10 November 2012

200-an PSK Pengidap HIV/AIDS di Merauke, Papua



Tanggapan Berita (11/11-2012) - Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke, terhitung tahun 1992 hingga September 2012, sebanyak 91 Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Merauke, terjangkit HIV/AIDS. Sedangkan mereka yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK) sebanyak 222 orang. Ini lead di berita “91 PNS di Merauke Terjangkit HIV/AIDS” (www.aldp-papua.com, 9/11-2012).

Angka-angka terkait dengan jumlah PNS dan PSK yang mengidap HIV/AIDS seakan-akan hanya merupakan nomor saja dalam berita ini.

Padahal, kalau wartawan yang menulis berita ini membawa angka-angka itu ke ranah sosial maka akan bermakna bagi masyarakat.

Pertama, 91 PNS yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu berisiko menularkan HIV kepada pasangannya, istri, pacar atau selingkuhan. Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan apakah pasangan dari 91 PNS itu sudah menjalani tes HIV. Jika belum, maka kalau pasangan PSN itu perempuan, maka ada risiko penularan secara vertikal dari perempuan yang hamil ke anak yang dikandungnya.

Kedua, 222 PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS bisa jadi mereka tertular dari laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang. Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK bisa saja sebaga seorang suami, lajang, duda, dll.

Ketiga, laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan 222 PSK itu berisiko tertular HIV jika hubungan seksual dilakukan tidak memakai kondom.

Keempat, jika setiap malam seorang PSK meladeni rata-rata tiga laki-laki, maka setiap malam ada 666 laki-laki di Merauke yang berisiko tertular HIV.

Kelima, 222 laki-laki yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat tanpa mereka sadari.

Keenam, ratusan laki-laki yang berisiko tertular HIV melalui hubungan seksual dengan 222 PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV jika mereka tertular.

Laki-laki lokal, asli atau pendatang, yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki lokal, asli atau pendatang, yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Disebutkan: Kasus HIV/AIDS itu, tidak hanya kepada mereka  yang berprofesi sebagai PSK, tetapi sudah menyebar ke kalangan umum, baik PNS, petani, nelayan, mahasiswa dan juga ibu rumah tangga.

Pernyataan ini menunjukkan wartawan yang menulis berita ini tidak memahami HIV/AIDS secara akurat.

Kasus HIV/AIDS pada PSK ditularkan oleh anggota masyarakat yaitu laki-laki dewasa yang merupakan bagian dari keluarga. Penyebaran HIV di kalangan umum (masyarakat) justru terjadi melalui laki-laki bukan karena PSK. Laki-laki yang mengidap HIV/AIDS menularkan HIV kepada orang lain tanpa dia sadari karena orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV/AIDS. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.

Disebutkan pula: Dengan demikian, semua orang harus lebih waspada dan membentengi diri dengan setia kepada pasangan.

Membentengi diri agar tidak tertular HIV melalui hubungan seksual adalah dengan tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke, dr. Stef Osok, jumlah penderita HIV/AIDS maupun IMS saat ini, mengalami penurunan sangat tinggi jika dibandingkan dengan beberapa tahun silam. Karena orang sudah mulai sadar dan selalu menggunakan kondom ketika berhubungan badan dengan lawan jenis.

Yang dimaksud Osok bukan insiden infeksi IMS dan HIV baru, tapi jumlah orang yang terdeteksi mengidap IMS dan HIV.

Pertanyaan untuk Osok adalah:

(1) Beberapa tahun silam bagaimana kasus-kasus IMS dan HIV/AIDS terdeteksi?

(2) Pada kalangan mana kasus IMS dan HIV/AIDS terjadi penurunan dibandingkan beberapa tahun silam?

(3) Beberapa tahun silam berapa orang yang tes IMS dan HIV pada kurun waktu tertentu?

(4) Sekarang berapa orang yang tes IMS dan HIV pada kurun waktu tertentu?

(5) Beberapa tahun silam bagaimana penjangkauan terhadap masyarakat terkait dengan HIV/AIDS?

(6) Sekarang bagaimana penjangkauan terhadap masyarakat terkait dengan HIV/AIDS?

Jawaban dari pertanyaan di atas akan memberikan gambaran ril terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di Merauke.

