27 Oktober 2012

PMI Bukan Tempat Tes HIV



Tanya-Jawab AIDS No  010/Oktober 2012

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, fax, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, e-mail aidsindonesia@gmail.com dan SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Saya, seorang perempuan, sedang masa jendela tujuh minggu. Saya ingin donor darah karena ingin tes HIV. Sekarang saya sakit-sakitan, al. batuk yang tidak sembuh-sembuh, flu, badan panas, dll. Saya takut. Waktu masa jendela saya satu bulan saya tes, hasilnya negatif. (1) Apakah saya harus menunggu sampai tiga bulan baru tes HIV? (2) Apakah dengan kondisi saya yang sakit-sakitan bisa lolos jadi donor darah? (3) Jika saya tetap donor darah, apa yang akan terjadi pada saya?

Ny “XX”, Kota T, P Jawa (via SMS, 28/10-2012)

Jawab: Yang dilakukan di unit-unit transfusi darah (UTD) PMI (Palang Merah Indonesia) bukan tes HIV terhadap donor darah, tapi skirining atau uji saring terhadap darah donor. Artinya, yang dites HIV adalah darah donor. Darah ini tanpa identitas sehingga tidak diketahui pemiliknya.

Skirining darah donor di PMI untuk mendeteksi darah yang tercemar HIV/AIDS agar tidak ditransfusikan.

 
Tes dengan rapid test serta ELISA memang menghadapi masalah yang disebut masa jendela yaitu rentang waktu sejak tertular sampai tiga bulan. Pada rentang waktu ini antibody HIV belum ada di dalam darah sehingga tidak bisa dideteksi oleh rapid test dan ELISA karena tes ini bukan mencari virus (HIV), tapi antibody HIV.

Jika tes HIV dengan rapid test atau ELISA pada masa jendela, maka hasilnya bisa positif palsu (hasil tes reaktif tapi darah tidak mengandung HIV) atau negatif palsu (hasil tes nonreaktif tapi darah sudah mengadung HIV).

Karena Anda sudah melakukan perilaku berisiko tertular HIV dan ada pula gejala penyakit yang terkait HIV/AIDS, maka Anda tidak harus menunggu tiga bulan. Silakan konsultasi ke klinik VCT (tempat tes  HIV gratis secara sukarela dengan konselig dan kerahasian) di rumah sakit umum di kota Anda. 

(2) dan (3) Petugas di UTD-PMI akan mengecek kondisi kesehatan Anda. Jika lolos, maka ada risiko karena Anda pada masa jendela sehingga skirining di PMI bisa negatif palsu. Yang jadi persoalan bukan pada diri Anda tapi orang yang akan menerima darah Anda jika lolos.

Jika tidak ada klinik VCT di kota Anda, silakan kabari agar dicari klinik VCT yang terdekat dengan tempat tinggal Anda. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Discalaimer. Tulisan ini bersifat umum yang dimaksudkan sebagai informasi tentang HIV/AIDS pada tataran realitas sosial. Terkait dengan aspek medis tentang HIV/AIDS silakan menghubungi dinas kesehatan, puskesmas, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) atau Klinik VCT di rumah sakit di tempat Anda.




Pengidap HIV/AIDS di Probolinggu Dirujuk ke Malang

Tanggapan Berita (28/10-2012) – “240 Pasien HIV/AIDS Dirujuk ke RSSA Malang”. Ini judul berita di Okezone (1/10-2012).

Judul ini fantastis dan sensasional. Berita tsb. tentang pengidap HIV/AIDS di Kab Probolinggo, Jatim, yang dikabarkan harus dirujuk ke Malang.

Pertama, tidak semua orang yang terdeteksi HIV/AIDS otomatis harus berobat.

Kedua, dikesankan 240 pengidap HIV/AIDS itu harus mendapakan perawatan khusus.

Ketiga, puskesmas dan rumah sakit bisa menangani penyakit-penyakit yang terkait dengan infeksi HIV, seperti diare, jamur, dan TBC.

