13 Oktober 2012

‘Seks Menyimpang’ Penyumbang HIV/AIDS di Kota Gorontalo




Tanggapan Berita (14/10-2012) – “ …. selain homoseks, perilaku seks menyimpang seperti biseksual turut menyumbangkan korban penderita HIV dan AIDS, tidak terkecuali di Gorontalo.” Ini pernyataan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo, dr Yana Suleman dalam berita "Pelaku Biseksual Berisiko Terkena HIV/AIDS" (metrotvnews.com, 14/10-2012).


Sebagai seorang pejabat di KPA tentulah tidak pantas menyampaikan pernyataan ‘perilaku seks menyimpang’ sebagai bagian dari faktor pendorong HIV/AIDS.

Risiko penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, pranikah, seks menyimpang, zina, melacur, homoseksual, biseksual, jajan, selingkuh, seks anal, dll.) tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondon setiap kali hubungan seksual).

Maka, risiko tertular HIV erat kaitannya dengan perilaku seksual yang berisiko atau tidak aman, yaitu dilakukan tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung (‘pelajar’, ABG, ‘mahsiswi’, ‘cewek SPG’, pemijat, cewek kafe, dll.)_serta pelaku kawin-cerai.

Lagi pula kalau menyimpang tidak akan pernah terjadi hubungan seksual (Lihat gambar).

Apakah ‘seks menyimpang’ hanya biseksual?

Apakah perilaku berisiko lain, seperti melacur, selingkuh, ‘jajan’, kawin-cerai,dll. tidak termasuk ‘seks menyimapng’?

Disebutkan lagi oleh dr Yana: “Pelaku biseksual atau orang yang tertarik sesama jenis secara seksual pada laki-laki dan perempuan sekaligus, berpotensi besar tertular penyakit HIV/AIDS.”

Potensi menularkan dan tertular HIV bukan karena biseksual (sifat hubungan seksual), tapi karena kondisi hubungan seksual. Risiko terjadi kalau salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom. Pernyataan itu merupakan mitos (anggapan yang salah) sehingga mengaburkan cara-cara penularan yang konkret.

Dikabarkan: "Dari 52 kasus HIV dan AIDS di Gorontalo pada tahun 2012, tercatat ada penderita yang tertular penyakit ini dari perilaku biseksual."

Penularan bukan karena perilaku biseksual, tapi karena dilakukan dengan yang sudah mengidap HIV/AIDS dan yang tertular itu tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual sebagai pelaku biseksual.

Disebutkan pula: Selain itu, ibu rumah tangga juga berpotensi besar tertular penyakit hilangnya kekebalan tubuh tersebut.

Kalau saja wartawan memakai perspektif gender, maka pernyataannya adalah: suami-suami yang perilakunya berisiko juga berpotensi menularkan HIV kepada istrinya.

Terkait pencegahan penyakit itu, dr Yana mengimbau masyarakat untuk menghindari konsumsi narkoba, melakukan seks aman, setia pada pasangan dan yang terpenting, adalah meningkatkan keimanan pada Tuhan.

Pertanyaan untuk dr Yana:

1. Apa alat ukur, takar dan timbang keimanan kepada Tuhan?

2. Bagaimana ukuran keimanan kepada Tuhan yang bisa mecegah penularan HIV?

3. Siapa yang diberikan oleh Tuhan mandat untuk mengukur keimanan seseorang?

Lagi-lagi HIV/AIDS sebagai fakta medis dibawa ke ranah moral sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).

Yang menjadi persoalan besar adalah KPA Kota Gorontalo tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa, terutama melalui hubungan seksual dengan PSK.

Selama KPA Gorontalo tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS, maka penyebaran HIV di Kota Gorontalo akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

12 Oktober 2012

Kematian Balita Terkait HIV/AIDS di Banda Aceh

Tanggapan Berita (13/10-2012) - Dari hasil pemeriksaan, balita SR terinfeksi HIV karena tertular dari sang ibu. "Sementara untuk ayahnya negatif." Ini berita tentang kematian balita SR di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA), Banda Aceh, Aceh, karena diare yang terkait dengan HIV/AIDS (Balita Terinfeksi HIV di Aceh Meninggal Dunia, kompas.com, 11/10-2012).

