01 Desember 2012

Ribuan Laki-laki ’Hidung Belang’ di Kutai Kartanegara (Kukar), Kaltim, Berisiko Tertular HIV/AIDS


Tanggapan Berita (2/12-2012) - Dua puluh lima Pekerja Seks Komersial (PSK) di lokalisasi di tiga kecamatan di Kutai Kartanegara (Kukar), [Kalimantan Timur (Kaltim)-pen.] terdeteksi HIV/AIDS. Ini setelah pemeriksaan dilakukan Dinas Sosial (Dinsos) kerja sama Dinas Kesehatan (Diskes) Kukar. Bahkan seorang PSK disebutkan telah meninggal setelah dipulangkan kembali ke kampung halamannya. Ini lead pada berita ”25 PSK Terdeteksi HIV/AIDS. Lokalisasi di Tiga Kecamatan di Kukar” di  www.kaltimpost.co.id (29/11-2012).

Kalau saja wartawan yang menulis berita ini memahami HIV/AIDS secara akurat, maka persoalan yang ditonjolkan bukan perihal jumlah PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, tapi realitas sosial terkait dengan data tsb.

Pertama, yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK itu adalah laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang. Maka, di masyarakat ada laki-laki yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka ini bisa saja sebagai suami sehingga berisiko menularkan HIV kepada istrinya.

Kedua, PSK yang mengidap HIV/AIDS menularkan HIV kepada laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom. Maka, di masyarakat ada laki-laki yang mengidap HIV/AIDS yaitu yang tertular dari PSK tapi tidak terdeteksi. Mereka ini pun bisa saja sebagai suami sehingga berisiko menularkan HIV kepada istrinya.

Ketiga, jika setiap hari seorang PSK rata-rata melayani tiga laki-laki maka setiap hari ada 75 laki-laki yang berisiko tertular HV (25 PSK x 3 laki-laki).

Keempat, PSK yang terdeteksi HIV/AIDS tersebut minimal sudah tertular HIV tiga bulan. Maka, sebelum mereka terdeteksi sudah ada 5.625 laki-laki yang berisiko tertular HIV dari PSK (25 PSK x 3 laki-laki/malam x 25 hari/bulan x 3 bulan).

Kelima, dikabarkan ada seorang PSK yang sudah meninggal. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi di masa AIDS yaitu setelah tertular antara 5-15 tahun. Maka, seorang PSK yang meninggal itu sudah meladeni 4.500 – 13.500 laki-laki (1 PSK x 3 laki-laki/malam x 25 hari/bulan x 5 tahun atau x 15 tahun).

Realitas sosial inilah yang perlu diberitakan agar masyarakat memahami penyebaran HIV/AIDS. Laki-laki yang pernah melacur tanpa kondom di lokalisasi itu sudah berisiko tertular HIV. Untuk itulah mereka dianjurkan menjalan tes HIV.

Dikabarkan di Kukar sendiri  ada 14 lokalisasi pelacuran di 12 kecamatan dengan jumlah PSK mencapai 1.100. Tapi, data terbaru menyebutkan PSK di sana ada 800.

Dengan jumlah PSK 1.100, maka setiap malam ada 3.300 (1.100 PSK x 3 laki-laki/malam) laki-laki yang berisiko tertular HIV jika mereka melacur tanpa kondom.

Ada pernyataan: Yang mengejutkan, rupanya tak ada jaminan jika 25 penderita HIV/AIDS tersebut tidak lagi melakukan praktik prostitusi yang dikhawatirkan menularkan virus kepada orang lain. 

Yang lebih mengejutkan lagi adalah ada laki-laki yang melacur tanpa kondom dengan PSK. Mereka inilah yang menularkan HIV kepada PSK dan yang terular HIV dari PSK.

Disebutkan lagi bahwa diimbau agar 25 PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu tidak melayani tamu. Tapi, di sisi lain laki-laki yang mengidap HIV/AIDS terus menularkan HIV kepada PSK lain.