Dalam berita disebutkan: “Mereka dirujuk karena tidak ada rumah sakit yang memiliki fasilitas pengobatan khusus untuk pasien positif HIV/AIDS di Probolinggo.”

Lagi-lagi pernyataan ini mengesankan orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS harus menjalani penanganan khusus. Pernyataan ini tidak pas karena puskesmas dan rumah sakit mempunyai fasilitas pengobatan untuk orang-orang yang terdeteksi HIV/AIDS. Penanganan yang intensif dibutuhkan untuk pasien-pasien dengan semua jenis penyakit pada tahap tertentu.

Disebutkan lagi: “Untuk gelombang pertama diberangkatkan hari ini sebanyak 10 pasien. Mereka akan menjalani pemeriksaan dan pengobatan secara rutin.”

Pernyataan ini pun tidak akurat karena tidak semua orang yang sudah terdeteksi HIV/AIDS otomatis harus ‘menjalani pemeriksaan dan pengobatan secara rutin’.

Pemberian obat antiretroviral (ARV) kepada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS pun tidak otomatis ketika mereka terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena harus menjalani tes CD4 dulu. Jika CD4 sudah di bawah 350 baru diberikan obat ARV.

Menurut Badrut Taman, Manager Kasus Penanganan HIV/AIDS LSM Prolink Community, Kabupaten Probolinggo: "Mayoritas dari mereka tertular dari orangtuanya dan juga dari jarum suntik."

Jika disimak pernyataan Badrut di atas tentulah sebagian besar dari 240 pengidap HIV/AIDS di Probolinggo itu bayi atau anak-anak.

Pertanyaan untuk Badrut yang tidak ditanya oleh wartawan adalah: Apakah orang tua, terutama ayah, bayi dan anak-anak tsb. sudah menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya TIDAK, maka penyebaran HIV/AIDS melalui ayah bayi atau anak-anak yang terdeteksi HIV/AIDS itu akan terus terjadi, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Celaknya, dalam berita tidak dijelaskan apa penyakit, disebut sebagai infeksi oportunistik, 240 orang yang terdeteksi HIV/AIDS tsb. sehingga mereka harus dirujuk ke Malang.

Karena tidak ada informasi tentang penyakit 240 orang yang mengidap HIV/AIDS sampai mereka dirujuk ke Malang mengesanan orang-orang yang tertular HIV harus mendapatkan perawatan khusus. Ini yang mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang mengidap HIV/AIDS. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

26 Oktober 2012

HIV/AIDS dalam Muzakarah Ulama di Bandung 1995



Identifikasi AIDS pada kalangan laki-laki gay di Los Angeles, AS (1981) berdampak pada pandangan terhadap HIV/AIDS dengan kaca mata moral. Tapi, ketika di beberapa negara masyarakat mulai melihat epidemi HIV/AIDS dari aspek medis, maka insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar.

Sebaliknya, di negara-negara yang tetap menempatkan moral sebagai ‘alat’ memandang HIV/AIDS kasus-kasus infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa terus meroket. Indonesia, misalnya, merupakan salah satu dari tiga negera di Asia setelah Cina dan India dengan pertumbuhan kasus HIV terbesar.

Celakanya, sejak awal epidemi HIV/AIDS Indonesia memakai sudut pandang moral dalam menanggapi AIDS. Tidak tanggung-tanggung menteri kesehatan yang notabene berpijak pada fakta medis justru mengumandangkan moral ketika membicarakan AIDS.

Kalangan agamawan pun angkat bicara pula. Seperti halnya kalangan ulama di Indonesia. Bulan November 1995 di Bandung, Jawa Barat, dilangsungkan Muzakarah Nasional Ulama tentang Penanggulangan Penularan HIV/AIDS (kerjasama MUI, Departemen Agama RI, dan UNICEF).