SR tertular dari ibunya secara vertikal, tapi dalam berita kompas.com sama sekali tidak ada penjelasan tentang ayah SR yang tidak mengidap HIV/AIDS.

Di beritasore.com disebutkan: Sementara ibu dari balita tersebut tercatat sebagai pekerja di luar negeri.

Pertanyannya adalah:

1. Apakah sebelum berangkat ke luar negeri ibu balita tsb. menjalani tes HIV? Kalau jawabannya tidak, maka bisa saja ibu SR tertular HIV di Aceh atau di luar Aceh.

2. Kapan ibu RS menikah dengan ayahnya? Kalau SR adalah anak dari pernikahan ibu dan ayahnya, maka hal ini merupakan fakta baru karena hubungan seksual antara ibu SR dengan ayahnya yang dilakukan tanpa kondom ternyata tidak menular ke ayahnya.

Wartawan dan narasumber sama sekali mengabaikan dua pertanyaan di atas sehingga berita yang muncul pun penuh dengan rentetan pertanyaan.

Dikabarkan RSUZA sudah pernah merawat empat balita yang positif terinfeksi HIV. Data ini pun tidak dikembangkan wartawan. Padahal, dengan empat balita yang terdeteksi HIV/AIDS sudah ada minimal delapan orang yaitu empat perempuan (istri) dan empat laki-laki (suami) yang mengidap HIV/AIDS.

Kalau wartawan memakai perspektif dalam menulis berita tsb., maka yang dikembangkan adalah pertanyaan: Apakah ayah dan ibu empat balita tsb. sudah menjalani tes HIV? Jawaban dari pertanyaan ini akan membawa wartawan mengembangkan data terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di ranah masyarakat sebagai realitas sosial.

Wakil Direktur RSUZA bidang pelayanan, dr Mohd Andalas, meminta para orang tua baik ayah maupun ibu untuk sama-sama melakukan pemeriksaan dini untuk mengetahui apakah ada gejala yang mengarah pada HIV/AIDS atau tidak untuk dilakukan pencegahan.

Lagi-lagi pernyataan ini membingungkan karena tidak semua orang atau pasangan suami-istri berisiko tertular HIV/AIDS. Kalau saja wartawan bertanya: siapa atau pasangan yang bagaimana yang harus melakukan pemeriksaan dini, maka pernyataan itu tidak akan muncul.

Masih menurut Mohd Andalas, yang terpenting adalah bagaimana masyarakat mau dan sadar datang ke bagian layanan pengobatan dan konseling HIV RSUZA untuk memeriksakan diri mereka.

Lagi-lagi pernyataan ini menyamaratakan perilaku semua orang. Yang berisiko bukan (semua) masyarakat karena risiko tertular HIV/AIDS erat kaitannya dengan perilaku orang per orang. Tidak semua orang perilakunya berisiko tertular HIV/AIDS.

Untuk itulah wartawan bertanya kepada Mohd Andalas: siapa saja yang harus sadar dan mendatangi layanan konseling AIDS?

Ada empat media yang memberitakan kematian balita SR terkait dengan HIV/AIDS yaitu kompas.com, beritasore.com, okezone.com, dan Harian “Analisa”, tapi tak satu pun dari media itu yang memberikan penjelasan tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV.

Wartawan pun tidak menggambarkan perilaku berisiko di Banda Aceh, misalnya, perilaku sebagian laki-laki dewasa terkait dengan praktek pelacuran. Apakah ada praktek pelacuran di Banda Aceh? Bagaimana ketersediaan kondom di Banda Aceh? Apakah ada laki-laki Banda Aceh yang melacur di luar Aceh?

Pemparan perilaku terkait dengan risiko tertular HIV akan menggambarkan penyebaran HIV/AIDS di Banda Aceh khususnya dan di Aceh pada umumnya. Sayang, wartawan lebih mementingkan sensasi kematian balita yang terkait dengan HIV/AIDS.

