03 November 2012

Perda AIDS Kabupaten Indramayu, Jawa Barat



Media Watch (4/11-2012) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Indramayu, Prov Jawa Barat, menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No 08  Tahun 2009 tanggal 2 September 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Indramayu. Perda ini urutan ke-43 dari 58 perda sejenis yang ada di Indonesia dan uturan ke-3 dari lima perda yang ada di Jawa Barat.

Sama seperti perda-perda yang lain perda ini pun hanya sebatas copy-paste. Tidak ada pasal yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual pada laki-laki dewasa dengan pekerja seks komersial (PSK).

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Indramayu dilaporkan per Desember 2011 sebanyak 490 (www.indramayupost.com. 7/12-2011).

Bahkan, perancang perda ini tidak memperhatikan berita “6.300 Wanita Indramayu Jadi PSK di Pulau Batam. Mereka Merasa Menjadi Pahlawan Ekonomi Keluarga” (Harian “Pikiran Rakyat”, 11 November 2005). Akibatnya, tidak ada pasal yang menyentuh persoalan tsb.

Pemprov Riau dan Pemprov Kepulauan Riau memulangkan PSK yang terdeteksi HIV ke daerah asalnya. Nah, kalau fakta itu disimak oleh perancang perda tentulah ada pasal dalam perda yang realistis terkait  upaya penanganan perempuan asal Indramayu yang terdeteksi HIV di Riau dan Kepulauan Riau atau daerah lain ketika mereka akan dipulangkan ke kampung halamannya.

Jika seorang perempuan yang menjadi, maaf, PSK di Batam mempunyai suami maka jika perempuan itu tertular HIV di Batam dia pun akan menularkan HIV kepada suaminya. Karena hubungan seksual dilakukan dengan suami maka suami tidak memakai kondom sehingga ada risiko tertular HIV. Celakanya, ketika perempuan itu kembali ke Batam atau daerah lain si suami mencari pasangan seks lain atau menjadi pelanggan PSK. Di Karawang, Jabar, misalnya, suami TKW banyak yang menjadi pelanggan PSK.

Batam sendiri disebutkan sebagai ‘pintu masuk’ penyebaran HIV/AIDS ke seluruh Nusantara (Lihat: Batam bisa Jadi ”Pintu Masuk” Epidemi HIV/AIDS Nasional -  http://www.aidsindonesia.com/2012/08/batam-bisa-jadi-pintu-masuk-epidemi.html   dan PSK Mudik Lebaran: Ada yang Bawa AIDS sebagai Oleh-oleh - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/psk-mudik-lebaran-ada-yang-bawa-aids.html).  

Begitu pula dengan TKW yang bekerja di beberapa negara dengan prevalensi HIV/AIDS yang besar risiko tertular HIV pun tinggi karena ada di antara mereka yang diperkosa, dijadikan gundik atau istri simpanan. Tapi, lagi-lagi tidak ada pasal dalam perda itu yang menukik ke persoalan ini. Soalnya, di beberapa daerah sudah banyak TKW yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Ya, lagi-lagi perda ini pun tidak berbeda denga perda lain. Perda ini merupakan perda ke-42 dari 50 perda AIDS yang ada di Indonesia mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Perda-perda AIDS hanya copy-paste dari perda lain.

Melindungi masyarakat dari risiko tertular HIV adalah dengan memberikan informasi yang akurat tentang cara-cara mencegah penularan HIV. Tapi, dalam perda ini justru moral yang dijadikan alat untuk melindungi masyarakat dari risiko tertular HIV.

Lihat saja di pasal 4 ayat 1: “Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya HIV dan AIDS dengan cara: meningkatkan promosi perilaku hidup bersih dan sehat.”

Tidak ada kaitan lansung antara ‘perilaku hidup bersih dan sehat’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama (kondisi hubungan seksual).

Pasal ini justru mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap odha (orang dengan HIV/AIDS) karena dikesankan orang-orang yang tertular HIV karena perlikuanya tidak sehat dan tidak bersih.

Lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah mengidap HIV tidak menunjukkan gejala yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Tapi, di pasal 22 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS: (1) wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan upaya pencegahan, (2) dilarang mendonorkan darah, produk darah, cairan sperma, organ dan atau jaringan tubuhnya kepada orang lain.

Fakta menunjukkan orang-orang yang terdeteksi HIV melalui cara yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku sudah berjanji bahwa penularan HIV akan dihentikan mulai dari dirinya.

