17 November 2012

Perda AIDS Kab Mimika, Papua

Media Watch (18/11-2012) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mimika, Papua, meneerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No 11 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS di Kabupaten Mimika yang disahkan tanggal 27 November 2007.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Mimika dari tahun 1996 hingga September 2012 mencapai 3.190

Perda AIDS Mimika salahsatu dari 64 perda, keputusan gubernur dan peraturan walikota tentang penanggulangan HIV/AIDS yang sudah ada di Indonesia.

Celakanya, semua perda itu hanya copy-paste sehingga tidak ada hal-hal baru yang ditonjolkan yang erat kaitannya dengan penanggulangan HIV/AIDS di tataran realitas sosial. Perda-perda itu tidak ’membumi’ karena tidak menyentuh akar persoalan.

Lihat saja bunyi pasal 2 di Perda AIDS Mimika ini: ”Obyek  Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS difokuskan pada semua tempat yang berpotensi terjadi penularan HIV/AIDS dan IMS di Kabupaten Mimika.”

Penularan HIV, khususnya melalui hubungan seksual, tidak ada kaitannya secara langsung dengan tempat tapi perilaku seksual orang per orang.

Di pasal 3 disebutkan: ”Subyek Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS adalah seluruh masyarakat terutama kelompok mesyarakat yang rentan berperilaku resiko tinggi untuk penularan HIV/AIDS dan IMS di Kabupaten Mimika.”

Pasal ini menyamaratakan perilaku semua orang di Mimika. Padahal, tidak semua orang penduduk Kab Mimika berperilaku seksual yang berisiko tertular HIV.

Perilaku seksual yang berisiko tertular HIV adalah:

(a). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Kab Mimika, di luar wilayah Kab Mimika atau di luar negeri.

(b) Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di wilayah Kab Mimika, di luar wilayah Kab Mimika atau di luar negeri.

(c). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kab Mimika, di luar wilayah Kab Mimika atau di luar negeri.

Karena subjek dan objek yang disasar perda ini tidak menyentuh akar persoalan penyebaran HIV, maka sudah bisa dipastikan hasil perda ini nol besar. Insiden penularan HIV baru, terutama di kalangan laki-laki dewasa, akan terus terjadi karena tidak ada intervensi yang konkret dalam perda itu terkait dengan pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual berisiko.

Simak saja pada bagian pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang ditawarkan perda ini. Di pasal 5 ayat 1 disebutkan: Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dapat dilakukan melalui cara: a. Tidak malakukan hubungan seksual secara menyimpang; b. Setia pada satu pasangan; c. Menggunakan kondom pada setiap kontak seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS dan IMS.

Bunyi pasal 5 ayat 1 huruf a itu menunjukkan perda ini dibuat dengan pijakan moral dengan mengabaikan fakta. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama) bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, melacur, ’seks bebas’, ’seks menyimpang’, dll.). Maka, pasal 5 ayat 1 huruf a itu tidak membumi sehingga tidak menyentuh akar persoalan.

Pasal 5 ayat 1 huruf b juga tidak akurat karena banyak laki-laki ’hidung belang’ yang tidak berganti-ganti pasangan ketika ’jajan’ ke pekerja seks komersial (PSK). Mereka merasa tidak berisiko tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seksual dengan satu PSK setiap mereka ’jajan’.

Itu terjadi karena informasi yang disebarluaskan selama ini tidak komprehensif. Seorang laki-laki berisiko tertular HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika dilakukan tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK dan waria.

Begitu pula dengan pasal 5 ayat 1 huruf c ”Menggunakan kondom pada setiap kontak seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS dan IMS” tidak membumi.

Pertanyaannya adalah: Bagaimana cara yang akan dilakukan Pemkab Mimika untuk mengawai pemakaian kondom pada kontak seksual yang berisiko tertular HIV dan IMS?

Salah satu perilaku yang berisiko tertular HIV terkait dengan hubugan seksual adalah hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK. Kewajiban memakai kondom pada hubungan seksual dengan PSK berhasil menekan laju infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa di Thailand.

Caranya? Pemerintah Thailand melokalisir pelacuran sebagai bentuk dari regulasi bukan legalisasi dengan memberikan izin usaha bagi germo atau mucikari. Artinya, germo yang tidak mengantongi izin usaha tidak boleh menjalankan kegiatan pelacuran.

Di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir dijalankan program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Secara rutin dilakukan survailans tes IMS (sifilis, GO, klamidia, dll.) terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu membuktikan ada laki-laki yang tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.

Pemerintah Thailand memberikan sanksi hukum kepada germo yang kedapatan mempunyai PSK yang mengidap IMS. Jika laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK juga mengidap HIV maka ada kemungkinan juga terjadi penularan HIV sekaligus.

Cara ini konkret sehingga berhasil. Berbeda dengan di Indonesia, seperti yang sudah dilakukan di Kab Merauke, Papua. Yang kena sanksi hukum adalah PSK. Satu PSK ditangkap dan dikurung di penjara puluhan PSK ’baru’ akan menggantikan posisi PSK tadi.

Selain itu laki-laki yang menularkan IMS atau HIV kepada PSK itu menjadi mata rantai penyebaran IMS da HIV di masyarakat. Inilah yang terjadi di Merauke.

Dalam perda itu di pasal 5 ayat 2 ada pula upaya penyelenggaraan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) untuk: a. Meningkatkan perilaku sehat dan bertanggungjawab; b. Penggunaan kondom 100% bagi semua pekeja seks dan pelanggannya serta ODHA dan pasangannya.