PSK yang tidak terdeteksi  HIV/AIDS pun tidak ada jaminan mereka bebas HIV/AIDS karena bisa saja ketika tes mereka pada masa jendela (tertular HIV di bawah tiga bulan). Selain itu bisa saja setelah tes HIV mereka tertular dari laki-laki yang mereka layani.

Disebutkan pula bahwa 80 persen PSK di Kukar berasal dari luar Kalimantan. Sedangkan 20 persen dari Kalimantan. Yang menjadi persoalan besar adalah laki-laki yang melacur dengan PSK itu tentulah sebagian besar penduduk lokal.

Yang perlu dilakukan oleh Pemkab Kukar adalah membuat mekanisme agar laki-laki yang sering melacur menjalani tes HIV. Selain itu perlu pula membuat program yang konkret agar laki-laki memakai kondom ketika melacur.

Selama Pemkab Kukar tidak menjalankan program yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi di Kukar yang kelak akan bermura pdaa ’ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tanpa Program Kondom di Hiburan Malam Penyebaran HIV/AIDS akan Terus Terjadi di Jakarta Barat


Tanggapan Berita (2/12-2012) - Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Malam Jakarta Adrian Maulite mengatakan, pihaknya akan merekomendasikan pencabutan izin usaha jika pengusaha tidak memeriksakan pegawainya ke dokter terkait penyakit mematikan tersebut. Ini pernyataan dalam berita ”Cegah HIV, pegawai tempat hiburan malam wajib dicek kesehatan” di www.merdeka.com (29/11-2012).

Ada beberapa hal yang tidak akurat dalam pernyataan tsb., yaitu:

Pertama, HIV/AIDS bukan penyakit mematikan karena belum ada laporan kematian karena HIV/AIDS. Kematian pada penderita HIV/AIDS terjadi di masa AIDS, setelah tertular antara 5-15 tahun, karena penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.

Kedua, HIV/AIDS bukan diperiksa tapi tes yaitu tes HIV. Tes HIV harus dilakukan dengan konseling sebelum dan sesudah tes serta rahasia.

Ketiga, tes HIV hanya akan akurat jika dilakukan setelah tertular HIV minimal tiga bulan.
Andaikan setiap bulan pun perempuan pekerja hiburan malam menjalani tes HIV, maka hal itu tidak akan efektif karena risiko seorang pekerja hiburan malam tertular HIV bisa terjadi setiap mereka melacur dengan laki-laki yang tidak memakai kondom.

Disebutkan oleh Adrian bahwa tempat hiburan malam merupakan tempat yang rentan bagi seseorang untuk terjangkit virus HIV. Untuk itu, pemeriksaan kesehatan pegawai menjadi suatu keharusan.

Pernyataan Adrian ini merupakan pembenaran bahwa di tempat hiburan malam terjadi praktek pelacuran yang melibatkan pekerja hiburan malam.

Kalau tidak ada pelacuran yaitu hubungan seksual, maka tempat hiburan malam bukan tempat yang rentan bagi seseorang untuk terjangkit virus HIV.

Soalnya, salah satu cara penularan HIV adalah melalui hubungan seksual tanpa kondom.

Pernyataan ini menguatkan fakta bahwa terjadi praktek pelacuran antara karyan dan tamunya: rendahnya pendapatan pekerja hiburan malam, seperti griya Pijat, karaoke, diskotek dan spa, menyebabkan banyak pegawai yang melakukan hubungan dengan orang yang berbeda-beda.

Maka, yang perlu dilakukan untuk menurunkan, sekali lagi menurunkan karena tidak mungkin mencegah seratus persen, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melacur dengan pekerja hiburam malam adalah program yang konkret yaitu mewajibkan setiap laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja hiburan malam.