Salah satu cara penularan HIV adalah melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan orang yang sudah mengidap HIV. Persoalannya adalah orang-orang yang sudah mengidap HIV tidak bisa dikenali. Maka, melalukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, berisiko tertular HIV.

Maka, setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib memakai kondom, seperti diatur di pasal 25: “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko wajib melakukan upaya pencegahan.” Persoalannya adalah tidak ada mekanisme yang konkret untuk memantau pemakaian kondom pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko.

Terkait dengan (praktek) pelacuran di wilayah Kab Indramayu juga tidak muncul dalam perda ini. Ya, bisa saja pelacuran dianggap tidak ada di Kab Indramayu karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang kasat mata. Tapi, apakah ada jaminan di Kab Indramayu sama sekali tidak ada praktek pelacuran?

Kalau tidak ada jaminan maka perlu menjalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ‘hidung belang’ yang menjadi pelanggan PSK.

Di pasal 44 disebutkan: ”Pembinaan, pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diarahkan untuk: (1) meningkatkan  derajat kesehatan masyarakat sehingga mampu mencegah dan atau mengurangi penularan HIV dan AIDS.”

Mencegah penularan HIV tidak ada kaitannya dengan secara langsung dengan derajat kesehatan masyarakat. Bahkan, dengan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, maka kemampuan untuk melakukan hubungan seksual pun ikut pula meningkat.

Pada kondisi kemampuan seksual meningkat tentulah diperlukan penyaluran berupa hubungan seksual. Nah, kalau hubungan seksual dilakukan dengan berisiko maka ada risiko tertular HIV.

Untuk itulah diperlukan regulasi (peraturan) yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV, bukan sekedar mengedepankan moral sehingga pasal-pasal yang muncul hanya bersifat normatif. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

DKK Semarang Mendorong Stigma dan Diskriminasi terhadap Pengidap HIV/AIDS



* Praktek pelacuran di sebagian warung remang-remang dan tempat esek-esek di sepanjang jalur Pantura

Tanggapan Berita (4/11-2012) – “Kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang, Widoyono, mengatakan upaya pencegahan yang paling efektif adalah penggunaan kondom. Namun, yang menjadi masalah adalah kurangnya kesadaran para penyandang HIV sehingga mereka malah sengaja melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan pengaman.” Pernyataan ini ada dalam berita “Pencegahan Penularan HIV/AIDS di Keluarga Mendesak Dilakukan” di koran-jakarta.com (1/11-2012).

Pernyataan Widoyono ini tidak akurat dan mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Pertama, banyak orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak menyadari diriya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka. Akibatnya, mereka melakukan kegiatan yang bisa menularkan HIV, seperti hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom.

Kedua, orang-orang yang sudah terdeteksi HIV/AIDS melalui tes HIV yang baku tidak akan menularkan HIV kepada orang lain karena ketika hendak tes HIV mereka sudah berjanji akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.

Ketiga, kalau yang dimaksud Widoyono ‘penyandang HIV’ adalah pekerja seks komersial (PSK), maka kesalahan bukan pada PSK tapi laki-laki yang sanggama dengan mereka tanpa kondom. Ada laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK.

Dalam berita ada pernyataan: “Penanganan dan pencegahan penyebaran HIV/AIDS harus segera ditangani secara serius dan terfokus pada rawan transaksi seksual. Upaya preventif mendesak dilakukan karena para pengidap virus HIV/AIDS berpotensi besar menularkan penyakit ke keluarga.”

Yang perlu dilakukan adalah intervensi konkret di hulu , al. program untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Persoalannya adalah tidak ada pemerintah kota dan kabupaten di sepanjang jalur Pantura yang meregulasi pelacuran sehingga praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

 Di sepanjang jalan raya dan rel kereta api di Pantura terdapat titik-titik lokasi pelacuran mulai dari Bekasi sampai Banyuwangi. Tapi, praktek pelacuran tsb. tidak terkontrol sehingga program penanggulangan tidak bisa diterapkan secara efektif.

Itu semua terjadi karena pemerintah kota dan kabupaten di sepanjang jalur Pantura membusungkan dada dan mengataka: Di daerah kami tidak ada pelacuran!

