24 November 2012

Mahasiswi Ganti-ganti Pasangan Mau Tes HIV


Tanya-Jawab AIDS No 14 /November 2012

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan melalui telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: e-mail aidsindonesia@gmaill.com, Telepon (021) 4756146, atau SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Saya perempuan, 22 tahun, mahasiswi semester sembilan. Belum menikah. (1) Seandainya saya terdeteksi mengidap HIV, bagaimana menurut Anda: Apakah saya menikah atau tidak? Selama ini saya sering berganti-ganti pasangan dan meladeni laki-laki dengan tidak memakai kondom. Saat ini saya masih di masa jendela karena baru 74 hari. (2) Saya terakhir melakukan hubungan seksual tanpa kondom tanggal 8 September 2012. Apakah sudah bisa melakukan tes HIV? Saya sudah konsultasi ke klinik di rumah sakit umum tempat saya tinggal. Mereka menjamin hasil tes rahasia. Saya tidak masalah kalau hasil tes tidak rahasia. (3) Bolehkah saya coba tes HIV tanggal 1 Des 2012 nanti? Ini 12 minggu setelah seks terakhir.  Tapi, pertengahan Desember 2012 saya akan tes HIV lagi.

Nn. ”Z”, Kota T, Jawa Timur (via SMS, 21/11-2012)

Jawab: Perilakumu memang berisiko tinggi tertular HIV. Celakanya, tidak ada gejala yang khas pada fisik dan tidak ada pula keluhan yang khas terkait dengan infeksi HIV. Untuk itulah seseorang yang perilakunya berisiko, seperti Anda, dianjurkan tes HIV.

(1) Menikah adalah hak seseorang. Jika kelak Anda terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka ketika hendak menikah Anda harus jujur memberitahun calon suami tentang status HIV Anda. Jika dia tetap menerima Anda, maka silakan kontak konselor tempat Anda tes untuk memberikan konseling pasangan kepada Anda dan calon suami tentang segala hal terkait dengan HIV/AIDS.

(2) dan (3) Tes HIV dengan reagent ELISA bisa akurat kalau tes dilakukan minimal tiga bulan setelah hubungan seksual terakhir tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti. Dari catatan Anda menunjukkan belum tiga bulan, maka sebaiknya tunggu saja dulu. Tidak ada manfaatnya Anda tes di masa jendela (tertular di bawah tiga bulan) karena hasilnya bisa positif palsu (tes reaktif tapi HIV tidak ada di dalam darah) atau negatif palsu (tes nonreaktif tapi HIV ada di dalam darah).

Kerahasiaan merupakan salah satu syarat tes HIV, tapi kalau Anda mengizinkan publikasi tidak jadi masalah. Tapi, perlu Anda ingat ada penolakan terhadap orang-orang yang mengidap HIV/AIDS sehingga diperlukan kerahasiaan. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***



Discalaimer. Tulisan ini bersifat umum yang dimaksudkan sebagai informasi tentang HIV/AIDS pada tataran realitas sosial. Terkait dengan aspek medis tentang HIV/AIDS silakan menghubungi dinas kesehatan, puskesmas, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) atau Klinik VCT di rumah sakit di tempat Anda.

Perda AIDS Kabupaten Puncak Jaya


Di saat kasus HIV/AIDS ‘merebak’ di banyak negara kita seakan terlena karena dari tahun ke tahun sejak kasus AIDS ‘pertama’ dipublikasikan tahun 1987 kasus AIDS yang dilaporkan hanya hitungan jari. Inilah yang selalu dijadikan pemerintah sebagai pembenaran terhadap ketidakmungkinan kasus HIV/AIDS ‘merebak’ di Indonesia.

‘Bak kebakaran jenggot’ menghadapi epidemi HIV yang kian nyata di depan mata beberap daerah di Indonesia menanggapinya dengan membuat peraturan daerah (Perda). Kab Puncak Jaya, Papua, pun tidak mau ketinggalan. Pemkab Puncak Jaya, Papua, menelurkan Perda No. 14 Tahun 2005 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS yang disahkan di Mulia tanggal 22 Juni 2005. Apakah pasal-pasal di perda ini menukik ke akar persoalan?