Menurut Osok, secara umum mereka yang terjangkit penyakit HIV/AIDS lantaran hubungan sex tidak menggunakan kondom.

Pertanyaannya: Apa program yang konkret untuk ‘memaksa’ laki-laki memakai kondom ketika melacur?

Masih menurut Osok: “Jika orang ingin bebas, maka yang harus dilakukan adalah setia kepada pasangan dan tidak melakukan seks bebas.”

Kalau ‘seks bebas’ yang dimaksud Osok adalah melacur, maka tidak ada kaitan langsung antara melacur dan penularan HIV karena penularan HIV juga bisa terjadi dalam ikatan pernikahan.

Penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) terjadi karena salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual).

Selama laki-laki ‘hidung belang’ di Merauke tidak mau memakai kondom ketika melacur, maka mereka akan berisiko menularkan IMS dan HIV atau dua-dua sekaligus kepada PSK atau sebaliknya mereka berisiko tertular IMS dan HIV atau dua-dua sekaligus dari PSK. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

09 November 2012

Perda AIDS Prov Sumatera Selatan



Media Watch (10/11-2012) – Kalau saja yang merancang Perda AIDS Prov Sumatera Selatan (Sumsel) membaca Perda AIDS Kota Palembang tentulah perda yang mereka hasilkan akan jauh lebih baik. Tapi, perda itu pun tidak berbeda dengan perda-perda lain yang hanya sebatas copy-paste.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Selatan (Sumsel) menjadi daerah yang ke-55 dari 64 daerah yang menerbitkan peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan AIDS. Melalui Perda No 15 Tahun 2011 tanggal 2 November 2011 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS Pemrov Sumsel menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Apakah perda itu menyentuh akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS?

Tidak!

Sama seperti perda-perda lain semua hanya menawarkan penanggulangan di awang-awang dengan ‘bahasa dewa’ yang sarat moral.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Sumsel yang dilaporkan sampai 30 Juni 2012 adalah 1.406 yang terdiri atas 1.084 HIV dan 322. Tapi, perlu dingat bahwa angka ini semu karena tidak menggambarkan kasus yang sebearnya di masyarakat. Penyebaran HIV/AIDS erat katanyanya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (1.406) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan laut (Lihat Gambar). 

Selain itu Perda AIDS Sumsel ini pun mengabaikan Perda AIDS Kota Palembang No 16 Tahun 2007. Kalau saja Pemprov Sumsel berkaca ke Perda Kota Palembang itu tentulah perda yang dihasilkan tidak sama jeleknya, bahkan lebih jelek (Lihat: Menyoal Kiprah Perda AIDS Kota Palembang* -  http://www.aidsindonesia.com/2012/11/menyoal-kiprah-perda-aids-kota-palembang.html).

Salah satu faktor risiko (mode of transmission) penularan HIV adalah melalui hubungan seksual terutama pada hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti dan dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan waria.

PSK yang dimaksud ada dua kategori yaitu: (1) PSK langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan (2) PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.).

Kegiatan hubungan seksual yang berisiko yang melibatkan PSK langsung terjadi di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Tapi, dalam perda dikesankan di Sumsel tidak ada tempat atau lokasi yang memungkin terjadi hubungan seksual dengan PSK. Ini merupakan penyangkalan terkait dengan kegiatan pelacuran di Sumsel.

Hal yang sama juga terjadi terhadap PSK tidak langsung. Apakah di Sumsel tidak ada PSK tidak langsung?

Hanya penyangkalan dan kemunafikan yang mengatakan bahwa di Sumsel tidak ada praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung.

Tidak ada penjelasan tentang PSK langsung dan PSK tidak lansung dalam perda ini. Yang ada adalah peyebutan ’populasi berperilaku resiko tinggi’, seperti yang ada di pasal 1 ayat 11: Populasi Berperilaku Resiko Tinggi adalah kelompok masyarakat yang mempunyai perilaku risiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS yaitu pekerja seks komersial, pelanggan penjaja seks, pasangan tetap penjaja seks, pengguna narkoba suntik, pasangan pengguna narkoba suntik, laki-laki seks dengan laki-laki, waria, narapidana, dan anak jalanan.

Perilaku yang berisiko tertular dan menularkan HIV bukan ada pada populasi atau kelompok, tapi orang per orang. Seorang PSK sekalipun bisa tidak berisiko kalau dia hanya meladeni laki-laki yang memakai kondom dan dengan pacar atau suaminya pun dia selalu memakai kondom.