Mereka benar, tapi yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran. Sedangkan praktek pelacuran terjadi di banyak tempat. Selain itu di wilayah Kab Cirebon pelacuran diganti dengan esek-esek sehingga pejabat, tokoh masyarakat dan tokoh agama di sana memang benar karena tidak ada pelacuran yang ada adalah esek-esek.

Celakanya, peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS di beberapa daerah di jalur Pantura sama sekali tidak memberikan langkah  konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS. Seperti Perda AIDS Prov Jawa Tengah (Lihat: Perda AIDS Provinsi Jawa Tengah Mengabaikan (Lokalisasi) Pelacuran - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/perda-aids-provinsi-jawa-tengah.html).

Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), Kemal N Siregar, bupati dan wali kota perlu meningkatkan upaya preventif (pencegahan) untuk mengantisipasi penyebaran HIV/AIDS, terutama ke keluarganya sendiri.

Sejak awal epidemi HIV/AIDS sudah ada dalam keluarga. PSK, waria, gay, dll. yang mengidap HIV/AIDS adalah bagian dari keluarga.

Yang menjadi persoalan besar adalah laki-laki dewasa, dalam hal ini suami, yang menjadi pelanggan PSK atau berganti-ganti pasangan, seperti kawin-cerai.

Maka, kuncinya adalah pada laki-laki dewasa. Untuk itu diperlukan program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa, terutama melalui hubungan seksual dengan PSK.

Tapi, hal itu mustahil karena di sepanjang jalur Pantura tidak ada pelacuran yang dilokalisir dengan regulasi sehingga program penanggulangan HIV/AIDS, al. pemakaian kondom pada laki-laki ketika sanggama dengan PSK pun tidak bisa dijalankan.

Kasus HIV/AIDS sudah terdeteksi di semua kabupaten dan kota di sepanjang jalur Pantura. Laki-laki yang banyak menjadi pelanggan PSK di jalur itu adalah awak angkutan umum yang menjadi mata rantai penyebaran HIV, al. kepada istrinya atau PSK di daerah lain.

Selama pelacuran di Pantura tidak diregulasi, maka selama itu pula penyebaran HIV dari laki-laki ke PSK dan dari PSK ke laki-laki akan terus terjadi. Kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

02 November 2012

Dinkes Kota Balikpapan, Kaltim, Kesulitan Mencegah Penularan HIV/AIDS



Tanggapan Berita (3/11-2012) – ”Kepala Dinas Kesehatan Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, drg Dyah Muryani, menyebutkan pihaknya kesulitan mencegah penularan virus HIV/AIDS secara teknis di Balikpapan. Karena, penderitanya tidak hanya laki-laki.” Ini lead di berita “Balikpapan Kesulitan Cegah Penularan HIV/AIDS” (republika.co.id, 2/11-2012).

Mengapa kesulitan mencegah penularan HIV kalau pengidapnya tidak hanya laki-laki?

Inilah jawaban drg Dyah: "Karena, alat pencegah yang murah itu hanya kondom yang dipakai laki-laki. Sementara, penderitanya tidak hanya laki-laki dan tidak bisa kita awasi aktivitas seksualnya."

Pertanyaan untuk drg Dyah: Siapa perempuan yang Anda maksud?

Kalau yang Anda maksud “penderitanya tidak hanya laki-laki” adalah pekerja seks komersial (PSK), maka amatlah naif mengatakan bahwa sulit untuk mencegah penularan HIV hanya karena pengidap HIV/AIDS juga ada di kalangan PSK.

Pertama, ada kemungkinan yang menularkan HIV kepada “penderitanya tidak hanya laki-laki” (baca: PSK) justru laki-laki penduduk Kota Balikpapan dan pendatang yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom. Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK itu dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Maka, tidaklah mengherankan kelau kemudian ada ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Kedua, ada kemungkinan “penderitanya tidak hanya laki-laki” (baca: PSK) yang ‘beroperasi’ di Kota Balikpapan sudah mengidap HIV/AIDS ketika mulai ‘praktek’ di Kota Balikpapan. Maka, laki-laki dewasa penduduk Kota Balikpapan yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK berisiko tertular HIV. Laki-laki yang tertular HIV dari PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Maka, tidaklah mengherankan kelau kemudian ada ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Dikabarkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Balikpapan dilaporkan 575. ”Ada empat bayi yang dilahirkan sudah terinfeksi. Ada pula tiga jabang bayi dari tiga orang ibu yang sedang hamil.” (tempo.co, 1/11-2012).