Moral vs Fakta

Publikasi kasus AIDS pertama ini pun bernuansa moral karena kasus kematian terkait AIDS terjadi pada orang bule (WN Belanda) di RS Sanglah, Denpasar, Bali, sehingga anggapan AIDS ‘hanya’ di luar negeri menjadi kuat. Setahun kemudian, 1988, kasus kematian terkait AIDS juga terjadi di RS Sanglah, Denpasar, yang menimpa seorang penduduk asli Indonesia. Kalau diamati penduduk tadi sudah tertular HIV antara tahun 1978 dan 1983 jauh sebelum WN Belanda tadi datang ke Bali.

Ada beberapa kejadian lain yang menyuburkan mitos bahwa ‘AIDS penyakit orang luar’. Misalnya, salah satu pertanyaan bagi calon donor di UTD-PMI adalah “Kapan Anda terakhir ke luar negeri?” Pertanyaan ini menunjukkan bahwa (risiko) AIDS hanya ada di luar negeri.

Pada Konferensi AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) VI tahun 2001 di Melbourne, Australia, Dr. Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS, sudah mengingatkan Indonesia terkait dengan peningkatan kasus HIV/AIDS. Tapi, lagi-lagi pemerintah berpangku tangan.

Namun, apa yang terjadi lima tahun kemudian? Kita melihat kasus HIV/AIDS mulai bermunculan dari berbagai daerah.

Celakanya, epidmei HIV bukan ditanggapi dengan ‘kepala dingin’ yaitu bertolak dari penanggulangan yang realistis, tapi dengan reaksi yang berlebihan dan tidak realistis bahkan irrasional.

Moral dan agama digenjot sehingga HIV/AIDS sebagai fakta medis pun tenggelam dan HIV/AIDS menjadi bagian dari mitos (anggapan yang salah). Berbagai jargon moral dan agama dimasukkan ke materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) HIV/AIDS.

Bahkan, di peraturan daerah (Perda) terkait AIDS juga sarat dengan atuaran moral dan agama yang sama sekali tidak terkait langsung dengan pandemi HIV. Penekanan aspek norma, moral, dan agama pada HIV/AIDS akan menimbulkan dampak yang merugikan, menyudutkan, menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang tertular HIV.

Perda AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah HIV adalah dengan meningkatkan ‘iman dan taqwa’. Ini jargon agama Islam. Bagaimana dengan penduduk yang beragama lain?

Lalu, kalau ada orang yang tertular HIV, apakah karena mereka tidak beriman dan tidak bertaqwa? Akibatnya, orang pun akan menuding orang-orang yang tertular HIV sebagai orang yang tidak beriman dan tidak bertaqwa. Padahal, banyak orang yang tertular HIV karena tidak mengetahui cara-cara pencegahan yang akurat yang juga terjadi karena KIE tentang HIV/AIDS dibalut moral dan agama. Apakah ini yang kita harapkan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS?

Di saat kita terlena dan mengedepankan norma, moral, dan agama dalam penanggulangan HIV/AIDS, apa yang terjadi? Kasus demi kasus terdeteksi karena masyarakat tidak memahami cara-cara pencegahan yang masuk akal karena penularan HIV dikaitkan dengan moral dan agama. Misalnya, penularan HIV disebutkan karena zina, pelacuran, jajan, selingkuh, waria, dan homoseksual.

Seks Menyimpang

Seorang wartawan di Denpasar, Bali, misalnya, tetap pada pendiriannya bahwa dua laki-laki yang HIV-negatif akan ‘kena AIDS’ kalau mereka melakukan anal seks (terjadi pada pelatihan wartawan untuk penulisan AIDS oleh PPPKMI Jakarta dengan dukungan Global Fund, Oktober 2005). Di beberapa pelatihan serupa juga selalu terungkap bahwa tetap ada wartawan yang yakin bahwa laki-laki dan perempuan yang dua-duanya HIV-negatif akan ‘kena AIDS’ kalau mereka berzina, selingkuh, seks pranikah, jajan, dan melacur.