Laki-laki ‘hidung belang’ yang sering melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung berisiko tinggi tertular HIV jika tidak memakai kondom ketika sanggama.

Celakanya, dalam perda ini sama sekali tidak ada pasal yang mengatur kewajiban memakai kondom. Bahkan, kata kondom pun tidak ada dalam perda ini.

Di pasal 1 ayat 29 disebutkan: Alat pencegah adalah sarung karet (lateks) yang pada penggunaannya dipasang pada alat kelamin laki-laki atau perempuan pada waktu melakukan hubungan seksual dengan maksud untuk mencegah penularan penyakit akibat hubungan seksual maupun pencegahan kehamilan.

’Alat pencegah’ merupakan kata yang konotatif. Kata yang denotatif adalah kondom. Pengabaian kondom menunjukkan moralitas semu yang mengaburkan makna.

Tidak ada ’penyakit akibat hubungan seksual’. Yang ada adalah infeksi menular seksual (IMS), yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, jika laki-laki tidak memakai kondom, yaitu: sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.

Penanggulangan HIV/AIDS yang ’ditawarkan’ dalam perda ini pun hanya di hilir, yaitu melalui kegiatan konseling dan tes HIV, pengobatan, serta perawatan dan dukungan. Artinya, Pemprov Sumsel menunggu penduduk tertular HIV dulu (hulu) baru ditangani (hilir).

Sangat masuk akal kalau Perda AIDS Sumsel ini tidak membumi karena cara-cara penularan yang disampaikan pun tidak komprhensif.

Lihat saja di pasal 6. Disebutkan: Penularan HIV dan AIDS dapat menular kepada orang lain dengan cara: (a) Hubungan seksual yang tidak aman dan/atau tidak terlindungi sesuai standar kesehatan, dan (b) Alat suntik yang tidak steril dan transfusi darah yang terkontaminasi HIV/AIDS dan IMS.

Cara penularan yang disebutkan perda ini jelas tidak konkret. Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah kalau salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki atau perempuan tidak memakai kondom ketika sanggama.

Apa yang dimaksud dnegan ’tidak terlindungi sesuai standar kesehatan’? Tidak jelas apa makna pernyataan itu. Kunci utama risiko penularan melalui hubungan seksual adalah salah satu harus mengidap HIV.

Tidak semua alat suntik yang tidak steril mengandung HIV, maka yang benar adalah: jarum suntik yang menyimpan darah yang mengandung HIV.

Amat masuk akal kalau pencegahan tidak komprehensif karena cara-cara penularan yang disampaikan dalam perda ini juga tidak akurat.

Lihat saja di bagian pencegahan. Pada pasal 9 ayat 1 huruf d disebutkan: Kegiatan pencegahan dilakukan secara komprehensif, integratif, partisiaptif, dan berkelanjutan, yang meliputi ‘melaksanakan penanggulangan IMS secara terpadu dan berkala di tempat-tempat perilaku berisiko tinggi’.

Kegiatan yang ditawarkan ini tidak membumi. Tidak jelas apa yang dimaksud dnegan ’tempat-tempat perilaku berisiko tinggi’. Secara implisit perda ini mengakui ada lokasi atau lokalisasi praktek pelacuran baik yang melibatkan PSK langsung maupun PSK tidak langsung.

Mobilitas PSK langsung dan PSK tidak langsung sangat tinggi sehingga penanggulangan IMS secara berkala tidak ada manfaatnya karena PSK silih berganti.

Selain itu perda ini mengabaikan laki-laki dewasa penduduk Sumsel yang menularkan IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus kepada PSK langsung dan PSK tidak langsung, serta laki-laki dewasa penduduk Sumsel yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus dari PSK langsung atau PSK tidak langsung (Lihat Gambar 1). 

 Di masyarakat Sumsel laki-laki yang menularkan IMS dan HIV serta laki-laki yang tertular IMS dan HIV menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Masih di pasal 9 ayat 1 huruf e disebutkan: Kegiatan pencegahan dilakukan secara komprehensif, integratif, partisiaptif, dan berkelanjutan, yang meliputi ’mendorong dan melaksanakan tes dan konseling HIV secara sukarela kepada populasi resiko tinggi’.

