-2000), Nurul Arifin mengatakan selingkuh
sebagai salah satu faktor risiko penularan HIV (Newsletter HindarAIDS No.
46, 5 Juni 2000).
Pernyataan yang tidak
komprehensif tentang HIV/AIDS terus berlanjut. Ini judul berita di Harian “Fajar”,
Makassar, 2/12-2005: JK (Wakil Presiden Jusuf Kalla-pen.): Mau Tetap Berdosa,
Pakai Kondom. Dalam berita disebutkan JK mengatakan: “Yang harus kita katakan
adalah melakukan hubungan seks tidak dengan istri itu adalah dosa. Tetapi,
kalau Anda memang tetap ingin berdosa ya, pakailah kondom agar tidak
mengorbankan keluarga dan diri sendiri.”
Ini masih pernyataan Wapres
Jusuf Kalla: “Anak-anak yang ditinggalkan akan memiliki gen yang lebih baik dan
dapat menjadi pemain sinetron.” Itulah pernyataan Wapres Jusuf Kalla pada
promosi pariwisata tentang turis Timur Tengah datang ke Puncak, Jawa Barat,
untuk mencari janda atau melakukan pernikahan singkat (Harian ”KOMPAS”,
1/7-2006). Tanggapan terhadap JK, lihat: Syaiful
W. Harahap, ‘Pernikahan Singkat’ (Bisa) Mewariskan AIDS, http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/21/%E2%80%98pernikahan-singkat%E2%80%99-bisa-mewariskan-aids/).
Maka, tidak mengherankan kalau
sampai sekarang mitos tetap menyelimuti informasi HIV/AIDS yang menjalar ke
penanggulangan epidemi HIV. Lihat saja pencegahan dan penanggulangan epidemi
HIV di 40-an Perda Penanggulangan AIDS di Indonesia. Tidak satu pun pasal di
perda-perda itu yang menawarkan cara pencegahan yang konkret.
Padahal, HIV/AIDS adalah fakta
medis yang bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Maka,
penanggulangan dan pencegahannya pun dapat pula dilakukan secara medis.
Tampaknya, sebagian dari kita
memilih ‘debat kusir’ soal penanggulangan epidemi HIV dengan membenturkan
norma, moral dan agama kepada fakta medis. Jika paradigma kita tidak berubah,
maka kita tinggal menunggu pengalaman Thailand terjadi di Indonesia.
Dua dekade yang lalu pemerintah
Thailand sudah diingatkan oleh pakar epidemiologi agar menanggulangi epidemi
HIV dengan serius. Tapi, penerintah Negeri Gajah Putih itu menampik dengan
alasan masyarakatnya berbudaya dan beragama. Satu dekade kemudian dilaporkan
kasus HIV/AIDS mendekati angka 1.000.0000. Devisa dari pariwisata hanya bisa
menyumbang 2/3 kepada biaya penanggulangan HIV/AIDS di sana.
Indonesia juga ‘beruntung’
karena ada donor asing yang mendanai penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia,
mulai dari penanggulangan sampai pengobatan, al. pembelian obat antiretroviral
(ARV). Tapi, jika kelak donor hengkang, maka: Apakah dana dari APBN dan APBD cukup
untuk biaya penanganan Odha (Orang dengan HIV/AIDS) dan penanggulangan epidemi
HIV?
Jika penolakan terhadap Odha
terus berlanjut, maka: Apakah kelak pintu rumah-rumah ibadah di negeri ini
terbuka lebar bagi Odha?
Sejarah akan mencatat langkah
pemerintah dalam menanggulangi epidemi HIV/AIDS di negeri ini. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***