20 Oktober 2012

Rancangan Perda AIDS Kab Sintang, Kalbar, Tidak Menyentuh Akar Persoalan


Media Watch (21/10-2012) – Pemprov Kalimantan Barat (Kalbar) sudah menelurkan peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan  HIV/AIDS yaitu Perda Prov Kalbar No 2 tanggal 15 Juni 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Kalimantan Barat. Perda AIDS Kalbar ini ada di urutan ke-39 dari 59 perda sejenis yang sudah ada di Indonesia.

Sekarang Pemkab Sintang merancang perda AIDS pula. Padahal, perda AIDS ’induk’ yaitu Perda AIDS Kalbar saja tidak bisa diandalkan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Kalbar karena tidak ada pasal yang konkret sebagai program untuk menanggulangi HIV/AIDS.

Pertanyaan untuk Pemkab Sintang: Apakah rancangan perda AIDS yang dibuat sudah mengacu dan belajar dari Perda AIDS Kalbar?

Jika draft raperda AIDS Sintang disimak,maka jelas pembuat rancangan itu sama sekali tidak menyimak Perda AIDS Kalbar karena dalam draft sama sekali tidak ada langkah yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV.

Kalau dirunut ada satu hal (c) dari lima masalah pokok terkait dengan penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyrakat yang perlu diintervensi melalui program yang konkret dalam perda, yaitu:

(a). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Kab Sintang, di luar wilayah Kab Sintang dan di luar negeri.

(b)  Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di wilayah Kab Sintang, di luar wilayah Kab Sintang dan di luar negeri.

(c). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kab Sintang.

(d). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom terkait dengan homseksual, yaitu: gay (seks anal) di wilayah Kab Sintang, di luar wilayah Kab Sintang dan di luar negeri.

(e) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom terkait dengan LSL (lelaki suka seks lelaki) melalui seks anal di wilayah Kab Sintang, di luar wilayah Kab Sintang dan di luar negeri.

Dalam Perda AIDS Kalbar pun tidak ada langkah konkret berupa program sebagai intervensi terhadap point (c) (Lihat: Menakar Kerja Perda AIDS Provinsi Kalimantan Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/menakar-kerja-perda-aids-provinsi.html).  

Selama point (c) tidak diintervensi, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa akan terus terjadi.

Ada fakta yang selalu diabaikan oleh banyak kalangan, yaitu: yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK adalah laki-laki dewasa yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Kemudian ada pula laki-laki dewasa yang tertular HIV dari PSK, laki-laki ini pun dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami.

Maka, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah (Lihat Gambar 1).

Coba simak Bagian Kedua tentang Pencegahan HIV dan AIDS di pasal 15 ayat b disebutkan: “Program pencegahan HIV dan AIDS bertujuan untuk melindungi setiap orang agar tidak tertular HIV dan tidak menularkan kepada orang lain, program ini meliputi program pemakaian kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko”

Di pasal 1 ayat 16 disebutkan: perilaku berisiko adalah ” .... perilaku seseorang ketika salah satu pasangan yang mempunyai risiko menulari pasangan lainnya (walaupun dengan pasangan tetapnya) dan ketika melakukan aktivitas seksual, mereka tidak menggunakan kondom.”

Bertolak dari batasan pengertian perilaku biriko, maka jika dikaitkan dengan pasal 15 ayat b sama sekali tidak menyentuh akar persoalan karena tidak ada intervensi yang konkret (Lihat Gambar 2).

Pertama, perilaku berisiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual adalah kondisi (a), (b), (c), (d) dan (e).

Kedua, bagaimana Pemkab Sintang bisa mengawasi kondisi-kondisi (a), (b), (c), (d) dan (e)?

Ketiga, dalam hubungan seksual pada ikatan pernikahan yang sah yang terjadi adalah suami tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS sehingga mereka tidak memakai kondom.

Pada pasal 15 ayat f disebutkan: Program pencegahan HIV dan AIDS bertujuan untuk melindungi setiap orang agar tidak tertular HIV dan tidak menularkan kepada orang lain, program ini meliputi Pelayanan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PMTCT/Prevention Mother To Child Transmission)

Untuk itulah diperlukan program konkret berupa pencegahan HIV secara vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Tapi, apakah program dimaksud ada dalam draft raperda AIDS Kab Sintang?