Ini benar-benar naif. Yang menularkan HIV kepada PSK langsung dan PSK tidak langsung adalah laki-laki dewasa. Mereka inilah yang menyebarkan HIV, tapi luput dari perhatian sehingga tidak masuk dalam perda ini.

Kalau saja perda ini dirancang dengan nalar tentulah penanggulangan yang ditawarkan adalah pencegahan yang konkret.

Langkah yang perlu dilakukan Pemprov Sumsel adalah interventi terhadap (perilaku) laki-laki dewasa (Lihat Gambar 2).

 Pertama, mewajibkan pemakaian kondom bagi laki-laki dewasa jika melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di Sumsel, di luar Sumsel atau di luar negeri.

Kedua, jika langka pertama tidak bisa dilakukan maka langkah berikutnya dalah mewajibkan laki-laki memakai kondom jika sanggama dengan istrinya kalau dia pernah melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di Sumsel, di luar Sumsel atau di luar negeri.

Ketiga, kalau langkah kedua tidak bisa diberlakukan maka langkah berikutnya adalah anjuran bagi perempuan hamil untuk menjalani tes HIV. Cara ini akan menyelematkan bayi dari risiko tertular HIV dan memutus mata rantai penyebaran HIV melalui istri dan suami.

Sama seperti perda-perda lain karena sarat dengan moral maka yang dikedepankan pun tidak konkret. Lihat saja peran serta masyarakat yang diharapkan dalam penanggulangan HIV/AIDS juga normatif. Bahkan, mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV.

Pada pasal 19 huruf disebutkan: Pemerintah Provinsi memberi ruang dan kesempatan yang sama bagi masyarakat dan dunia usaha untuk berperan dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara: (a) berperilaku hidup sehat, dan (b) Meningkatkan ketahanan hidup keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS.

Tidak ada kaitan langsung antara ’hidup sehat’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual justru bisa terjadi kalau dalam kondisi sehat. Risiko penularan terjadi karena salah satu mengidap HIV dan pasangan itu tidak memakai kondom ketika sanggama.

Penularan HIV pun tidak ada kaitannya secara langsung dengan ’ketahanan hidup keluarga’. Penularan HIV juga terjadi melalui upaya mempertahankan kehidupan keluarga, seperti melalui transfusi darah yang terkontaminasi HIV.

Padal 19 ayat a dan b ini mengesankan orang-orang yang tertular HIV adalah orang yang perilakunya tidak sehat dan tidak mempunyai ketahanan keluarga.

Ini menghujat, mengihana, mengejek, mencaci dan menghina istri-istri yang tertular HIV dari suaminya dan anak-anak yang tertular HIV dari ibunya serta orang-orang yang tertular HIV melalui transfusi darah, jarum suntik serta alat-alat kesehatan.

Bertolak dari penanggulagan semu dalam perda ini, maka penyebaran HIV di Sumsel akan terus terjadi. Pemprov Sumsel tinggal menunggu waktu untuk ’panen AIDS’ karena kasus-kasus HIV/AIDS yang ada akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Banyak Suami di Kab Manokwari, Papua Barat, Menularkan HIV/AIDS kepada Istrinya



Tanggapan Berita (10/11-2012) – “Ibu rumah tangga menjadi kelompok yang paling rentan terjangkit HIV/AIDS. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari, Papua Barat menyebut, hingga Mei 2012 lalu tercatat 172 orang yang berstatus sebagai ibu rumah tangga (IRT) di Manokwari positif mengidap HIV. Bahkan, 58 orang di antaranya sudah pada tahap AIDS.” Ini lead berita pada berita “Di Manokwari, Pengidap HIV/AIDS Dominan Ibu-ibu” (kompas.com, 9/11-2012).

Penyebutan ibu rumah tangga terkait dengan HIV/AIDS terkesan senasional, padahal yang faktual adalah 172 suami atau laki-laki menularkan HIV/AIDS kepada istri atau pasangannya.

Ibu rumah tangga bukan orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV sehingga mereka tidak rentan tertular HIV. Yang rentang adalah suami yang perilakunya berisiko, al. sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan.

Seperti yang dikemukakanoleh Kepala Dinas Kesehatan Manokwari, Drg. Hendri Sembiring: "Mereka yang terjangkit itu tertular dari suami mereka sendiri."