Fakta ini menggambarkan pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS hanya berdasarkan mitos. Ini semua terjadi karena selama ini materi KIE tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral dan agama.

Hal yang sama terdapat pada Perda Puncak Jaya ini. Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalu cara (a) Tidak melakukan hubungan seksual secara menyimpang dan berganti-ganti pasangan seks.” Ini jelas ‘cara moral’ yang sama sekali tidak terkait dengan pencegahan penularan HIV yang akurat. ‘Penyimpangan’ dalam seks merupakan sudut pandang moral dan agama.

Penularan HIV dan IMS melalui hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif atau mengidap IMS dan laki-laki atau perempuan tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif dan tidak mengidap IMS maka tidak ada penularan HIV dan IMS biar pun mereka berzina, melacur, selingkuh, jajan, menyimpang, homoseksual, dll.

Maka, penularan HIV dan IMS melalui hubungan seksual tergantung kepada KONDISI HUBUNGAN SEKSUAL bukan SIFAT HUBUNGAN SEKSUAL. Artinya, biar pun di dalam ikatan pernikahan yang sah (sifat) ada risiko penularan HIV kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif (kondisi). Sebaliknya, biar pun di luar nikah, jajan, selingkuh, me-lacur, waria, atau homo-seksual (sifaf) kalau dua-duanya HIV-negatif (kondisi) maka tidak ada penularan HIV.

Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (b) Setia pada satu pasangan tetap.” Ini juga moralistik karena bisa saja terjadi kesetiaan kepada satu pasangan yang berganti-ganti. Pada kurun waktu tertentu seorang laki-laki setiap pada seorang perempuan. Tapi, bisa saja terjadi sebelum mereka saling setia mereka juga pernah saling setia dengan pasangan lain. Begitu seterusnya.

Pada pasal 4 disebutkan “HIV dapat menular kepada orang lain melalui: (a) Hubungan seksual yang tak terlindung.” Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Kalau dua-duanya HIV-negatif terlindung atau tidak, sah atau tidak, maka tidak ada penularan HIV.

Pada pasal 4 ayat b disebutkan “HIV dapat menular kepada orang lain melalui: Jarum/alat suntik yang sekali pakai dibuang.” Ini tidak jelas maksudnya.

Cara-cara pencegahan yang ‘ditawarkan’ selalu bersifat moralistik padahal pencegahan HIV dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran yang realistis.

Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (c) Menggunakan kondom pada setiap kontak seksual yang beresiko tertular virus HIV dan IMS.” Lho, bagaimana kontak seksual yang beresiko? Pada padal 1 ayat 11 disebutkan “Perilaku seksual beresiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom.”

Penjaja Seks

Yang terjadi adalah banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang merasa tidak berganti-ganti pasangan karena dia selalu ‘memakai’ pekerja seks komersial (PSK) yang sama setiap kali melepas hasrat seksual. Bahkan, ada yang menjadikan hubungan mereka pada taraf ‘pacar’ dan ‘suami’. Lagi-lagi penegasan tidak akurat karena dibalut dengan moral.

Perilaku berisiko melalui hubungan seksual bisa terjadi kalau melakukan hubungan seksual di dalam atau di luar nikah serta homoseksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK. langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran), PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, WIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, waria pekerja seks, dll.) serta pelaku kawin-cerai.

Selama materi KIE tetap dibalut dengan moral dan agama maka selama itu pula yang ditangkap masyarakat hanya mitos. Inilah yang mencelakakan masyarakat.

Di beberapa negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Tapi, mengapa di kawasan Asia Pasifik justru sebaliknya?