Lagi-lagi perda ini mengumbar mitos (anggapan yang salah). Penularan HIV melalui hubungan seksual tidak ada kaitannya secara langsung dengan perilaku sehat dan bertanggung jawab. Pasal ini mengesankan orang-orang yang tertular HIV karena perilakunya tidak sehat dan tidak bertanggung jawab. Ini mendorong stigma (cap buruk) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Sedangkan pasal 5 ayat 2 huruf b tidak akan jalan jika tidak diterapkan seperti yang dilakukan oleh Thailand. Memang, di pasal 8 ayat 1 dan 2 ada kewajiban memakai kondom, tapi tidak ada mekanisme pengawan yang konkret seperti di Thailand.

Penyebaran HIV akan terus terjadi di Kab Mimika karena perda yang ada hanya menjadikan PSK sebagai ’sasaran tembak’. Pasal 9 menyasar PSK, pengelola bar, dll. Pasal 10 menyasar Odha artinya orang yang sudah mengidap HIV, dan pasal 11 terhadap remaja. Pasal-pasal ini sama sekali tidak menyetuh laki-laki ’hidung belang’ sebagai mata rantai penyebaran HIV.

Untuk menanggulangi penyebaran HIV informasi yang perlu disampaikan ke masyarakat adalah cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang konkret. Tapi, ini sama sekali tidak ada dalam perda. Maka, penyebaran HIV akan terus terjadi di Kab Mimika. Tinggal menunggu waktu saja karena kasus-kasus yang terjadi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***


Dua Kali Kencan dengan PSK: Apakah Perlu Tes HIV?


Tanya-Jawab HIV/AIDS No 11/November 2012


Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, fax, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, e-mail aidsindonesia@gmail.com dan SMS 08129092017. Redaksi.

Tanya: Saya pernah dua kali melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) dengan memakai kondom. Terakhir saya melakukannya setahun yang lalu. (1) Apakah saya berisiko tertular HIV? (2) Apakah saya perlu tes HIV? (3) Kalau seks oral,  apakah pria berisiko tertular HIV? Waktu seks oral saya tidak memakai kondom. (4) Jika konseling apa yang kita lakukan. (5). Apakah hari libur nasional tempat tes HIV buka?

Mr ”T”, Surabaya (via SMS, 14/11-2012)

Jawab: PSK yang menjadi pasangan Anda dalam melakukan hubungan seksual adalah orang yang berisiko tertular HIV karena PSK sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti. Maka, ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK mengidap HIV/AIDS sehingga ada kemungkinan penularan HIV/AIDS.

(1) Kalau Anda jujur bahwa Anda hanya dua kali melakukan hubungan seksual dengan PSK dan selalu memakai kondom, maka risiko Anda tertular HIV kecil. Asalkan kondom dipakai sejak awal hubungan seksual sampai ejakulasi.

(2) Jika Anda tetap ragu-ragu akan lebih baik jika Anda konseling ke tempat-tempat tes HIV, seperti KlinikVCT di rumah sakit umum daerah.

(3) Pada seks oral yang berisiko tertular HIV justru lebih besar pada yang mengoral karena air mani tumpah di rongga mulut jika penis tidak memakai kondom. Risiko yang dioral kecil selama yang mengoral tidak sakit sariawan.

(4) Konseling adalah bimbingan yaitu penjelasan tentang HIV/AIDS agar yang dikonseling menegerti. Termasuk di dalamnya tentang tes HIV, hasil tes HIV, langkah-langkah berikut setelah ada hasil tes HIV. Melalui konseling inilah seseorang kemudian akan menentukan sikap: tes HIV atau tidak tes HIV.

(5) Silakan Anda kontak klinik VCT yang ada di daerah Anda untuk memastikan apakah mereka tutup pada hari libur. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***


Discalaimer. Tanya-Jawab ini bersifat umum yang dimaksudkan sebagai informasi tentang HIV/AIDS pada tataran realitas sosial. Terkait dengan aspek medis tentang HIV/AIDS silakan menghubungi dinas kesehatan, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) atau Klinik VCT di rumah sakti di tempat Anda.

16 November 2012

Di Kota Jambi, Prov Jambi, Penanggulangan HIV/AIDS Dilakukan di Hilir

Tanggapan Berita (17/11-2012) – “HIV/AIDS ini ada yang namanya fenomena gunung es. Artinya, kalau 1 orang ditemukan dalam stadium AIDS, berarti dibawahnya masih banyak orang yang terinfeksi. Makanya jumlah itu setiap tahun bertambah. Karena, jika ditemukan hari ini 1 orang terinfeksi, maka akan ditemukan lagi tahun depan.”  Ini pernyataan Erwan Mujio, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Jambi (534 Kasus Baru HIV/AIDS, www.jambiekspres.co.id, 14/11-2012). 

Ada beberapa hal yang bisa menyesatkan dalam pertanyaan Erwan di atas karena dalam berita tidak ada penjelasan yang akurat.

Pertama, fenomena gunung es pada penyebaran HIV/AIDS artinya kasus yang terdeteksi, sekali lagi yang terdeteksi yaitu orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS, adalah bagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Pada gunung es kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang menyembul ke permukaan dan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Kedua, yang perlu diingat adalah tidak ada rumus yang pasti berapa kasus di masyarakat berdasarkan kasus yang terdeteksi.

Ketiga, biar pun ada kasus HIV yang terdeteksi di masa AIDS, artinya sudah tertularn antara 5-15 tahun sebelumnya tidak bisa dipastikan bahwa ybs. sudah menularkan HIV kepada orang lain.

Keempat, pernyataan ”jumlah itu setiap tahun bertambah” menunjukkan pemahaman terhadap cara pelaporan kasus HIV/AIDS yang tidak akurat. Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga biar pun penderita atau pengidap HIV/AIDS banyak yang meninggal angka laporan tidak akan pernah berkurang atau turun.