Muzakarah itu sebagai bagian dari peran ulama dalam penanggulnagan AIDS. Tapi, butir-butir yang dihasilkan sama sekali tidak memberikan cara-cara pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang konkret.

Muzakarah ini dilangsungkan karena terpanggil untuk berperan dalam penanggulangan AIDS. Indonesia dikesankan berhadapan dengan ancamanAIDS sehingga dituntut untuk memberikan langkah pencegahan.

Disebutkan langkah ini diambil setelah memperhatikan “Hasil-hasil penelitian dari dalam dan luar negeri mengenai dampak epidemik virus HIV/AIDS yang melanda kehidupan umat manusia sangat menghawatirkan.”

Disebutkan pula: “Bahwa penyebaran HIV/AIDS sudah merupakan bahaya umum (al-Dharar al-’Am) yang dapat mengancam siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, umur dan profesi.” Ini tidak akurat karena tidak semua orang berisiko tertular HIV. Orang yang berisiko tertular HIV hanya laki-laki atau perempuan yang perilaku seksnya berisiko, yaitu sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan di dalam atau di luar nikah.

Kesepakatan pada muzakarah disikapi dengan tadzkirah. (1) “Masyarakat, khususnya umat Islam Indonesia dengan keimanan yang diyakininya dituntut secara sungguh untuk mampu menghindari perbuatan-perbuatan tercela yang memungkinkan berjangkitnya virus HIV/AIDS atas dirinya, keluarga dan masyarakat karena deteksi penyebarannya yang masih amat sulit.”

Karena HIV/AIDS dikaitkan dengan ‘perbuatan tercela’ maka hal ini akan mendorong masyarakat memberikan cap buruk (stigma) dan perlakuan berbeda (diskriminasi) terhadap orang-orang yang tertular HIV. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara ‘perbuatan tercela’ dengan penularan HIV karena HIV juga menular dengan cara yang tidak tercela, seperti melalui hubungan seksual di dalam nikah, transfusi darah, jarum suntik, air susu ibu (ASI), dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui denganASI.

Pada angka 3 disebutkan: “Masyarakat, khususnya umat Islam Indonesia dengan keimanan yang diyakininya dituntut untuk memahami dengan seksama ancaman dan bahaya HIV/AIDS, utamanya dengan memperkokoh ketahanan keluarga sakinah.”

Ini juga mendorong masyarakat melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena mengesankan Odha tertular HIV karena tidak mempunyai ketahanan keluarga yang sakinah. Babagaimana dengan yang tertular melalui transfusi darah, jarum suntik dan suaminya?

Cara yang disampaikan untuk mencapai tujuan yaitu perilaku yang bertanggungjawab sesuai dnegan agama Islam agar dapat mencegah penyebaran HIV serta mengurangi dampak negatifnya. Caranya yaitu dengan menyebarluaskan pengetahuan/informasi tentang HIV/AIDS dapat dilakukan dengan melakukan Komunikasi, Informasi, Edukasi, dan Motivasi (KIEM). Pertanyaannya adalah: Apakah materi HIV/AIDS pada KIEM disampaikan secara akurat?

Mencegah penyebaran HIV dalam muzakarah ini juga tidak konkret. Misalnya, cara yang ditawarkan justru untuk yang sudah positif tertular HIV. Ini artinya menunggu orang tertular dan terdeteksi HIV dulu baru diajak mencegah penyebaran HIV. Padahal, sebelum terdeteksi orang-orang yang sudah tertular HIV sudah menyebarkan HIV tanpa mereka sadari.

Di angka 5 pada petunjuk pencegahan disebutkan: “Bagi setiap pengidap HIV/AIDS dan penderita AIDS wajib memberitahukan tentang kesehatannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan jaminan kesehatannya.” Orang-orang yang terdeteksi HIV sudah menjalani konseling (bimbingan) sebelum dan sesudah tes sehingga mereka sudah mengetahui dan mematuhi hak dan kewajibannya jika terdeteksi positif atau negatif.