Tentu saja tidak ada!

Persoalan berikutnya adalah: Apakah program mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil ada dalam draft raperda AIDS Kab Sintang?

Tentu saja tidak ada!

Maka, program pencegahan penularan HIV secara vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya pun tidak bisa dijalankan di Kab Sintang.

Di pasal 15 ayat a disebutkan: “Program pencegahan HIV dan AIDS bertujuan untuk melindungi setiap orang agar tidak tertular HIV dan tidak menularkan kepada orang lain, program ini meliputi BCC/Behavior Change Comunication atau Komunikasi Perubahan Prilaku (KPP) meliputi Penjangkauan dan Pendampingan terhadap kelompok-kelompok berisiko tertular dan rentan.”

Pertanyaannya adalah:

(1) Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar perilaku laki-laki ’hidung belang’ mau memakai kondom jika melacur?

(2) Apakah ada jaminan melalui program tsb. akan membuat semua laki-laki ’hidung belang’ mau memakai kondom jika melacur?

(3) Apakah program tsb. bisa menjangkau perilaku (a), (b), (d), dan (e)?

(4) Apakah ada jaminan orang-orang yang dijangkau program ini selama berlangsung tidak akan melacur tanpa kondom?

(5) Bagaimana memantau keberhasilan program ini secara konkret?

Program yang ditawarkan ini akan efektif jika sekaligus dijalankan program intervensi seperti di Gambar 2. Jika tidak ada program berupa intervensi yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi.

Kasus kumulatif HIV/AIDS sebanyak  102 yang terdeteksi sejak tahun 2006 sampai Maret 2012 tentulah tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (102) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar). 

Maka, yang perlu ada dalam perda adalah mekanisme yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat.

Apakah dalam raperda ada program dimaksud?

Lagi-lagi tidak ada!

Di pasal 30 disebutkan: “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib melakukan upaya pencegahan yang efektif dengan cara menggunakan kondom.”

Jika dikaitkan dengan penjelasan seperti di pasal 1 ayat 16, maka pertanyaannya adalah: Bagaimana mekanisme untuk memantau penggunaan kondom pada perilaku (a), (b), (d) dan (e) di atas?

Pasal 42 ayat 4 disebutkan:     Peran serta dan kepedulian masyarakat, kelompok/komunitas dan LSM sebagaimana dimaksud ayat (1), (2) dengan cara:

Berperilaku hidup sehat;

Meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS;

Apa, sih, kaitan langsung antara ‘berperilaku hidup sehat’ dan ‘ketahanan keluarga’ dengan penularan HIV/AIDS?

Pasal ini hanya menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang mengidap HIV/AIDS karena: perilaku mereka dikesankan tidak sehat dan tidak ada ketahahan keluarga mereka.

Jika perda kelak tidak mempunyai pasal-pasal berupa program yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS, maka perda itu pun kelak tidak lebih dai copy-paste dan hanya menjadi dokumen pengisi arsip. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Penanggulangan HIV/AIDS di Perda AIDS Kota Medan yang Tidak Membumi



Tanggapan Berita (19/10-2012) – “ …. Wali Kota Medan harus menyikapinya  melalui penerbitan Perwal, sebab dalam Perda tersebut menerapkan berbagai sanksi bagi penderita. Salah satunya  adalah bagi pihak yang terkena suspect HIV/AIDS dilarang melakukan hubungan intim secara lansung, tanpa menggunakan alat pengaman.” Ini pernyataan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Medan Salman Alfarisi terkait dengan Perda AIDS Kota Medan (DPRD Pertanyakan Keseriusan Pemko Aplikasikan Perda HIV/AIDS, www.hariansumutpos.com, 26/9-2012).

Dari 56 perda yang ada tidak ada satu perda pun yang memberikan langkah yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. Yang dimaksud Salman yaitu “terkena suspect HIV/AIDS dilarang melakukan hubungan intim secara lansung, tanpa menggunakan alat pengaman” menggambarkan pemahaman perancang perda itu terhadap HIV/AIDS tidak komprehensif.

Pertama, lebih dari 90 persen penularan HIV terjadi tanpa disadari. Ini terjadi karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV sehingga penularan pun terjadi tanpa disadari.

Kedua, tidak ada ‘suspect HIV/AIDS’ karena status HIV seseorang harus dibuktikan melalui tes HIV.