Kelima, pernyataan ”jika ditemukan hari ini 1 orang terinfeksi, maka akan ditemukan lagi tahun depan” juga tidak akurat karena tidak bisa dipastikan kapan seseorang tertular HIV. Kasus yang terdeteksi tahun ini tidak bisa dipastikan tahun berapa dia tertular HIV.

Dikabarkan kasus HIV/AIDS di Kota Jambi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Seak tahun 1999 sampai sekarang tercatat 543 kasus HIV/AIDS, yang terdiri atas  283 HIV dan 260 AIDS.

Ada pernyataan ” .... yang mematikan dan belum ditemukan obatnya ini.”

Pernyataan ini menyesatkan karena belum ada laporan kematian karena HIV atau AIDS atau HIV/AIDS. Kematian pada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit lain yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC, yang terjadi pada masa AIDS (setelah tertular antara 5-15 tahun).

Penyakit yang belum ada obatnya bukan hanya HIV/AIDS. Ada penyakit yang tidak ada obatnya, seperti demam berdarah. Ada pula penyakit yang ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan, seperti diabetes dan darah tinggi. Sedangkan HIV/AIDS ada obatnya yaitu obat antiretroviral (ARV) untuk menekan laju pertumbuhan HIV di dalam darah.

Disebutkan: ” ....  seseorang akan terinfeksi virus HIV sebelum dinyatakan positif mengidap AIDS.  Ini lanjutnya, mengalami kurun waktu yang cukup lama.”

Pernyataan ini juga tidak akurat karena tidak ada yang positif mengidap AIDS, tapi positif tertular atau mengidap (virus) HIV. AIDS adalah kondisi yang terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV yang ditandai dengan penyakit-penyakit infeksi oportunistik.

Di Kota jambi sendiri, menurut Erwan, penderita HIV/AIDS ini rata-rata dari golongan usia 20 tahun hingga 30 tahun.

Pertanyaannya:

(1) Bagaimana kasus HIV/AIDS terdeteksi pada golongan usia 20 tahun hingga 30 tahun?

(2) Apa faktor risiko penularan HIV pada usia 20 tahun hingga 30 tahun tsb.?

(3) Mengapa banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada usia 20 tahun hingga 30 tahun?

Sayang, wartawan tidak mengajukan tiga pertanyaan di atas kepada Erwan sehingga tidak ada penjelasan yang komprehensif terkait dengan kasus HIV/AIDS pada usia 20 tahun hingga 30 tahun.

Terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS disebutkan oleh Erwan bahwa pihaknya sudah melakukan berbagai penyuluhan di beberapa lokasi dan kepada orang yang rawan terinfeksi.

Yang diperlukan bukan hanya sekedar penyuluhan, tapi program yang konkret, al. intervensi terhadap laki-laki yang melacur agar memakai kondom. Tanpa program ini maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Jambi akan terus terjadi.

Disebutkan pula: ” .... Kita juga melakukan pengobatan untuk ODHA yang memenuhi syarat untuk diobati.”  Ini adalah penanggulangan di hilir. Artinya, Pemkot Jambi menunggu dulu ada penduduknya yang tertular HIV baru diobati.

Dikatakan pula: “Kita juga melakukan pendampingan untuk merehabilitasi mental dan sosial penderita HIV/AIDS ini.” Ini juga di hilir. Tetap saja menunggu penduduk tertular HIV kemudian terdeteksi untuk selanjutnya didampingi.

Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu agar insiden infeksi HIV baru bisa ditekan. Intervensi ini perlu jika di Kota Jambi ada praktek pelacuran. Pemkot Jambi boleh-boleh saja menepuk dada dengan mengatakan bahwa di Kota Jambi tidak ada pelavcuran. Itu benar, tapi hanya karena tidak ada lokalisasi pelacurna. Sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Maka, tanpa program penanggulangan yang konkret, terutama pada praktek pelacuran, kasus HIV/AIDS di Kota Jambi kelak akan sampai pada ’ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

15 November 2012

Penyebaran HIV/AIDS di Kaltim Menyalahkan PSK

Tanggapan Berita (16/11-2012) – “Tingginya angka pekerja seks komersial (PSK), di Kalimantan Timur (Kaltim) memberi imbas pada angka penyakit menular, salah satunya HIV/AIDS. Staf Bidang Pelayanan Kesehatan, Dinas Kesehatan (Diskes) Kaltim dr Asauk Pramustyo Hadi mengatakan, salah satu yang mendominasi penularan HIV/AIDS adalah seks bebas.” Ini lead pada berita “Seks Bebas Masih Dominan Penyebab HIV/AIDS. PSK Membludak, Penyakit Seks Menular Tambah Marak” (jpnn.com, 14/11-2012). 

Pernyataan pada lead berita di atas menunjukkan penyangkalan terkait dengan perilaku sebagian laki-laki dewasa di Kaltim yang gemar melacur tanpa kondom dengan PSK.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kaltim dari tahun 1993 sampai 2012 mencapai  3.336  yang terdiri atas 2.559 HIV dan 777 AIDS.

Kesalahan bukan pada PSK, tapi ada pada laki-laki dewasa ‘hidung belang’ penduduk Kaltim, asli atau pendatang, yang pernah atau sering melacur dengan PSK langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (PSK yang ‘menyamar’ sebagai cewek kafe, cewek pemijat, cewek diskotek, cewek pub, cewek kafe, cewek biliar, mahasiswi, pelajar, ibu-ibu, dll.) tanpa memakai kondom.

Terkait dengan HIV/AIDS dan PSK ada dua hal yang diabaikan, yaitu:

(1) Ada kemungkinan PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS terular dari laki-laki dewasa lokal, asli atau pendatang. Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, dll.