Yang menjadi persoalan besar adalah orang-orang yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Selain itu orang-orang yang terdeteksi HIV tanpa melalui tes HIV yang sesuadi dengan standar juga tidak mengetahui hak dan kewajibannya. Bahkan, mereka cenderung menjadi korban sehingga ada rasa dendam pada diri mereka.

Untuk yang potensial tertular HIV disebutkan pada poin 1: “Wajib memeriksakan kesehatan dirinya untuk mengetahui status positif/negatif.” Sayang tidak dijelaskan siapa (saja) yang potensial tertular HIV. Di beberapa daerah ada peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan AIDS yang di dalamnya ada aturan untuk memeriksakan kesehatan terkait dengan HIV/AIDS. Hasil tes HIV akan akurat jika dilakukan setelah tertular tiga bulan karena pada rentang waktu sejak tertular sampai tiga bulan, disebut masa jendela, tubuh belum memprodukdi antibody HIV. Soalnya, tes HIV dengan ELISA mencari antibody HIV di dala darah sehigga kalau darah diperiksa masa jendela maka hasilnya bisa negatif palsu (HIV sudah ada di daerah tapi tidak terdeteksi) atau positif palsu (HIV tidak ada di darah tapi terdeteksi).

Lagi pula kalau ada kewajiban periksa kesehatan setiap tiga bulan maka pada rentang waktu itu sudah terjadi penyebaran HIV tanpa disadari oleh orang-orang yang mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Seorang pekerja seks komersial (PSK), misalnya, dari mulai tertular sampai terdeteksi HIV, katakanlah tiga bulan, maka pada rentang waktu itu sudah ada 180 laki-laki (1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan) yang berisiko tertular HIV.

Pada angka 3 disebutkan: “Bagi pasangan yang akan nikah wajib memeriksakan status kesehatannya untuk mengetahui status positif/negatifnya.” Ini juga tidak banyak gunanya karena kalau mereka menjalani tes tentu akan lebih buruk karena ada kemungkinan hasil tes HIV-negatif palsu. Lagi pula tes HIV bukan vaksin. Mereka menjalani tes sebelum menikah, tapi bisa saja selama perkawainan ada di antara pasangan itu yang melakukan perilaku berisiko sehingga tertular HIV.

Sedangkan untuk masyarakat umum disebutkan: “ …. perlu meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan menuruti perintah dan menajuhi larangan-Nya, khususnya tentang larangan perzinaan dan hal-hal yang dapat mendorong kepadanya.” Tidak ada kaitan langsung antara zina dengan penularan HIV karena di dalam pernikahan pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Belakangan ini ada upaya untuk ‘menghalalkan zina’ melalui nikah mut’ah. Ada yang hitungan jam, hari, dst., seperti yang terjadi di kawasan Puncak, Jawa Barat. Tapi, biar pun menikah risiko penularan HIV tetap ada jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV atau perilaku seksnya berisiko.

Di bagian rekomendasi disebutkan: Komisi Fatwa diharapkan dapat membicarakan dan mengeluarkan fatwa perihal langkah-langkah pencegahan penyebaran HIV/AIDS, khususnya tentang beberapa hal.

Misalnya, tentang eutanasia bagi penderita AIDS. Ini sangat naif karena biar pun, maaf, semua penderita HIV/AIDS dieutanasia, dikarantina atau diasingkan penyebaran HIV tidak akan berhenti karena di masyarakat masih banyak orang yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Jadi, eutanasia tidak perlu diperbincangkan dari aspek hak asasi manusia (HAM) yang justru membuka debat kusir (baru) karena ada alasan empiris.

Sedangkan rekomendasi berupa “Sterilisasi bagi suami isteri yang positif mengidap ataupun menderita HIV/AIDS” juga tidak berguna karena HIV ada di cairan sperma dan cairan vagina bukan di sperma atau indung telur.