Ketiga, orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV dengan standar prosedur tes HIV yang baku sudah berjanji akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.

Dalam Perda AIDS Kota Medan tak satu pun pasal yang konkret terkait dengan cara-cara mencegah penularan HV dan menanggulangi penyebaran HIV (Lihat: Perda AIDS Kota Medan - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-kota-medan.html).  

Yang menjadi persoalan besar pada epidemi HIV/AIDS adalah penyebaran HIV yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dewasa yang perilaku seksnya berisiko, yaitu:

(a). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Kota Medan, di luar Kota Medan atau di luar negeri.

(b)  Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di Kota Medan, di luar Kota Medan atau di luar negeri.

(c). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di Kota Medan, di luar Kota Medan atau di luar negeri.

(d). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom terkait dengan homseksual, yaitu: gay (seks anal) dan LSL (lelaki suka seks lelaki) juga seks anal di Kota Medan, di luar Kota Medan atau di luar negeri.

(e) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom terkait dengan LSL (lelaki suka seks lelaki) melalui seks anal di Kota Medan, di luar Kota Medan atau di luar negeri.

Pertanyaan untuk Salman: Apakah Anda bisa menjamin tidak ada laki-laki  dan perempuan dewasa penduduk Kota Medan yang melakukan (a), (b), (c), (d) dan (e)?

Kalau jawaban Anda BISA, maka di Kota Medan tidak ada penyebaran HIV/AIDS dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual, dalam hal ini heteroseksual.

Tapi, kalau jawaban Anda TIDAK BISA, maka persoalan besar yang dihadapi Pemko Medan adalah penyebaran HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual.

Pertanyaan selanjutnya: Apakah dalam Perda AIDS Kota Medan ada langkah konkret berupa program yang konkret sebagai intervensi untuk perilaku (a), (b), (c), (d) dan (e)?

Tentu saja tidak ada!

Lihat saja pasal-pasal di perda semua hanya bersifat normatif tanpa program yang konkret.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Medan yang terdeteksi sejak Januari 2006 sampai Mei 2012 tercatat 3.175. Tapi, perlu diingat bahwa kasus ini hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (3.175) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).

Menurut Salman, sampai saat yang kerap menjadi korban virus HIV/AIDS ini adalah ibu dan anak, karena tanpa kontrol sipenderita tetap saja melakukan hubungan intim dengan pasangannya tanpa mengunakan alat pengaman (alat kontrasepsi).

Yang perlu dikontrol bukan penularan dari suami ke istri, tapi perilaku suami, dalam hal ini laki-laki dewasa, ketika melacur. Artinya ada program yang konkret untuk mecegah penularan HIV dari laki-laki dewasa ke pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung serta penularan dari PSK langsung dan PSK tidak langsung ke laki-laki dewasa.

Selain itu tidak semua alat kontrasepsi (alat untuk mencegah kehamilan) bisa mencegah penularan HIV melalui hubungan seksuall di dalam dan di luar nikah. Yang bisa mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, adalah kondom.

Pertanyaan berikutnya: Apakah dalam Perda AIDS Kota Medan ada program yang konkret untuk mencegah penyebaran HIV di kalangan PSK?

Tentu saja tidak ada!

Salah satu langkah konkret yang bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa adalah program ‘wajib kondom 100 persen’ pada laki-laki yang melacur dengan PSK langsung.

Celakanya, di Kota Medan tidak ada lokalisasi pelacuran. Maka, program penanggulangan HIV/AIDS melalui hubungan seksual dengan PSK tidak bisa dijalankan.

Pemko Medan boleh-boleh saja menepuk dada dengan mengatakan bahwa di Kota Medan tidak ada pelacuran dengan bukti tidak ada lokalisasi pelacuran.

Tapi, apakah Walikota Medan bisa menjamin di Kota Medan tidak ada praktek pelacuran?

Kalau jawabannya BISA, maka lagi-lagi tidak ada penyebaran HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka Pemko Medan berhadapan dengan penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, secara horizontal di masyarakat.

“Ini sangat memprihatinkan kita, apalagi ibu rumah tangga dan bayi juga termasuk yang terinfeksi.” Ini pernyataan Wali Kota dalam pidato tertulisnya yang dibacakan Asisten Administrasi Kemasyarakatan Drs Darussalam Pohan pada sebuah acara di Kota Medan.