(2) Ada kemungkinan PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS sudah tertular HIV sebelum ‘praktek’ di Kaltim. Maka, laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom berisiko tertular HIV. Laki-laki yang tertular HIV dari PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, dll.

Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan Laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga membuktikan suami mereka pernah atau sering melacur tanpa kondon dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung.

Menurut dr Asauk: “Meski pemerintah telah meminta pada semua PSK untuk menggunakan alat yang dapat mencegah menyebarnya virus ini (HIV/AIDS), namun di lapangan tetap saja tidak sesuai yang diharapkan.”

Pernyataan dr Asauk lagi-lagi menunjukkan penyangkalan terkait dengan perilaku laki-laki ‘hidung belang’ di Kaltim.

Yang harus memakai kondom bukan PSK, tapi laki-laki ‘hidung belang’ karena kondom perempuan tidak tersedia secara luas. Selain itu posisi tawar PSK untuk memaksa laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom sangat rendah karena laki-laki ‘hidung belang’ memakai tangan germo untuk memaksa PSK meladeni mereka tanpa kondom.

Lagi pula, mengapa ada laki-laki dewasa penduduk Kaltim yang melacur?

Nah, lagi-lagi persoalan bukan pada PSK. Biar pun di Kaltim banyak PSK kuncinya tetap pada laki-laki. Kalau laki-laki tidak mencari PSK tentulah tidak terjadi pelacuran.

Data KPA Kaltim menunjukkan jumlah PSK langsung di lokasi dan lokalisasi pelcuran di tiga kota ada 3.367, yaitu: Balikpapan (40 lokasi dan lokalisasi Lembah Harapan Baru KM 16,5 serta eks lokalisasi Manggarsari), Samarinda (26 lokasi dan 3 lokalisasi), dan Tarakan (26 lokasi dan 2 lokalisasi). Selain itu ada pula praktek pelacuran di luar lokalisasi, seperti di tempat hiburan malam (THM) hingga praktik prostitusi berlabel indekos.   

Dengan jumlah PSK yang mencapai 3.367 tentulah jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV setiap malam sangat besar, yaitu: 3.367 PSK x 3 laki-laki/malam =

Masih menurut dr Asauk: Penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV/AIDS tidak dapat dipastikan.  Yang jelas, bila tak ingin tertular lebih baik menghindari perilaku seks bebas.

Kondom adalah alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Kalau yang dimaksud dengan ‘seks bebas’ adalah melacur, maka ini mitos (anggapan yang salah) karena penularan HIV bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom).

Menurut Devi Kartika, pengelola Program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kaltim, penyebaran HIV/AIDS seratus persen ditularkan oleh PSK.

Pernyataan Devi ini menyesatkan karena yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang. Laku, ada pula laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang, yang tertular HIV dari PSK.

Devi lagi-lagi menyangkal dengan menempatkan PSK sebagai ‘kambing hitam’ yang mengabaikan perilaku laki-laki dewasa penduduk Kaltim yang gemar melacur tanpa kondom.

Yang jadi persoalan adalah Pemprov Kaltim tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ‘hidung belang’ melalui hubungan seksual dengan PSK.

Peraturan daerah (perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang sudah ada di Kaltim pun sama sekali tidak mewarkan langkah cara yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS.

Tiga Perda AIDS tsb., yaitu: Perda AIDS Prov Kaltim (http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-prov-kalimantan-timur.html), Perda AIDS Kota Tarakan, dan Perda AIDS Kota Samarinda.

Selama masih ada laki-laki dewasa penduduk Kaltim yang melacur tanpa kondom, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Pemprov Kaltim tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

14 November 2012

Penyebaran HIV/AIDS di Kota Banjarmasin, Kalsel, Merisaukan


Tanggapan Berita (15/11-2012) – “Dari 33 kasus AIDS di Banjarmasin pada 2011, tapi pada Juni 2012 meningkat hingga 107 kasus.” Ini lead pada berita “Kasus AIDS di Banjarmasin Meningkat Tiga Kali Lipat” (www.beritasatu.com, 14/11-2012).

Wartawan atau redaktur yang menulis lead berita ini tidak memahami pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Laporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah berkurang atau turun biar pun banyak pengidapnya meninggal.

Yang perlu dikembangkan dari data itu bahwa dalam kurun waktu setehun terdeteksi 74 kasus HIV/AIDS baru. Tapi, perlu diingat 74 kasus itu belum tentu tertular pada kurun waktu antara 2011 dan 2012 karena kalau ada kasus yang terdeteksi pada masa AIDS berarti sudah tertular antara 5-15 tahun sebelumnya.

Disebutkan: “Kasus penularan penyakit AIDS di wilayah Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) meningkat tiga kali lipat, sehingga sangat merisaukan banyak pihak.”

Yang merisaukan bukan pertambahan kasus tapi Pemkot Banjarmasin tidak mempunyai program yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS secara sistematis. Selain itu tidak ada pula program penanggulangan HIV/AIDS berupa intervensi yang konkret di hulu.

Biar pun Pemkot Banjarmasin sudah menerbitkan peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS, tapi perda itu ‘hanya macan’ kertas dengan pasal-pasat normatif yang jauh dari realitas HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kota-banjarmasin-kalimantan.html).   


Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin, drg Diah R Praswasti: "Padahal dari seorang yang tertular AIDS masih ada seratus orang yang tertular yang tidak diketahui."

“Rumus” jika ada 1 kasus terdeteksi berarti ada 100 kasus yang tidak terdeteksi tidak bisa dipakai secara ‘telanjang’ karena ‘rumus’ itu harus ada beberapa faktor yang mempengaruhi, al. tingkat pelacuran tinggi, pemakaian kondom rendah, dll. ‘Rumus’ itu hanya untuk keperluan epidemiologis, misalnya, merancang program, menyediakan obat-obatan, dll.