Disebutkan: RSUZA sendiri sudah mendata sejak 2006, di seluruh Aceh penderita HIV mencapai 145 orang dan 28 penderita di antaranya rutin mengambil obat di RSUZA Banda Aceh (Harian “Analisa”). Perlu diingat bahwa kasus ini hanya yang ditangani RSUZA, karena sebelum tahun2006 sudah ada kasus HIV/AIDS yang terdeteksi. Selain itu ada juga kasus HIV/AIDS pada penduduk Aceh yang terdeteksi di Medan.

Kematian balita SR terkait dengan HIV/AIDS memang jadi cantelan (newspeg) berita, tapi berita cenderung sensasional karena tidak memberikan gambaran yang ril tentang epidemi HIV/AIDS di Aceh. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

11 Oktober 2012

‘Praktek’ Pekerja Seks Komersial (PSK) di Manokwari, Papua Barat, ‘Dikapling’



“Pak, bikin beritanya, dong, masak kami dipaksa di sini sedangkan ‘cewek Manado’ boleh di hotel.” Itulah curahan hati seorang pekerja seks komersial (PSK) asal Jawa Timur yang dipaksa mangkal di lokalisasi pelacuran “Maruni 55” di Manokwari, Papua Barat.


PSK asal Pulau Jawa digiring ke Maruni 55, sedangkan PSK dari Manado dan dari daerah lain boleh beroperasi di Kota Manokwari. 

Beberapa PSK asal P Jawa di “Maruni 55” mengaku kesal dan jengkel terkait dengan perlakuan terhadap mereka.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kabupaten Manokwari, Prov Papua Barat, yang terdeteiksi sejak tahun 2001 hingga Maret 2012 tercatat 671.

Celakanya, banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang merasa dirinya tidak berisiko tertular IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.) dan HIV/AIDS karena mereka tidak melacur dengan PSK di lokalisasi pelacuran “Maruni 55”.

Padahal, di “Maruni 55” ada LSM yang menjangkau PSK sebagai bagian dari advokasi dan sosialisasi agar laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom jika sanggama dengan PSK.

Tapi, sebaliknya di berbagai tempat yang dijadikan ajang praktek pelacuran di Kota Manokwari tidak ada advokasi dan sosialisasi untuk mendorong pemakaian kondom pada laki-laki ‘hidung belang’.

Maka, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ‘hidung belang’ di Manokwari akan terjadi karena perilaku laki-laki ‘hidung belang’ di Kota Manokwari melalui praktek pelacuran. Tidaklah mengherankan kalau kelak kasus HIV/AIDS di Papua Barat, khususnya di Kota Manokwari, banyak terdeteksi pada pengusaha, pegawai, karyawan, aparat dan lain-lain karena tidak ada penjangkuan kepada PSK untuk meminta pasangannya memakai kondom.

Biar pun di “Maruni 55” sudah ada LSM yang melakukan advokasi dan sosialisasi, tapi tetap saja banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak mau memakai kondom. “Laki-laki lokal tidak mau memakai kondom,” kata seorang PSK yang mengaku berasal dari Jawa Timur. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi Komisi Penanggulangan ADS (KPA) dan Dinkes Papua Barat karena terkait dengan mata rantai penyebaran HIV. 

Yang diperlukan di Papua Barat adalah program yang konkret yaitu intervensi agar laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Celakanya, dalam Perda AIDS Manokwari pun tidak ada langkah konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Kab. Manokwari, Prov Papua Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-kab-manokwari-prov-papua.html). 

Program intervensi yang konkret yaitu keharusan bagi laki-laki ‘hidung belang’ untuk memakai kondom ketika sanggama dengan PSK, baik di “Maruni 55” dan di hotel-hotel di berbagai kota di Kota Manokwari.

Tanpa program yang konkret, maka jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS akan terus bertambah yang berujung pada peningkatan jumlah bayi yang lahir dengan HIV/AIDS. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***