Dalam berita tidak jelas siapa “penderitanya tidak hanya laki-laki” tsb.? Nah, kalau yang dimaksud adalah PSK maka apakah Pemkot Balikpapan meregulasi kegiatan pelacuran?

Yang menjadi kunci adalah laki-laki. Biar pun “penderitanya tidak hanya laki-laki”, tapi selama laki-laki selalu memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS “penderitanya tidak hanya laki-laki”, maka risiko penularan HIV bisa ditekan sampai nol persen.

Maka, tidak ada alasan untuk mengatakan “kesulitan mencegah penularan virus HIV/AIDS secara teknis”. Kesulitan muncul adalah karena praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu mulai di lokasi pelacuran, rumah, kos-kosan, penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel berbintang.

Disebutkan: “Seks bebas memang masih menjadi penyebab utama penularan virus HIV ….”
Apa yang dimaksud dengan seks bebas?

Kalau yang dimaksud dengan ‘seks bebas’ dalam berita ini adalah pelacuran, maka pernyataan tsb. tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi bukan karena sifat hubungan seksual (zina, melacur, jajan, seks bebas, selingkuh, seks anal, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama).

Ada lagi pernyataan: “Kemudian ibu yang menurunkan HIV kepada bayinya melalui air susu.”

Pernyataan ini tidak jelas apakah kesimpulan wartawan atau kutipan dari narasumber. Yang jelas pernyataan tsb. ngawur karena HIV bukan diturunkan tapi ditularkan. Penularan HIV secara vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa terjadi saat dalam kandungan, pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Penularan dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa dilakukan sampai dengan risiko nol persen. Celakanya, tidak ada langkah yang konkret dan sistematis di Kota Balikpapan dan Prov Kaltim untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Bahkan, dalam Perda AIDS Prov Kaltim pun tidak ada pasal yang menukik ke upaya penanggulangan HIV/AIDS secara konkret (Lihat: Perda AIDS Prov Kalimantan Timur - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-prov-kalimantan-timur.html).  

Selama praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat di Kota Balikpapan, maka selama itu pula penyebaran HIV, terutama melalui laki-laki dewasa, akan terus terjadi. Soalnya, tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks.

Akibatnya, insiden infeksi HIV baru terus terjadi pada laki-laki dewasa yang kelak bermuara pada ibu-ibu rumah tangga dan berakhir pada bayi yang mereka lahirkan. Semua akan berhenti pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Perda AIDS Prov Kalimantan Timur



Media Watch (3/11-2012) – Pemeritnah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) menelurkan Peraturan Daerah (Perda) No 5 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual. Peda ini  merupakan perda ke-21 dari 57 perda serupa di seluruh Nusantara.

Pembuatan perda-perda AIDS bertolak dari keberhasilan Thailand menunrunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui ’program 100 persen kondom’. Lalu, bagaimana sepak terjang Perda AIDS Kaltim dalam ranah penanggulangan epidemi HIV di Kaltim?

“Program 100 persen kondom” ditujukan kepada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks di lokalisasi dan rumah-rumah bordir di Negeri Gajah Putih itu. Celakanya, program itu tidak bisa diterapkan di Indonesia karena beberapa faktor.

Perilaku Berisiko

Pertama, di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir sehingga mekanisme pengawasan tidak bisa dilakukan. Thailand mengawasi program itu dengan cara survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap pekerja seks. Kalau ada pekerja seks yang mengidap IMS maka itu membuktikan ada pekerja seks yang melayani laki-laki ’hidung belang’ tanpa kondom. Germo atau mucikari pengelola lokalisasi atau rumah bordir akan diberi peringatan sampai pencabutan izin.

Pada pasal 5 ayat 3 (c) disebutkan: Dalam rangka penanggulangan penyebaran HIV/AIDS di Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Provinsi dan masyarakat Kalimantan Timur berkewajiban untuk: Melaksanakan penanggulangan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) secara terpadu dan berkala di tempat-tempat pelaku berisiko tinggi, termasuk di dalamnya keharusan menggunakan kondom. Karena di Kaltim tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir maka penanggulangan yang ditawarkan ini pun tidak akan jelan karena tidak ada pengawasan.

Kedua, di Indonesia terjadi gelombang penolakan terhadap kondom karena selama ini kondom dikaitkan dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, kondom dianggap sebagai alat untuk mendorong orang melakukan hubungan seks di luar nikah.