Memang, penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es, tapi tidak ada rumus baku yang bisa menentukan jumlah kasus yang tidak terdeteksi berdasakan kasus yang terdeteksi. Kasus yang terdeteksi (107) digambarkan sebagai puncak gunung es yang menyebul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut.

Disebutkan oleh Diah, saat ini Dinkes bersama Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) setempat dan instansi lainnya telah melakukan berbagai kegiatan menangkal kian merebaknya penyakit tersebut.

Pertanyaannya: Apa langkah konkret yang dilakukan oleh Dinkes Banjarmasin dan KPA Banjarmasin untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS?

Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan tentang program konkret yang dilakukan Pemkot Banjarmasih, dalam hal ini Dinkes Kota Banjarmasin dan KPA Kota Banjarmasin, untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Langkah yang dimaksud Diah adalah: “Salah satunya adalah dibentuknya klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) di Puskesmas Pekauman Kecamatan Banjarmasin Selatan Kota Banjarmasin.”

Klinik itu adalah program di hilir. Artinya, Dinkes Banjarmasin menunggu dulu ada penduduk yang tertular IMS baru diobati di puskesmas.

Sekali lagi yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu sebagai upaya untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru. Jika Pemkot Banjarmasin tidak mempunyai program yang konkret, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.

Laki-laki yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Kalau ini yang terjadi, maka Pemkot Banjarmasin tinggal menunggu waktu saja untuk menghadapi ‘ledakan AIDS”. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Perda AIDS Kab Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah



Media Watch (15/11-2012) – Hanya 22 hari setelah Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No 8 Tahun 2011 tanggal 15 Desember 2011 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Barat pun menelurkan Perda No 2 Tahun 2012 tanggal 25 Januari 2012 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit HIV/AIDS dan IMS.

Korawaringin Barat merupakan salah satu kabupaten di Kalteng. Kalau saja yang merancang Perda AIDS Kotawaringin Barat mengacu ke Perda AIDS Prov Kalteng tentulah perda itu jauh lebih baik, tapi yang terjadi tidak lebih baik karena hanya sebatas copy-paste dari perda-perda yang sudah ada.

Lihat saja tentang peran serta masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS.

Di Perda AIDS Kalteng disebutkan pada pasal  26:

(1) Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS ialah:

a. berperilaku hidup sehat;

b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV/AIDS;

c. tidak melakukan stigmanisasi dan diskriminasi terhadap ODHA;

d. menciptakan lingkungan yang kondusif bagi ODHA dan keluarganya;

e. terlibat dalam kegiatan kampanye, pencegahan, pengobatan, serta perawatan dan dukungan.

(2) peran serta masyarakat terutama dari sektor swasta dalam mendukung program/kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dibawah koordinasi KPA.

(3) peran serta LSM, kelompok kerja (Pokja) swadaya masyarakat dibidang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Sedangkan di Perda AIDS Kotawaringin Barat pada pasal 11 disebutkan:

(1) Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDHA dengan cara:

a. berperilaku hidup sehat;

b. meningkatkan ketahanan keluarga;

c. mencegah terjadinya diskriminasi terhadap ODHA,OHIDHA dan keluarganya;
d. menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi ODHA, OHIDHA, dan keluarganya;

e. aktif dalam kegiatan promosi, perawatan, dukungan, pengobatan, dan pendampingan terhadap ODHA dan OHIDHA.

(2) Pemerintah Daerah mendorong, membina, dan memfasilitasi peran serta masyarakat.

Pasal 26 ayat 1 huruf a dan b pada Perda AIDS Kalteng dan pasal 11 ayat huruf a dan b pada Perda AIDS Kotawaringin Barat sama persis. Pasal ini mendorong masyarakat untuk melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena melalui pasal itu dikesankan bahwa orang-orang yang tertular HIV karena perilakunya tidak sehat dan tidak mempunyai ketahanan keluarga.

Yang diperlukan dalam perda adalah langkah yang konkret berupa intervensi, terutama pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial di lokalisasi pelacuran.

Persoalannya adalah Pemkab Kotawaringin Barat tidak melokalisir pelacuran sehingga praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Tapi, di pasal 4 ayat b disebutkan: ”Upaya pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui meningkatkan penggunaan kondom pada setiap hubungan seks beresiko.”

Pertanyaannya:

(1) Di mana (saja) terjadi hubungan seks beresiko?

(2) Bagaimana Pemkab Kotawaringin Barat mengawasi pemakaian kondom pada setiap hubungan seks beresiko?

Hubungan seksual berisiko adalah:

(a) Dilakukan tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti.

(b) Dilakukan tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), waria dan pelaku kawin-cerai.

(c) Dilakukan tanpa kondom dengan pasangan sejenis (gay pada homoseksual dan laki-laki heteroseksual pada lelaki suka seks lelaki).

Yang bisa dipantau hanya huruf (b) jika PSK dilolisir melalui regulasi. Germo atau mucikari diberikan izin usaha sebabai pintu masuk untuk menerapkan sanksi denda atau pidana.

Program ”wajib kondom 100 persen” bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran di Thailand berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru.

Di pasal 4 ayat d disebutkan: ”Upaya pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui pengurangan resiko penularan HIV dan AIDS dari ibu ke anak.”

Pertanyaannya: Apakah dalam Perda AIDS Kotawaringin Barat ada langkah konkret yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil?

Tidak ada!

Maka, Pemkab Kotawarngin Barat harus menunggu ada dulu perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS baru program ”pengurangan resiko penularan HIV dan AIDS dari ibu ke anak” dijalankan.