Tanpa program yang konkret, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi sehingga harapan Pemkot Jakarta Barat untuk menjadikan daerah tu bebas HIV/AIDS pada tahun 2015 adalah sesuatu yang mustahil. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Mustahil Jakarta Barat ’Bebas HIV/AIDS’ Tahun 2015


Tanggapan Berita (2/12-2012) – ”Pemerintah Kota Jakarta Barat menargetkan wilayahnya bebas dari HIV/AIDS (Getting To Zero) pada tahun 2015. Bersama dengan Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, Bali, Jakarta Barat menjadi target monitoring dan evaluasi pelaksanaan Getting To Zero 2012-2015.” Ini lead pada berita ”Sukarno targetkan Jakarta Barat bebas HIV/AIDS tahun 2015” di  www.merdeka.com (29/11-2012).

Adalah hal yang mustahil wilayah Jakarta Barat akan ’bebas HIV/AIDS’ pada tahun 2015. Ada beberapa hal yang diabaikan, yaitu:

(1) Penularan HIV antar penduduk pada rentang waktu tahun 2012-2015 akan terus terjadi karena tidak semua penduduk Jakarta Barat menjalani tes HIV sehingga masih ada penduduk yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.

(2) Tidak bisa dijamin sebagian laki-laki dewasa penduduk Jakarta Barat tidak akan ada yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Jakarta Barat atau di luar wilayah Jakarta Barat.

(3) Tidak bisa dijamin sebagian laki-laki dewasa penduduk Jakarta Barat tidak akan ada yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan pekerja seks komersial (PSK) di wilayah Jakarta Barat atau di luar wilayah Jakarta Barat.

(4) Tidak bisa dijamin tidak akan ada penduduk Jakarta Barat yang tertular HIV melalui transfusi darah dan  jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).

(5) Tidak ada program yang konkret di Jakarta Barat untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.

Lima hal di atas merupakan batu ganjalan terhadap rencana ’bebas HIV/AIDS’.

Maka harapan Wakil Wali Kota Jakarta Barat, Sukarno, nanti pada 2015 Jakarta Barat benar-benar tidak ada penularan HIV/AIDS adalah mimpi di siang bolong yang menggambarkan ’bak punguk merindukan bulan’. Suatu hal yang mustahil.

Dikabarkan Pemkot Jakarta Barat dan para pengusaha menjalin komitmen bersama untuk mencegah penularan HIV/ AIDS. Menurutnya, Jakarta Barat dipilih sebagai target monitoring karena banyaknya tempat hiburan malam di wilayah itu.

Pertanyaannya: Apa langkah konkret yang dilakukan oleh Pemkot Jakarta Barat dan pengusaha tempat hiburan untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melacur di tempat hiburan malam di Jakarta Barat?

Tidak ada. Maka, tidak ada jaminan dari tahun 2012-2015 tidak akan ada lagi insiden infeksi HIV baru.

Seperti disampaikan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS DKI Jakarta, Rohana Manggala, sampai September 2012 tercatat 6.299 kasus kumulatif HIV/AIDS di Jakarta. Dari jumlah ini 13 persen terdeteksi pada penduduk Jakarta Barat. 

Menurut Rohana, angka tersebut diperkirakan bisa lebih, mengingat masih banyak orang dengan HIV/ AIDS yang belum didata.

Maka, penduduk Jakarta Barat yang mengidap HIV/AIDS tapi belum terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat tanpa mereka sadari.

Selain penularan oleh penduduk Jakarta Barat yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, perilaku sebagian laki-laki dewasa penduduk Jakarta Barat yang melacur dengan pekerja hiburan malam akan menambah jumlah insiden infeksi HIV baru.

Jika Pemkot Jakarta Barat tidak mempunyai program yang konkret berupa intervensi terhadap lima faktor pendorong di atas, maka harapan ’bebas HIV/AIDS’ hanyalah isapan jempol belaka. Pepesan kosong. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

30 November 2012

Kapan, Sih, Awal Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia?