Ketiga, pemahaman masyarakat terhadap cara-cara pencegahan dengan kondom sangat rendah sehingga banyak orang yang tidak mau memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko yaitu (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks.

Tiga alasan itu merupakan ganjalan terhadap ’program 100 persen kondom’ pada hubungan seks berisiko. Selain itu program ini merupakan ekor dari serangkaian program penanggulangan HIV/AIDS yang komprehensif di Thailand. Maka, program kondom yang ditawarkan di Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.

Materi dalam perda ini pun tetap dibalut dengan moral. Seperti pada Pasal 4 disebutkan: Penularan HIV/AIDS dan IMS dapat menular kepada orang lain dengan cara: a. Hubungan seksual tidak aman dan/atau tidak terlindungi sesuai standar kesehatan. Tidak ada penjelasan tentang pengertian ’terlindungi sesuai standar kesehatan’. Pasal ini mengambang karena tidak jelas maksudnya. Lagi pula ada salah kaprah di sini. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah jika dilakukan tanpa kondom dengan orang yang sudah tertular HIV (HIV-positif).

Pada pasal 1 ayat 7 dan 8 disebutkan ’kelompok rawan’ dan ’tempat rawan’. Ini tidak akurat karena yang rawan terkait dengan penularan HIV melalui hubungan seks bukan kelompok atau tempat tapi perilaku orang per orang. Seorang pekerja seks pun bisa perilakunya tidak rawan kalau dia hanya mau meladeni laki-laki yang memakai kondom.

Sasaran dan tujuan penanggulangan dalam perda disebutkan pada pasal 2 ditujukan kepada kelompok rawan dan tempat rawan. Ini tidak pas karena yang berisiko tertular HIV bukan kelompok rawan, seperti pekerja seks atau pelanggannya saja, tapi juga setiap orang yang melakukan hubungan seks berisiko di dalam atau di luar nikah di mana saja di muka bumi ini. Bahkan, pada pasal 3 disebutkan penanggulangan HIV/AIDS untuk seluruh masyarakat dengan perhatian khusus kepada populasi masyarakat yang rentan dan berisiko tinggi untuk penularan HIV. Ini pun tidak tepat sasaran karena banyak laki-laki yang hanya sesekali melakukan hubungan seks berisiko. Selain itu kegiatan kawin-cerai yang merupakan perilaku berisiko tidak tersentuh.

Pada pasal 5 ayat 3 d disebutkan: Mendorong dan melaksanakan test dan konseling HIV/AIDS secara sukarela terutama bagi kelompok rawan. Lagi-lagi ini tidak pas karena banyak orang yang tidak merasa perilakunya rawan atau berisiko tertular HIV. Soalnya, selama ini penularan HIV dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama sehingga masyarakat tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan yang akurat. Penularan HIV disebutkan karena zina, melacur, jajan, seks bebas, selingkuh, dan homoseksual.

Mata Rantai

Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi karena kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seks (zina, melacur, jajan, seks bebas, selingkuh, dan homoseksual). Di beberapa tempat di Indonesia dikenal ’kawin kontrak’ dan nikah mut’ah sehingga hubungan sah tapi tetap berisiko tertular HIV karena perempuan yang menjadi ’istri’ adalah orang yang sering berganti-ganti pasangan.

Salah satu cara untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk adalah dengan mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV. Soalnya, kasus HIV yang terdeteksi hanya sebagaian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat. Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, yang muncul ke permukaan hanya puncak dari sebuah gunung es yang terdapat di bawah permukaan air laut.

Untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang ’tersembunyi’ di masyarakat perlu dilakukan skrining yaitu tes HIV dengan konseling dan persetujuan (skrining rutin, survailans sentinel, dan survai khusus) seperti yang dijalankan di beberapa negara. Malaysia, misalnya, menjalankan skrining rutin terhadap pasien IMS (penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.), perempuan hamil, pengguna narkoba suntikan, polisi, narapidana, darah donor, pasien TBC.

Kalau saja perda-perda AIDS di Indonesia mengedepankan fakta medis tentulah ada pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Selanjutnya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ada pula pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang sudah pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV.

Selama penanggulangan HIV/AIDS dibalut dengan moral, maka selama itu pula upaya penanggulangan tidak akan berhasil karena tidak menyentuh akar persoalan. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***