Ya, lagi-lagi terjadi karena mitos. Di banyak negara masyarakat sudah memahami cara-cara pencegahan yang realistis melalui hubungan seksual yang memakai kondom pada hubungan seksual yang berisiko. Sebaliknya, di kawasan Asia Pasifik yang terjadi justru ‘debat kusir’ soal kondom dengan mempertentangkan aspek kesehatan masyarakat dengan moral dan agama.

Perda ini lagi-lagi merendahkan harkat dan martabat PSK sebagai manusia dengan menyebut mereka sebagai penjaja seks komersial. Penjaja berarti orang yang menjajakan atau menawarkan sesuatu dengan berkeliling.

Pertanyaannya adalah: apakah PSK menjajakan diri dengan berkeliling? Fakta menunjukkan PSK menunggu di tempat. Yang datang ‘membeli’ justru laki-laki. Dan, perlu diingat laki-laki pulalah yang menularkan HIV atau IMS atau dua-duanya sekaligus kepada PSK. Fakta ini selalu ditutup-tutupi sehingga mengesankan PSK-lah yang menjadi biang keladi penyebaran HIV dan IMS. Penggelapan fakta ini selain bias gender juga menyesatkan masyarakat.

Celakanya, ketika ada PSK yang terdeteksi HIV-positif atau mengidap IMS yang dipersoalkan hanya PSK itu. Padahal, ada fakta lain yang merupakan realitas sosial yang digelapkan yaitu ada laki-laki yang menularkan dan tertular. Laki-laki inilah yang merupakan mata rantai penyebaran HIV dan IMS. Mereka menjadi jembatan dari PSK ke populasi.

Lagi-lagi fakta ini luput atau memang sengaja diluputkan agar PSK dikesankan tidak bermoral, sedangkan laki-laki ‘hidung belang’, bahkan ada yang beristri, yang gemar melacur lebih bermoral. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

30 Persen Pelaut di Bali Berperilaku Berisiko Tertular HIV/AIDS


Tanggapan Berita (25/11-2012) – “Pekerja di sektor transportasi laut di Indonesia, berada di urutan kelima kalangan yang sangat berisiko terkena HIV.”  (30 Persen Pelaut di Bali Rentan Terkena HIV-AIDS, www.beritasatu.com,  22/11- 2012).

Mengapa pekerja sektor transportasi laut berisiko tertular HIV?

Dikabarkan Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Cabang Bali menilai, sekitar 30 persen pelaut yang menjadi anak buah kapal di Pelabuhan Benoa Denpasar, memiliki gaya hidup berisiko sehingga rentan terserang virus HIV-AIDS.

Pertanyaan berikutnya: Apa gaya hidp berisiko sehingga mereka rentan tertular HIV?

Agaknya, gaya hidup yang dimaksud dapat dibaca dari penjelasan Ketua KPI Cabang Bali, I Dewa Nyoman Budiasa, yang mengatakan ini: "Informasi dan edukasi itu kami berikan guna mengurangi penyebaran serta memperbaiki gaya hidup rekan pelaut yang berisiko tersebut. Salah satunya adalah memberikan informasi supaya melakukan hubungan seksual menggunakan kondom."

Persoalannya kemudian adalah: Di mana mereka melakukan hubungan seksual?

Sayang, dalam berita tidak dijelaskan kapan dan di mana pelaut-pelaut itu melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV.

Soalnya, kalau hanya sebatas informasi dan edukasi tidak akan banyak manfaatnya karena hal itu sudah dilakukan sejak awal epidemi HIV di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya.

Maka, yang diperlukan adalah langkah konkret berupa regulasi di lokalisasi pelacuran berupa kewajiban memakai kondom bagi laki-laki ketika melacur.

Celakanya, di sekitar pelabuhan di Bali tidak ada lokalisasi pelacuran sehingga program kondom tidak bisa dijalankan secara efektif. Program wajib kondom hanya bisa efektif, seperti yang dilakukan Thailand, jika pelacuran dilokalisir dan germo diberikan izin usaha sebagai pintu masuk untuk menerapkan sanksi hukum.