Lagi-lagi pertanyaan:

(1) Apakah dalam Perda AIDS Kota Medan ada langkah yang konkret untuk mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya?

(2) Apakah dalam Perda AIDS Kota Medan ada langkah yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS ada prempuan hamil?

Tentu saja jawaban untuk pertanyaan (1) dan (2) lagi-lagi: Tidak ada!

Karena dalam perda tidak ada pasal yang menawarkan program yang konkret, maka adalah hal yang mustahil dibuat peraturan walikota.

Kalau saja perancang Perda AIDS Kota Medan belajar dari pengalaman Pemkab Serdang Bedagai dan Pemkot Tanjungbalai yang sudah duluan mempunyai perda AIDS tentulah Perda AIDS Kota Medan akan lebih bagus. Tapi, yang terjadi justru copy-paste. Ya, tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

19 Oktober 2012

Perda AIDS Kota Medan



Media Watch (19/10-2012) - Pemerintah Kota (Pemko) Medan, Prov Sumatera Utara (Sumut), menelurkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No 1 Tahun 2012 tanggal 5 Januari 2012 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS. Di wilayah Prov Sumut perda ini adalah yang ketiga di Sumut setelah Perda AIDS Kab Serdang Bedagai dan Perda AIDS Kota Tanjungbalai. Sedangkan di Indonesia Perda AIDS Kota Medan ada pada urutan yang ke-56 dari 58 perda sejenis.

Apakah perda ini memuat pasal-pasal yang konkret?

Sama sekali tidak ada. Soalnya, sama seperti perda-perda lain perda ini pun hanyalah copy-paste dari perda-perda yang sudah ada.

Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Medan sejak Januari 2006 sampai Oktober 2012 sebanyak 3.277. Dari jumlah ini 413 kasus atau 12,73 persen tedeteksi pada ibu rumah tangga. Sedangkan faktor risiko 63,56 persen heteroseksual. Tapi, perlu diingat bahwa angka yang dilaporkan ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (3.277) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul di atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar). 

Celakanya, dalam perda ini tidak ada cara yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat. Selama ini kasus yang dilaporkan sebagian besar terdeteksi di rumah sakit. Pasien dengan penyakit yang terkait HIV/AIDS, seperti diare yang terus-menerus, TBC, dll. dianjurkan tes HIV setelah dilakukan konseling untuk mengetahui perilaku pasien tersebut. Ada juga yang terdeteksi bertolak dari anak yang dirawat di rumah sakit. Penyakit pada anak-anak itu mendorong dokter menganjurkan tes HIV. Ketika anak terdeteksi HIV/AIDS, maka ibu dan ayah anak itu pun dianjurkan untuk tes HIV.

Kalau saja perda ini dirancang dengan pijakan fakta medis, maka pasal-pasal yang ada adalah cara-cara penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS yang konkret. Tapi, karena perda ini, seperti juga perda-perda lain, dirancang dengan semangat moralis maka pasal-pasal yang ada pun hanya normatif.

Lihat saja pasal 12 ayat 1: ”Pencegahan merupakan upaya terpadu memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS di masyarakat terutama populasi rentan dan risiko tinggi.”

Caranya? Ya, simak saja di pasal 12 ayat 3 yaitu upaya pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah antara lain: (a) pengawasan terhadap tempat hiburan malam, hotel, taman kota, rumah-rumah kos dan lokasi lainnya untuk tidak menjadi tempat prostitusi terselubung; (b) penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala kepada pemilik dan karyawan hotel, tempat-tempat hiburan, rumah-rumah kos dan tempat lainnya yang dianggap berpotensi rentan dan berisiko tinggi; (c) penyuluhan kepada pengusaha warung internet untuk memblokir situs porno.

Ayat (a) menunjukkan pemahaman yang rendah terhadap risiko seseorang tertular dan menularkan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (prostitusi terselubung), tapi karena kondisi ketika terjadi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom). Fakta menunjukkan ada ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV. Ibu-ibu rumah tangga itu tertular HIV dari suaminya. Di Kota Medan sudah terdeteksi 43 bayi yang mengidap HIV. Berarti ada 43 ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya.