Sayang, wartawan tidak bertanya klepada Sembiring: Apakah suami-suami ibu rumah tangga tsb. sudah menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya sudah maka tidak ada persoalan karena suami-suami itu sudah dikonseling atau dibimbing agar tidak menularkan HIV kepada orang lain.

Tapi, kalua jawabannya belum, maka suami-suami itu akan menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Penyebaran HIV/AIDS terjadi tanpa disadari karena mereka tidak mengetahui kalau mereka sudah tertular HIV/AIDS.

Di Manokwari ada pengkaplingan PSK yaitu PSK asal P Jawa ditempatkan di lokasi pelacuran Maruni 55, kira-kira dua jam perjalanan dari kota Manokwari. Sedangkan PSK asal Manado buka ‘praktek’ di beberapa hotel di kota Manokwari (Lihat: ‘Praktek’ Pekerja Seks Komersial (PSK) di Manokwari, Papua Barat, ‘Dikapling’ - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/praktek-pekerja-seks-komersial-psk.html).  

Disebutkan bahwa jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS terbanyak kedua setelah ibu rumah tangga ditempati oleh pekerja seks komersial (PSK)  sebanyak 100. Lima di antaranya telah mengidap AIDS.

Kalau saja wartawan jeli maka data 100 PSK ini merupakan isu yang menarik kalau dibawa ke ranah sosial.

Pertama, ada kemungkinan 100 PSK itu tertular HIV dari laki-laki dewasa penduduk lokal yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK. Ini artinya ada 100 laki-laki yang mengidap HIV/AIDS. Dalam kehidupan sehari-hari 100 laki-laki ini bisa sebagai suami sehingga ada risiko penularan kepada istri atau pasangan mereka.

Kedua, ada kemungkinan 100 PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu sudah tertular di luar Manokwari.Jika ini yang terjadi maka laki-laki dewasa penduduk Manokwari yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom berisiko tertular HIV. Laki-laki yang tertular HIV dari PSK dalam kehidupan sehari-hari 100 laki-laki ini bisa sebagai suami sehingga ada risiko penularan kepada istri atau pasangan mereka.

Ketiga, jika setiap malam seorang PSK meladeni tiga laki-laki, maka setiap malam ada 300 laki-laki yang berisiko tertular HIV.

Tiga hal di atas luput dari perhatian wartawan karena lebih mengedepankan sensasi yaitu ibu rumah tangga.

Dikabarkan kasus HIV/AIDS juga terdeteksi pada 82 pegawai negeri sipil (PNS), 33 di antaranya sudah masuk masa AIDS. Ini adalah konsekuensi logis karena PSN mempunyai penghasilan yang tetap sehingga mereka bisa ‘membeli’ seks kepada PSK. Celaknya, mereka melacur di kota. Padahal, PSK yang ‘praktek’ di hotel di kota tidak terjangkau program sosialisasi kondom.

Menurut Hendri, penyebaran HIV/AIDS di Manokwari sebagian besar terjadi, karena perilaku seks tidak aman.

Kondisi itu merupakan gambaran umum di Indonesia. Laki-laki ‘hidung belang’ tidak mau memakai kondom dengan berbagai macam alasan.

Untuk itulah diperlukan langkah yang konkret berupa regulasi agar laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom ketika sanggama dengan PSK. Celakanya, Pemkab Manokwari tidak mempunyak program yang konkret untuk mencegah penularan HIV dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya dari PSK ke laki-laki.

Pemerintah Kabupaten Manokwari, sendiri sudah menerbitkan membuat Peraturan Daerah Perda No 6 Tahun 2006 tentang penanggulangan HIV/AIDS. Menurut Hendri: "Implementasi dari perda ini yang belum maksimal. Tapi kami terus berupaya."

Persoalannya bukan implementasi yang belum maksimal, tapi tidak ada satu pun pasal di perda itu yang memberikan langkah konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Kab. Manokwari, Prov Papua Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-kab-manokwari-prov-papua.html).  

Yang diperlukan di Manokwari adalah program yang konkret di lokasi pelacuran Maruni 55 yaitu ‘memaksa’ laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom jika sanggama dengan PSK. Tanpa program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Manokwari akan terus terjadi. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***