Renungan Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2012

Abstract. When, early spread of HIV/AIDS in Indonesia? When HIV/AIDS spread in many countries around the world, the Indonesian government does not do any concrete steps to confront HIV/AIDS epidemic. Governments are denied HIV/AIDS will go to Indonesia because of Indonesia's cultural and religious communities. In fact, when there are cases associated with HIV/AIDS, called ARC (AIDS related complex), prior to 1987, the government still denies. Finally, the Government of Indonesia set of the first cases of HIV/AIDS in Indonesia in 1987 when the death of a Dutch tourist who died in Sanglah Hospital, Denpasar, Bali, associated with HIV/AIDS. Cumulative cases of HIV/AIDS in Indonesia since 1987 until June 30, 2012 reported 118.865, comprising 86,762 HIV and 32,103 AIDS with 5.623 deaths. ***

****

Liputan (1/12-2012) - Biarpun sebelum tahun 1987 sudah ada kasus kematian terkait dengan HIV/AIDS di Indonesia, tapi pemerintah bersikukuh bahwa kssus HIV/AIDS pertama di Indonesia adalah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 1987. Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 31/5-2012, melaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia priode 1987 sampai 30 Juni 2012 sebesar 118.865 yang terdiri atas 86.762 HIV dan 32.103 AIDS dengan 5.623 kematian.

Penetapan pemerintah ini bermuatan politis dan normatif, sekaligus mengukuhkan mitos (anggapan yang salah), yaitu: AIDS penyakit bule, AIDS dibawa dari luar negeri, dan AIDS penyakit homoseksual. Mitos ini diperkuat lagi dengan pernyataan pejabat di awal-awal epidemi sehingga menjadi pegangan banyak orang sampai sekarang.

Celakanya, sampai sekarang cara-cara menanggapi dan mengomentari HIV/AIDS nyaris tidak berubah sejak awal epidemi. Bahkan, terkesan mundur karena memberikan komentar dan pernyataan yang tidak akurat karena hanya bertopang pada norma, moral dan agama, seperti mengaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, dll. yang tidak terkait langsung dengan penularan HIV/AIDS.

Tahun 1983 dr. Zubairi Djoerban, staf Sub-Bagian Hematologi-Penyakit Dalam FK UI, meneliti kalangan homoseksual dan waria di Jakarta terkait leukemia. Hasil penelitian dr Zubairi ada tiga waria yang menunjukkan gejala mirip AIDS. Tapi, karena ketika itu defenisi AIDS masih kabur maka gejala itu, lemas-lemas seperti yang dikeluhkan ketiga waria itu, disebut sebagai AIDS related complex (ARC).

Tahun 1986 seorang perempuan berusia 25 tahun meninggal dunia di RSCM Jakarta. Tes darahnya memastikan bahwa dia terinfeksi HTLV-III, dan dengan gejala klinis yang menunjukkan AIDS. Kasus ini tidak dilaporkan oleh Depkes.

Pada tahun yang sama Direktur RS Islam Jakarta, dr H Sugiat, melaporkan kasus pasien yang mati di rumah sakit itu (7/1-1986) karena AIDS melalui surat kepada Menkes melalui Kanwil Depkes DKI Jakarta. Ditemukan virus HTLV III dalam darah pasien melalui tes darah metode ELISA. Contoh darah pasien tsb. dites dengan Western blot di RS Walter Reed, AS, hasilnya negatif. Belakangan kematian pasien itu disebut-sebut sebagai ARC.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes, Prof Dr AA Loedin kembali menegaskan bahwa saat ini penderita AIDS belum ada di Indonesia, tetapi penderita gejala ringan AIDS yang disebut AIDS Related Complex (ARC), sudah cukup banyak. “Jumlah penderita ARC kalau dihitung mencapai ratusan.” ( Harian “Suara Karya, 9/4-1986).