Disebutkan oleh Budiasa: "Berdasarkan hasil penilaian yang kami lakukan kepada ribuan pelaut yang bekerja dan hidup di sekitar Pelabuhan Benoa, diperoleh kisaran 30 persen memiliki gaya hidup berisiko."  Data menunjukkan jumlah pelaut yang berada dan melakukan aktivitas di pelabuhan di wilayah ibu kota Provinsi Bali itu ada sebanyak 22.000.  

Maka, paling tidak ada 6.600 pelaut yang berisiko tertular HIV. Angka ini tentulah tidak bisa dianggap remeh karena kalau mereka tertular HIV maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya, jika istrinya tertular maka ada risiko penularan kepada bayi yang dikandungnya kelak. Kalau mereka mempunyai istri lebih dari satu dan pasangan lain maka jumlah perempuan yang tertular HIV bertambah banyak.

Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga menunjukkan suami mereka melacur tanpa kondom. Jika program penanggulangan tidak konkret, terutama untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjad. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Karyawan Takut Ketahuan Perilakunya dari Hasil Tes HIV


Tanya-Jawab AIDS No 13/November 2012

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan melalui telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: e-mail aidsindonesia@gmail.com, Telepon (021) 4756146, atau SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Saya menjalani tes HIV di sebuah lab klinik. Tes ini syarat untuk naik pangkat di perusahaan saya bekerja. Hasilnya akan diserahkan ke perusahaan. Saya tidak membuka hasil tes karena masih disegel. (1) Apakah perilaku saya selama ini bisa ketahuan dari hasil tes tsb.? Saya sering intim dengan wanita penghibur. (2) Apakah hasil tes tsb. bisa membongkar aib saya ketika saya masih lajang? (3) Jika tes di rumah sakit umum, apakah hasil tes bisa membuka perilaku saya waktu muda sebagai orang yang sering jajan? Sekarang saya sudah beristri. (4) Agar hasil tes HIV bisa konkret, bagiaman langkah yang harus saya tempuh? (5) Apakah tes di rumah sakit umum bisa akurat kalau tes sudah lebih dari tiga bulan dari terakhir melaukan perilaku berisiko? (6) Apakah tes di klinik VCT bayar?

Tn ”X”, di C, Jawa Barat (via SMS, 24/11-2012)

Jawab: Perilaku Anda memang berisiko tertular IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah), seperti GO atau kencing nanah, sifilis atau raja singa, virus hepatitis B, dll., atau HIV atau dua-duanya sekaligus.

Tidak jelas apakah tes yang Anda maksud tes kesehatan secara umum atau general check-up atau hanya tes HIV. Tes kesehatan untuk keperluan kenaikan pangkat berbeda dengan tes HIV. Tes HIV harus melalui konseling sebelum dan sesudah tes, dilakukan dengan persetujuan, hasilnya rahasia, yang boleh mengetahui hasil tes HIV hanya dokter, konselor dan Anda sendiri.

(1), (2) dan (3) Kalau tes tsb. Ada tes IMS dan HIV, maka hasil tes tsb. akan menunjukkan perilaku Anda selama ini. Terutama HIV karena tidak ada gejala yang khas sehingga Anda tidak akan menyadari kalau sudah tertular HIV. Sedangkan IMS biasanya ada gejala beberapa pekan setelah tertular.

(4), (5) dan (6) Hasil tes HIV bisa akurat jika tes dilakukan minimal tiga bulan dari tanggal terakhir, al. melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti wanita penghibur. Untuk lebih jelas, silakan berkunjung ke klinik VCT (tempat tes HIV gratis secara sukarela dengan konseling dan kerahasiaan) di rumah sakit umum di daerah Anda. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***


Discalaimer. Tulisan ini bersifat umum yang dimaksudkan sebagai informasi tentang HIV/AIDS pada tataran realitas sosial. Terkait dengan aspek medis tentang HIV/AIDS silakan menghubungi dinas kesehatan, puskesmas, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) atau Klinik VCT di rumah sakit di tempat Anda.