Pada bagian penanggulangan yang dilakukan adalah langkah di hilir, al. menyediakan sarana, perawatan, dan pengobatan terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) serta perlindungan terhadap Odha dan Ohida. Ini artinya Pemkab Kotawaringin Barat menunggu dulu ada penduduknya yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS baru ditangani.

Pada bagian kewajiban di pasal 8 ayat 6 disebutkan: ”Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS wajib melindungi orang lain dengan melakukan upaya pencegahan.”

Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen kasus penularan HIV/AIDS justru tidak diketahui karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS.

Kalau saja perda ini dirancang dengan pijakan fakta (medis), maka pasal 8 ayat 6 berbunyi: ”Setiap orang yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan yang tidak diketahui status HIV-nya wajib memakai kondom sebagai upaya pencegahan.”

Soalnya, orang-orang yang sudah terdeteksi HIV/AIDS melalui tes HIV yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku sudah berjanji akan menghentikan penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Begitu pula dengan pasal 8 ayat 7: ”Setiap orang yang bersetubuh dengan seseorang padahal diketahui atau patut diduga bahwa dirinya dan atau pasangannya mengidap HIV dan AIDS wajib melindungi pasangannya dengan menggunakan kondom.”

Status HIV seseorang tidak bisa diduga-duga. Maka, bunyi pasdal 8 ayat 7 yang komprehensif adalah: ”Setiap orang yang bersetubuh dengan seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya wajib memakai kondom.”

Kewajiban memakai kondom hanya bisa diterapkan pada hubungan seksual antara laki-laki dan PSK di lokalisasi pelacuran. Jika tidak ada lokalisasi pelacuran maka pencegahan dengan kondom tidak akan efektif.

Praktek pelacuran yang terjadi di sembarang tempat, seperti rumah, kos-kosan, kontrakan, penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang tidak bisa diawasi sehingga program wajib kondom tidak bisa dijalankan.

Maka, biar pun ada perda penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi. Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga menunjukkan suami mereka melakukan perilaku berisiko tertular HIV, al. melacur tanpa kondom dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di sembarang tempat.

Pemkab Kotawaringin Barat tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

HIV/AIDS di Kab Jember, Jatim, Didominasi Ibu Rumah Tangga



Tanggapan Berita (15/11-2012) – "Jumlah penderita HIV/AIDS saat ini sangat memprihatinkan." Ini pernyataan Kepala Dinkes Jember,Jawa Timur (Jatim), Bambang Suwartono, tentang jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Jember yang mencapai 780 yang terdata dari tahun 2003 sampai 2012 (780 Warga Jember Terinfeksi HIV/AIDS, metrotvnews.com, 13/11-2012).

Kalau saja wartawan yang menulis berita ini memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis, maka yang memprihatinkan adalah Pemkab Jember, dalam hal ini Dinkes Jember, tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Berita ini juga tidak menjelaskan berapa kasus HIV dan AIDS serta jumlah kematian dan penyakit penyebab kematian.

Menurut Bambang, Ironisnya, penyebaran HIV/AIDS paling tinggi didominasi golongan non-risiko tinggi, seperti ibu rumah tangga, pelajar, dan mahasiswa.

Risiko tinggi tertular dan menularkan HIV bukan terletak pada kelompok atau kalangan tertentu, tapi erat kaitannya dengan perilaku seks orang per orang.

Pelajar dan mahasiswa bisa saja perilakunya berisiko tinggi tertular HIV kalau mereka pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.

Sedangkan ibu rumah tangga perilakunya tidajk berisiko, tapi suami mereka berperilaku yang berisiko tertular HIV, al. berzina dengan perempuan yang berganti-ganti atau melacur dengan pekerja seks tanpa kondom.

Maka, yang ironis adalah banyak suami di Kab Jember yang menularkan HIV kepada istrinya.

Masih menurut Bambang: "Ini pekerjaan rumah yang harus diselesaikan."

Pertanyaan untuk Bambang: Apa program konkret yang Anda jalankan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Kab Jember?

Sayang, wartawan tidak bertanya sehingga dalam berita tidak ada penjelasan tentang program yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Kab Jember.

Disebutkan bahwa Bambang mengimbau masyarakat peduli dengan memberikan pemahaman bagi yang lain agar tidak melakukan perilaku seks bebas, serta ikut mengawasi peredaran narkoba pada anak-anak muda karena hal itu memudahkan penyebaran HIV/AIDS.

Lagi-lagi Bambang menyebarkan mitos (anggapan yang salah) yaitu ‘seks bebas’. Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai melacur, maka tidak ada kaitan langsung antara melacur dan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual), jika salah satu dari pasangan tsb.mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seksual).

Ini juga pernyataan Bambang: "Kami mengimbau kepada warga yang berpotensi tinggi tertular HIV/AIDS, agar memeriksakan diri ke klinik VCT yang berada di Rumah Sakit Daerah (RSD) dr Soebandi Jember, RSD Balung, dan Puskesmas Puger."

Celakanya, dalam berita tidak dijelaskan siapa ” warga yang berpotensi tinggi tertular HIV/AIDS”. Maka, himbauan itu pun tidak tepat sasaran.

Kalau saja Bambang menjelaskannya dan wartawan bertanya tentulah dalam berita ada penjelasan tentang siapa saja warga yang berpotensi tinggi tertular HIV/AIDS. Dan, mengapa mereka harus tes HIV?

Dikatakan lagi oleh Bambang: Permasalahan yang banyak muncul saat ini, keengganan penderita untuk memeriksakan diri di klinik VCT karena dipengaruhi oleh perasaan malu dan sebagian besar mereka berobat pada saat stadium lanjut atau sudah parah.