Diingatkan UNAIDS

Biar pun sudah ada kasus yang erat kaitannya dengan AIDS, tapi pemerintah, dalam hal ini Depkes RI, baru mau mengakui AIDS sudah ada di Indonesia melalui kematian EGH, 44 tahun, seorang turis asal Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 5 April 1987 karena penyakit terkait AIDS. EGH tiba di Denpasar tanggal 26 Maret 1987.

Kasus ini membuat Indonesia masuk dalam daftar Badan Kesehatan Sedunia (WHO) sebagai negara ke-13 di benua Asia yang melaporkan ada kasus AIDS. Indonesia menetapkan HIV/AIDS resmi sebagai penyakit menular yang dikuatkan dengan Instruksi Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Inst/II tanggal11 Februari 1988.

Ketika Indonesia ‘geger’ karena kematian ‘bule’ di Denpasar itu, di rumah sakit yang sama justru seorang WNI, pria asli Indonesia, 35 tahun, meninggal dunia juga karena penyakit terkait AIDS di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 23 Juni 1988. Tes darah pria ini dengan ELISA di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan hasil positif. Sekretaris Panitia Penanggulangan AIDS Depkes, dr Suriadi Gunawan, MPH, membenarkan hal itu. Tes dengan ELISA di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan hasil positif. (Harian “Kompas, 22/7-1988).

Jika disimak matriks di atas WNI yang meninggal di Denpasar (1988) kemungkinan tertular HIV antara tahun 1973 dan 1983 dengan perhitungan rentang waktu mencapai masa AIDS antara 5 dan 15 tahun. Ini jauh sebelum EGH tiba di Bali.

Bahkan, tahun 1987 Depkes RI melaporkan 5 kasus HIV dan 2 kasus AIDS. Ini menunjukkan 2 kasus AIDS tertular antara tahun 1972 dan 1982. Maka, kalau ada asumsi atau anggapan bahwa AIDS dibawa orang ‘bule’ dari luar negeri maka fakta ini memupus asumsi tsb.

Di tahun 1984 Kepala Divisi Transfusi Darah PMI, Dr. Masri Rustam, mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir AIDS menyerang penerima transfusi darah pencegahan dilakukan dengan melarang kaum homoseksual atau waria menjadi donor darah.

Padahal, tahun 1985 Menkes, ketika itu, Dr Suwardjono Surjaningrat, mengatakan bahwa belum pernah ditemukan orang yang betul-betul terkena penyakit AIDS. Menjawab pertanyaan wartawan, Menkes komentar “Kalau kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit AIDS.”

Ini salah satu pernyataan yang menyuburkan mitos (anggapan yang salah) dan stigmatisasi (pemberian cap buruk) serta diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV, temasuk yang tertular melalui cara-cara yang justru dibenarkan agama, seperti transfusi darah dan transplantasi organ tubuh.

Apakah orang yang tidak bertaqwa otomatis tertular HIV? Lalu, apa ukuran taqwa yang bisa mencegah penularan HIV, seperti melalui transfusi darah? Kemudian, apa alat ukur dan siapa yang bernak menakar ketaqwaan seseorang terkait dengan pencegahan HIV?

Begitu pula dengan pernyataan Ketua PMI yang mengesankan HIV/AIDS hanya ada di kalangan waria dan homoseksual. Ini pun menyuburkan mitos yang sampai sekarang sangat sulit dihapuskan dari memori sebagian orang Indonesia.

Tahun 1986 ada usulan dari kalangan dokter di RSCM Jakarta untuk melakukan suvailan tes HIV terhadap kalangan yang dianggap berisiko tinggi tertular HIV, al. pekerja seks dan homoseksual. Usul ini muncul karena di banyak negara kasus HV/AIDS mulai bermunculan, sedangkan di Indonesia sama sekali tidak ada kegiatan mendeteksi HIV/AIDS. Hal ini dikemukakan oleh dr Zubairi Djoerban, Kasub Hematologi, Bag. Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSTM.