Biar pun tidak ada prostitusi di Kota Medan, bisa saja terjadi laki-laki dewasa penduduk Kota Medan tertular HIV di luar Kota Medan atau di luar negeri. Mereka tertular karena melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Laki-laki penduduk Kota Medan yang tertular HIV kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV di Kota Medan (Lihat Gambar).

Ayat (b) merupakan tindakan gegabah karena sudah menyamaratakan perilaku seksual banyak orang yaitu pemilik hotel, pemilik rumah kos, dll. Apakah pemilik hotel, bioskop dan rumah kos juga melakukan perilaku beirisko di tempat usahanya?

Tentang ’pemeriksaan kesehatan secara berkala’ juga tidak tepat karena untuk mendeteksi HIV hanya bisa dilakukan dengan tes HIV. Akurasi tes HIV juga terkait dengan masa jendela yaitu rentang waktu sejak tertular HIV sampai tiga bulan. Jika ’pemeriksaan kesehatan secara berkala’ juga termasuk tes HIV, maka kalau yang diperiksa tertular HIV di bawah tiga bulan hasil tes tidak akurat. Hasil tes bisa negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV), atau positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes reaktif).

Pasal pencegahan dalam perda ini kian mengambang jika disimak ayat (c). Tidak ada kaitan lansung antara situs porno dengan penularan HIV.

Pijakan moral pada perda ini kian kental di pasal 13 ayat 1 huruf d: ”Upaya pencegahan HIV dan AIDS pada setiap orang dilakukan melalui memeriksakan diri bagi calon pasangan suami istri.”

Seperti dijelaskan di atas tes HIV erat kaitannya denga masa jendela. Kalau calon pengantin itu tes HIV pada masa jendela, maka hasilnya bisa negatif palsu atau positif palsu.

Kalau hasil tes negatif palsu maka bencana akan terjadi pada pasangan suami istri itu karena mereka tidak menyadari HIV sudah ada di antara mereka.

Sebaliknya, bagi yang hasil tes positif palsu maka pernikahan bisa batal. Padahal, tes itu tidak akurat.

Selain itu tes HIV bukan vaksin. Artinya, biar pun tes HIV pasangan itu HIV-negatif itu tidak jaminan selamanya mereka akan HIV-negatif karena bisa saja terjadi di antara mereka melakukan perilaku berisiko setelah menikah. Jika pasangan itu kelak terdeteksi mengidap HIV, maka hasil tes sebelum menikah akan menjadi ’senjata’ bagi mereka untuk saling menyalahkan.

HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga pencegahan dapat dilakukan dengan cara-cara yang konkret. Tapi, karena perda ini bermuatan moral maka pencegahan pun berupa mitos (anggapan yang salah).

Lihat saja di pasal 15 ayat 2 huruf a: ”Dalam rangka pencegahan, setiap orang wajib tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah.” Pasal ini jelas normatif karena secara biologis hubungan seksual bisa dilakukan kapan saja. Lagi pula jika dikaitkan dengan penularan HIV, maka tidak ada kaitan lansung antara penularan HIV dan ’hubungan seksual sebelum menikah’. Penularan HIV bisa terjadi di dalam dan di luar nikah bagi yang belum atau sudah menikah.

Di pasal 15 ayat 2 huruf b: ”Dalam rangka pencegahan, setiap orang wajib hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah.” Lagi-lagi pasal ini menunjukkan perancang perda ini tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena KONDISI HUBUNGAN SEKSUAL (salah satu mengidap HIV dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama) bukan karena SIFAT HUBUNGAN SEKSUAL (dengan pasangan yang tidak sah).

Lagi pula belakangan ini muncul kecenderungan ’nikah’ antara laki-laki ’hidung belang’ dengan PSK atau perempuan yang berganti-ganti. Di kawasan Puncak, Jawa Barat, terjadi ’kawin kontrak’ (dengan rentang waktu yang disepakati) antara perempuan lokal dan pendatang dengan ’wisatawan’ dari Timur Tengah. Secara hukum ’nikah’ itu sah karena sudah memenuhi rukun nikah, tapi risiko penularan HIV tetap bisa terjadi karena perempuan yang ’dinikahi’ adalah orang yang perilakunya berisiko tertular HIV karena sering berganti-ganti pasangan.