Orang-orang yang sudah terdeteksi HIV/AIDS melalui tes HIV yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku akan terus berhubungan dengan klinik VCT karena mereka memerlukan konseling dan pengobatan jika sudah sampai pada tahap tertentu, yaitu obat antiretroviral (ARV).

Berita ini menunjukkan Dinkes Jember menanggulangi HIV/AIDS di hilir, al. anjuran tes HIV. Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu.

Pertanyaan untuk Dinkes Jember: Apakah di wilayah Kab Jember ada praktek pelacuran?

Kalau jawabannya tidak ada, maka di Jember tidak ada penyebaran HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual.

Tapi, kalau jawabannya ada, maka diperlukan langkah konkret berupa intertensi terhadap laki-laki yang melacur agar memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks.

Jika tidak ada intervensi, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kab Jember yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

13 November 2012

Perda AIDS Prov Kalimantan Tengah



Media Watch (14/11-2012) – Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No 8 Tahun 2011 tanggal 15 Desember 2011 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS.

Kasus kumulatif HIV/AIDS per 30 Juni 2012 dilaporkan 194yang terdiri atas 94 HIV dan 100 AIDS.

Apa langkah konkret yang ditawarkan perda ini untuk menanggulangi HIV/AIDS di Kalteng?

Tidak ada!

Sama seperti puluhan perda sejenis yang sudah ada di Indonesia perda ini pun hanya ‘bekerja’ di tataran norma sehingga pasal-pasal yang ada pun hanya normatif yang tidak bisa dijalankan secara efektif.

Lihat saja pasal 6 Pencegahan pada hubungan Seks Beresiko.

Pada ayat (1) disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV/AIDS atau ODHA atau orang-orang berpotensi kena HIV/AIDS diwajibkan untuk mencegah penularan HIV/AIDS kepada pasangannya dan dalam melakukan hubungan seksual beresiko wajib menggunakan kondom.”

Ayat (1) ini bekerja di hilir artinya menunggu ada dulu pendudk yang terdeteks mengidap HIV/AIDS baru ditangani agar tidak menularkan HIV/AIDS kepada pasangannya. Persoalannya adalah lebih dari 90 persen kasus penularan HIV/AIDS justru tidak disadari.

Ayat (2) disebutkan: “Setiap pelanggan PSK wajib menggunakan kondom pada saat berhubungan seks.”

Persoalan terkait dengan ayat (2) ini adalah tidak ada penjelasan di mana hubungan seksual itu terjadi, bagaimana cara pemantauannya, dll. Selama pelacuran atau prostitusi tidak dilokalisir, maka selama itu pula kewajiban pelanggan PSK tidak bisa dikontrol.

Pada ayat (3) disebutkan: “Setiap orang yang berperilaku seks beresiko wajib melakukan pemeriksaan IMS sebulan sekali dan VCT sesuai prosedur yang berlaku ditempat pemeriksaan yang telah ditunjuk dinas kesehatan.”

Kendala pada ayat (3) ini adalah tidak cara, prosedur atau langkah yang efektif untuk menetapkan seseorang berperilaku seks beresiko.

Di ayat (4) disebutkan: “Setiap pengelola tempat hiburan, lokalisasi, panti pijat, dan tempat potensial lainnya wajib aktif dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dengan memantau serta mewajibkan anak asuhnya untuk melakukan pemeriksaan IMS rutin dan HIV serta penggunaan Kondom.”
Terkait dengan ayat (4) ini tidak ada mekanisme yang sistematis untuk pengawasan penggunaan kondom pelanggan PSK.

Satu hal yang luput dari perhatian adalah rentang waktu pemeriksaan kesehatan, tes IMS dan tes HIV tidak ada manfaatnya karena sebelum PSK menjalani tes IMS dan tes HIV sudah banyak laki-laki yang berisiko tertular HIV yaitu laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom.

Mewajibkan pelanggan PSK memakai kondom pada saat berhubungan seks hanya bisa bijalankan dengan efektif jika pelacuran atau prostitusi dilokalisir. Germo atau mucikari diberikan izin usaha agar mereka ada dalam genggaman hukum. Cara ini berhasil dilakukan Thailand yang ditunjukkan dengan penurunan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa.

Secara rutin PSK menjalani tes IMS. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu artinya PSK itu melayani laki-laki yang tidak memakai kondom. Yang dikenakan sanksi hukum bukan PSK, tapi germo mulai dari peringatan sampai pencabutan izin usaha.

Di Kab Merauke dan Kab Mimika, dua-duanya di Prov Papua yang dihukum justru PSK. Padahal, posisi tawar PSK untuk memaksa laki-laki memakai kondom sangat rendah. Laki-laki bahkan memakai ’tangan’ germo untuk memaksa PSK melayaninya melakukan hubungan seksual tanpa kondom.

Pada pasal 10 ayat (1) disebutkan: ’Semua darah donor wajib dilakukan uji saring virus HIV karena potensi penularan HIV melalui darah sangat tinggi.” dan ayat (2) Penyediaan darah yang akan ditransfusi wajib telah mendapatkan jaminan dari lembaga resmi yang ditunjuk bahwa telah dilakukan uji saring virus HIV.

Persoalannya adalah bisa saja terjadi donor mendonorkan darahnya pada masa jendela yaitu tertular HIV di bawah tiga bulan sehingga infeksi HIV berasa pada masa jendela. Kondisi ini adalah rentang waktu belum ada antibody HIV di dalam darah. Ini artinya skirining HIV di unit-unit transfusi darah PMI akan menghasilkan positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi tes reaktif) atau negatif palsu (HIV sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV).