Sebuah tim dari Hematologi FKUI/RCTM melakukan pemeriksaan HIV dengan ELISA terhadap 7.464 orang dari kalangan risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klinis AIDS pada kurun waktu April-September 1986. Hasilnya? Reaksi positif pada tes pertama 47, tes ulang tinggal 18 yang reaksi positif. Dari 18 ini hanya 8 yang mau melanjutkan pemeriksaan. Hasilnya, 4 terdeteksi imunitas selular dan 4 terdapat antigen HIV.

Tahun 1987 dilaporkan ada tiga penduduk Indonesia yang ‘terjangkit’ AIDS. Menanggapi fakta ini, Kabalitbang Depkes RI, waktu itu Prof. Dr. AA Loedin, mengatakan: “Jangan Ikut-ikutan Panik Terhadap AIDS.”

Disebutkan pula, kasus AIDS masih relatif tertanggulangi di Indonesia. Jadi, penyakit ini tidak usah dijadikan persoalan nasional. Ketua IDI Cab. Denpasar, waktu itu, Dr. Agus Bagiada “Biar saja bangsa Barat kalang kabut, tapi jangan impor keresahan mereka ke sini. Sebab berbeda dengan bangsa Indonesia, umumnya bangsa Barat tidak berpengalaman menanggulangi kasus penyakt menular, sehingga mereka menjadi sangat panik.” (Harian “Suara Pembaruan, 21/9-1987).

Pada tahun 1989 dilaporkan ada lima orang yang ’diduga’ mengidap penyakit terkait AIDS secara rutin konsultasi ke Kelompok Studi Khusus AIDS (Pokdisus AIDS) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pada tahun ini juga dilaporkan ada WNI yang meninggal di RS dr. Soetomo, Surabaya. Dikabarkan, ‘teman kencan’ laki-laki ini cemas. Celakanya, kalangan rumah sakit justru panik menghadapi kasus ini.

Kalau saja sejak ditemukan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan langkah-langkah penanggulangan yang konkret tentulah akan lain hasilnya. Tapi, karena yang tejadi hanya sanggahan dan penyangkalah, maka jangan heran kalau sekarang. kasus HIV dan AIDS terdeteksi terus-menerus di semua daerah. Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara di Asia, setelah Cina dan India yang tinggi percepatan laju infeksi baru HIV, khususnya di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik yang bergantian.

Peringatan terhadap Indonesia sudah juga dikumandangkan oleh Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS (Badan PBB untuk AIDS). Dalam pidato pembukaan, Dr Piot secara khusus menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik berganti-ganti di Indonesia. Di Indonesia sendiri kasus komulatif HIV/AIDS sampai 30 Juni 2001, seperti dilaporkan Ditjen PPM & PL Depkes RI, tercatat 2.150. Dari jumlah ini tercatat 415 pengguna narkoba yang terdiri atas 309 HIV dan 106 AIDS. Estimasi UNAIDS/WHO kasus HIV/AIDS di Indonesia 52.000, sedangkan Depkes RI memperkirakan 120.000 kasus. Jumlah ini bertambah drastis karena diperkirakan ada 60.000 – 80.000 pengguna narkoba suntikan (Syaiful W. Harahap, AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan, Harian “SUARA PEMBARUAN”, Jakarta, 6 Oktober 2001)

Debat Kusir

Di tahun 1985 dr. Zubairi mengatakan bila penyakit AIDS sampai menyerang masyarakat akan sulit dicegah. Begitu pula dengan Dr A. Haryanto Reksodiputro, ketika itu Kepala Bagian Penyakit Dalam FK UI, mengingatkan masyarakat perlu memperoleh penjelasan terntang AIDS tapi tidak menimbulkan kepanikan. Kepada KOMPAS Dr Haryanto mengingatkan bahwa akan ada konsekuensi yang besar jika AIDS sudah ada di Indonesia. Baiaya yang mahal akan dikelaurkan untuk skrining darah untuk transfusi. Biaya yang besar juga diperlukan untuk memeriksa antibody HIV pada orang-orang yang diduga tertular HIV. Sub-Bagian Hematologi Penyakit Dalam FKUI mendeteksi antibody dengan ELISA. Ketika itu harga reagent-nya Rp 10.000. (Harian “Kompas, 10/8-1985).