Di angka 6 rekomendasi disebutkan: “Kepada pengidap/penderita diberikan tuntunan rohani (bertobat) agar mereka yakin bahwa tobatnya diterima.” Ini tidak adil karena yang harus bertobat adalah orang yang menularkan HIV. Begitu juga dengan yang tertular melalui transfusi darah dan jarum suntik di instalasi kesehatan: Mengapa yang tertular yang harus bertobab? Bukankah penularan itu terjadi karena kelalaian petugas?

Di Malaysia, misalnya, seorang perempuan guru mengaji Alquran tertular HIV melalui transfusi darah (tahun 2000) di sebuah rumah sakit pemerintah. Perempuan itu menuntut ganti rugi dan pengobatan seumur hidup. Maka, untuk menghindari kejadian serupa pemerintah Malaysia menerapkan standar ISO yang dikeluarkan oleh International Organization for Standardization (ISO) ntuk tranfusi darah yaitu standar ISO/ICE 17025:1999 (general requirements for the competence of testing and calibration laboratories)

Faktor risiko (mode of transmission) HIV yang paling potensial menyebarkan HIV adalah hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Dalam muzakarah ini tidak ada jalan keluar untuk mengatasi penyebaran melalui faktor risiko hubungan seksual. Maka, tidaklah mengherankan kalau kasus infeksi HIV baru, khususnya pada kalangan laki-laki dewasa, terus terjadi.

Muzakarah ini sudah berusia 16 tahun. Sudah saatnya direvisi agar ada cara-cara pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV yang komprehensif. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Risiko Tertular HIV Jika Ngesek dengan Ayam



Tanya-Jawab AIDS No 009 /Oktober 2012

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, fax, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, e-mail aidsindonesia@gmail.com dan SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: (1) Jika saya sudah terlanjut pernah melakukan hal yang berisiko tertular HIV, sebaiknya tes  ke mana? (2) Waktu kecil, ketika di SD, saya punya kebiasaan aneh yaitu melakukan hubungan seksual dengan binatang yaitu ayam. Apakah ada risiko HIV? Tapi, sudah berhenti melakukan hal itu. Saya sudah sadar dan tobat.

Mr ”XZ” (via SMS, 25/9-12)

Jawab: Risiko tertular HIV, al. melalui hubungan hubungan seksual, yaitu:

(a). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di daerah sendiri atau di luar daerah.

(b)  Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di daerah sendiri atau di luar daerah.

(c). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di daerah sendiri atau di luar daerah.

(d). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom terkait dengan homoseksual, yaitu: gay (seks anal) di daerah sendiri atau di luar daerah.

(e) Laki-laki dewasa heteroseks (orientasi seks yang tertarik pada lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom terkait dengan laki-laki, dikenal sebagai LSL (lelaki suka seks lelaki) melalui seks anal di daerah sendiri atau di luar daerah.

Nah, dari cerita Anda ternyata Anda tidak melakukan perilaku berisiko melalui hubungan seksual dengan manusia.

Yang Anda lakukan adalah hubungan seksual dengan binatang yang dikenal sebagai Bestially sebagai salah satu bentuk parafilia (Lihat: Menyalurkan Dorongan Hasrat Seksual “Dengan Cara yang Lain” - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/menyalurkan-dorongan-hasrat-seksual.html).  

HIV adalah virus yang hidup di sel darah putih manusia. Belum ada kasus penularan HIV melalui binatang.

Tentang penyakit lain yang bisa menular melalui hubungan seksual dengan ayam, silakan Anda konsultasi dengan dokter hewan atau dokter spesialis kulit dan kelamin di kota Anda. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Discalaimer. Tulisan ini bersifat umum yang dimaksudkan sebagai informasi tentang HIV/AIDS pada tataran realitas sosial. Terkait dengan aspek medis tentang HIV/AIDS silakan menghubungi dinas kesehatan, puskesmas, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) atau Klinik VCT di rumah sakit di tempat Anda.