Di pasal 15 ayat 2 huruf c: ” Dalam rangka pencegahan, setiap orang wajib menggunakan alat pencegah bagi pasangan yang sah dengan HIV positif.” Persoalannya adalah banyak suami yang tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV sehingga tidak memakai kondom ketika sanggama dengan istrinya. Buktinya, sudah ada istri yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS atau bayi yang dilahirkan dengan HIV/AIDS. Istri tertular HIV dari suaminya, dan ketika istri hamil terjadi pula penularan kepada bayi yang dikandungnya.

Karena pemahaman terhadap HIV/AIDS berpijak pada moral, maka langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS pun tidak lagi konkret.

Lihat saja pada bagian peran serta masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS di pasal 27. Disebutkan:

”Peran masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan melalui peningkatan ketahanan gama dan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS serta tidak bersikap diskriminatif terhadap ODHA.”

”Peran masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan melalui pengembangan perilaku pola hidup sehat dan bertanggung jawab dalam keluarga.”

Cara yang ditawarkan perda ini sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penularan HIV. Tidak ada kaitan langsung antara ’ketahanan agama dan keluarga’ dengan penularan HIV. Pasal ini menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena dikesankan mereka tertular HIV karena tidak mempunyai ketahanan agama dan keluarga.

Apakah istri-istri yang tertular HIV dari suaminya terjadi karena mereka tidak mempunyai ketahanan agama dan keluarga? Begitu pula dengan orang-orang yang tertular HIV melalui transfusi darah, alat-alat kesehatan dan jarum suntik.

Begitu pula dengan ’perilaku pola hidup sehat’ sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Justru orang-orang yang tidak sehat (tidak bisa melakukan hubungan seksual) bisa terhindar dari penularan HIV melalui hubungan seksual.

Biar pun informasi yang akurat tentang HIV/AIDS sudah banjir, tapi tetap saja ada yang mengabaikan HIV/AIDS sebagai fakta medis. Seperti pada perda ini. Lebih dari 90 persen kasus HIV/AIDS terdeteksi pada orang-orang yang tidak menyadari dirinya tertular HIV.

Tapi, dalam perda ini ada larangan hubungan seksual bagi orang yang sudah mengetahui dirinya tertular HIV. Di pasal 31 ayat 1 huruf a disebutkan: ”Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang melakukan hubungan seksual dengan orang lain kecuali dengan pasangannya yang telah diberitahu tentang keadaan infeksi HIV dan AIDS dan secara sukarela menerima risiko tersebut.”

Malarang seseorang melakukan hubungan seksual tentulah perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Terkait dengan pengidap HIV/AIDS, maka ada cara yang dapat dilakukan agar tidak terjadi penularan yaitu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Setelah menyibak pasal-pasal dalam perda ini, maka perda ini tidak akan bisa menanggulangi penyebaran HIV, terutama mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan PSK, karena tidak ada pasal yang menawarkan cara-cara mencegah HIV melalui perilaku berisiko. 

Kalau saja yang merancang perda ini mau mempelajari perda yang sudah ada yaitu Perda AIDS Kab Serdang Bedagai dan Perda AIDS Kota Tanjungbalai tentulah perda ini tidak hanya sekedar copy-paste (Lihat: http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-kab-serdang-bedagai-sumut.html dan http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-kota-tanjungbalai-sumut.html).

Perda AIDS Kab Serdang Bedagai dan Perda AIDS Kota Tanjungbalai pun sama sekali tidak menawarkan cara-cara yang konkret dalam menanggulangi HIV/AIDS.

Hal yang menjadi persoalan besar adalah: Apakah Pemko Medan, DPRD Medan, MUI Medan, tokoh masyarakat, tokoh agama, wartawan, LSM, dll. bisa menjamin tidak akan ada laki-laki dewasa penduduk Kota Medan yang akan melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di Kota Medan, di luar Kota Medan atau di luar negeri?

Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada persoalan penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka ada persoalan besar terkait dengan penyebaran HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, di Kota Medan.

Celakanya, perda ini tidak menawarkan cara-cara yang konkret untuk mencegah agar laki-laki dewasa tidak tertular HIV melalui perilaku berisiko. Ya, Pemko Medan tinggal menunggu waktu saja untuk ’memanen’ AIDS karena penduduk yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk, tertuama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***