Terkait dengan informasi HIV/AIDS melalui media massa yang tidak komprehensif sudak disuarakan oleh Prof. Dr AA Loeddin, ketika itu Kalitbang Depkes RI, yang menilai bahwa media massa di Indonesia belum banyak membantu dalam upaya menyadarkan masyarakat mengenai masalah AIDS. Media massa dinilainya lebih banyak membuat sensasi dan hal itu justru telah membuat masyarakat gelisah. (Tajuk Rencana, Harian “Suara Pembaruan, 22/6-1987).

Kalangan pejabat juga ada yang menuding media massa menyebar ’kabar bohong’ tentang kasus HIV/AIDS di Indonesia. Terkait dengan hal ini Ketua Umum IDI Pusat, dr. Kartono Mohamad, mengatakan:.Ribut-ribut tentang AIDS. Pilihan kita dalam hal ini memang tidak dapat lain, kecuali mengumumkan jika memang benar ada kasus AIDS di Indonesia, karena hanya masyarakatlah yang dapat mencegah penyebarannya. Bukan pemerintah dan bukan pula dokter. Ribut-ribut saling bantah justru makin membingungkan. Kalau memang berita pers tidak benar, maka perlu ditunjukkan di mana letak kebohongan berita itu. (Harian “Kompas, 9/4-1986).

Pernyataan pakar-pakar ternyata hanya bagaikan ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’ karena dibantah oleh pejabar dan pemuka masyarakat yang justru didengar rakya walaupun yang mereka sampaikan hanya mitos.

Lilatlah pernyataan dr Adhyatma, ketika itu Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2MPLP), Depkes RI, “ …. mengakui sulit mencegah masuknya AIDS ke Indonesia, karena Indonesia adalah negara terbuka. “Apalagi di sana sini banyak praktek pelacuran dan kebiasaan kumpul kebo pun mulai masuk ke Indonesia. Jadi AIDS sulit dicegah masuk. Tapi sebenarnya memberantasnya tidak sulit. Caranya, berantas saja perzinahan dan kemesuman. Dan ini tentu bukan tugas Depkes saja.” (Harian “Kompas, 4/9-1985).

Pernyataan-pernyataan yang tidak akurat terus bermunculan dengan muatan norma, moral dan agama. Coba simak berita ini: Boyke Dian Nugraha: Korban AIDS bisa Berubah Mirip Monster. Ada nasihat dari pakar seks, Prof. Dr. Boyke Dian Nugraha, SOG, untuk siswa SMU tentang bahaya HIV Aids. Seseorang yang terkena Aids, dalam 5 tahun wajahnya akan berubah mirip monster. Tidak perduli apakah wania itu cantik dan lelaki ganteng. Semuanya akan berubah menjadi monster. Hal itu dikemukakan, Boyke Dian Nugraha, saat bebicara dalam seminar yang dihadiri pelajar SMU di Surabaya (29/5). (Harian “Bali Post”, 30/5-2000).

Mengumbar mitos terus terjadi, seperti yang diberitakan Harian “Pos Metro Balikpapan” (30/5-2009) ini: Pada kesempatan itu, dr Boyke juga memaparkan bahaya atau dampak yang ditimbulkan dari selingkuh berupa, kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit kelamin diantaranya AIDS dan perceraian. “AIDS itu ‘kan anunya itu dimasukan sembarangan, jadi kalau enggak mau kena AIDS jangan berselingkuh,” tegasnya yang lagi-lagi disambut tawa kaum ibu. Untuk menginspirasi agar orang tidak berselingkuh, kemarin, ia pun memperdengarkan salah satu lagu dari album Bunga Jantungku.