Karena pernah harus membayar denda RM 100 juta untuk ganti rugi seorang perempuan guru mengaji yang tertular HIV dari transfusi darah di sebuah rumah sakit, maka Malaysia memakai standar ISO untuk transfusi darah (Lihat:

Perda ini banyak berbiara di hilir, seperti pengobatan, perawatan, dukungan, stigma, diskriminasi, dll. Ini artinya Pemprov Kalteng menunggu pnduduk dulu tertular HIV baru ditangani.

Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu, al. menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Perda ini kian tidak ada maknya dalam penanggulangan HIV/AIDS jika disimak pasal 26 tentang peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, yaitu ayat 1 huruf a dan b, yaitu:

a. berperilaku hidup sehat. Iini mendorong stigma yaitu cap buruk dan diskriminasi yaitu perlakuan berbeda terhadap orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena pasal 6 ayat 1 huruf a ini mengesankan bahwa orang-orang yang tertular HIV karena tidak berperilaku hidup sehat. Tentu saja amat menyakitkan bahwa istri-istri yang tertular HIV dari suaminya, bayi yang tertular dari ibunya, atau orang-orang yang tertular melalui transfusi darah dan jarum suntik.

b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV/AIDS. Ini juga mendorong stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena pasal 6 ayat 1 huruf b ini mengesakan orang-orang yang tertular HIV karena mereka tidak mempunyai ketahanan keluarga.

Selama Pemprov Kalteng tetap mengabaikan pelacuran dengan tidak melokalisirnya, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi karena ada penyebaran HIV/AIDS dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya dari PSK ke laki-laki.

Di masyarakat laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

12 November 2012

Menyesatkan: PSK di Merauke, Papua, Pakai Kartu Bebas AIDS


Tanggapan Berita (12/11-2012) – ”Untuk menekan angka penyebaran penyakit infeksi menular seksual  dan HIV/AIDS di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, para pekerja seks komersial atau PSK bakal diwajibkan memiliki kartu bebas IMS, HIV, dan AIDS, sebelum bekerja di Merauke. Mereka juga diwajibkan memeriksakan diri secara teratur untuk mendeteksi penularan IMS dan HIV/AIDS.” Ini lead pada berita ”PSK Wajib Miliki Kartu Bebas HIV/AIDS” di kompas.com (12/11-2012).

Ada beberapa hal yang terabaikan dalam pernyataan tsb., yaitu:

Pertama, (kartu) ’bebas AIDS’ hanya berlaku saat darah diambil untuk tes HIV. Misalnya, darah PSK atau siapa saja diambil hari Senin tanggal 12 bulan November tahun 2012 pukul 08.00. Hasil tes terhadap darah tsb. hanya berlaku saat darah diambil karena setelah darah diambil untuk tes HIV bisa saja ybs. melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV, seperti melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan orang yang mengidap HIV/AIDS.

Kedua, (kartu) ’bebas AIDS’ bukan vaksin karena kartu itu tidak menjadi jaminan ybs. akan bebas AIDS selama hidupnya.

Ketiga, biar pun PSK yang datang dan ’bekerja’ di Merauke memegang kartu bebas AIDS, tidak jaminan mereka akan bebas AIDS selama bekerja di Merauke karena bisa saja mereka tertular HIV dari laki-laki dewasa penduduk lokal yang mengidap HIV/AIDS jika laki-laki tsb. tidak memakai kondom ketika sanggama.

Keempat, jika tes HIV dilakukan dengan reagent ELISA maka itu artinya hasil tes bisa valid kalau darah yang dites sudah terkontaminasi HIV minimal tiga bulan. Jika tertular HIV di bawah tiga bulan itu disebut masa jendela sehingga hasil tes HIV tidak akurat.

Kelima, hasil tes HIV dengan reagent ELISA dengan contoh darah pada masa jendela bisa positif palsu (di dalam darah tidak ada HIV tapi hasil tes reaktif) atau negatif palsu (di dalam darah ada HIV tapi hasil tes nonreaktif).

Disebutkan ” .... mereka (maksudnya PSK-pen.) diwajibkan memeriksakan diri secara teratur untuk mendeteksi penularan IMS dan HIV/AIDS”.

Andaikan pemeriksaan setiap bulan, maka rentang waktu dari tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus sampai pemeriksaan atau tes sudah banyak laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan mereka. Ada kemungkinan laki-laki menularkan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus kepada PSK dan sebaliknya laki-laki yang sanggama dengan mereka tanpa kondom berisiko pula terular HIV.

Di masyarakat laki-laki yang menularkan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus kepada PSK dan laki-laki yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Menurut Bupati Merauke, Romanus Mbaraka, kartu bebas AIDS tsb. untuk menekan penularan IMS dan HIV/AIDS di Merauke.

Cara yang konkret untuk menekan penularan IMS dan HIV/AIDS adalah menghindari perilaku berisiko yaitu tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, waria dan pelaku kawin-cerai.

Perda Merauke Nomor 5 Tahun 2003 tentang penanggulangan HIV/AIDS memang tidak memberikan langkah konkret (Lihat: “Menembak” PSK di Perda AIDS Kab Merauke, Papua - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/menembak-psk-di-perda-aids-kab-merauke.html). 

Data KPA Merauke menunjukan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS pada Maret 2012 sebanyak 1.433 dengan 365 kematian.

Angka ini tidak menggambarkan kasus ril di masyarakat karena di Merauke tidak ada langkah yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat.

Selama ada laki-laki dewasa penduduk Merauke yang melacur tanpa kondom di Merauke atau di luar Merauke, maka selama itu pula ada laki-laki yang berisiko tertular HIV. Laki-laki yang tertular HIV di Merauke atau di luar Merauke menjadi mata rantai penyebaran HIV di Merauke terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Jika Pemkab Merauke tidak mempunyai program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS akan bermuara pada ’ledakan AIDS’ ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***