Kalangan artis pun ikut pula nimbrung menyuburkan mitos. Pada acara Redaktur Hebooh (ANTEVE, 21/4-2000), Nurul Arifin mengatakan selingkuh sebagai salah satu faktor risiko penularan HIV (Newsletter HindarAIDS No. 46, 5 Juni 2000).

Pernyataan yang tidak komprehensif tentang HIV/AIDS terus berlanjut. Ini judul berita di Harian “Fajar”, Makassar, 2/12-2005: JK (Wakil Presiden Jusuf Kalla-pen.): Mau Tetap Berdosa, Pakai Kondom. Dalam berita disebutkan JK mengatakan: “Yang harus kita katakan adalah melakukan hubungan seks tidak dengan istri itu adalah dosa. Tetapi, kalau Anda memang tetap ingin berdosa ya, pakailah kondom agar tidak mengorbankan keluarga dan diri sendiri.”

Ini masih pernyataan Wapres Jusuf Kalla: “Anak-anak yang ditinggalkan akan memiliki gen yang lebih baik dan dapat menjadi pemain sinetron.” Itulah pernyataan Wapres Jusuf Kalla pada promosi pariwisata tentang turis Timur Tengah datang ke Puncak, Jawa Barat, untuk mencari janda atau melakukan pernikahan singkat (Harian ”KOMPAS”, 1/7-2006). Tanggapan terhadap JK, lihat: Syaiful W. Harahap, ‘Pernikahan Singkat’ (Bisa) Mewariskan AIDS, http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/21/%E2%80%98pernikahan-singkat%E2%80%99-bisa-mewariskan-aids/).

Maka, tidak mengherankan kalau sampai sekarang mitos tetap menyelimuti informasi HIV/AIDS yang menjalar ke penanggulangan epidemi HIV. Lihat saja pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV di 40-an Perda Penanggulangan AIDS di Indonesia. Tidak satu pun pasal di perda-perda itu yang menawarkan cara pencegahan yang konkret.

Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Maka, penanggulangan dan pencegahannya pun dapat pula dilakukan secara medis.
Tampaknya, sebagian dari kita memilih ‘debat kusir’ soal penanggulangan epidemi HIV dengan membenturkan norma, moral dan agama kepada fakta medis. Jika paradigma kita tidak berubah, maka kita tinggal menunggu pengalaman Thailand terjadi di Indonesia.

Dua dekade yang lalu pemerintah Thailand sudah diingatkan oleh pakar epidemiologi agar menanggulangi epidemi HIV dengan serius. Tapi, penerintah Negeri Gajah Putih itu menampik dengan alasan masyarakatnya berbudaya dan beragama. Satu dekade kemudian dilaporkan kasus HIV/AIDS mendekati angka 1.000.0000. Devisa dari pariwisata hanya bisa menyumbang 2/3 kepada biaya penanggulangan HIV/AIDS di sana.

Untunglah bhiku di Thailand membuka pintu vihara lebar-lebar bagi penderita AIDS yang tidak tertampung di rumah sakit. Jerih payah tanpa pamrih bhiku ini menghasilkan Hadiah Ramon Magsaysay. Sebuah penghargaan internasional (Lihat: Syaiful W. Harahap, Pintu Vihara Tebuka bagi Odha, http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/04/pintu-vihara-terbuka-bagi-odha/).

Indonesia juga ‘beruntung’ karena ada donor asing yang mendanai penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, mulai dari penanggulangan sampai pengobatan, al. pembelian obat antiretroviral (ARV). Tapi, jika kelak donor hengkang, maka: Apakah dana dari APBN dan APBD cukup untuk biaya penanganan Odha (Orang dengan HIV/AIDS) dan penanggulangan epidemi HIV?

Jika penolakan terhadap Odha terus berlanjut, maka: Apakah kelak pintu rumah-rumah ibadah di negeri ini terbuka lebar bagi Odha?

Sejarah akan mencatat langkah pemerintah dalam menanggulangi epidemi HIV/AIDS di negeri ini. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***