21 September 2012

Perda AIDS Kota Medan, Hanya Normatif

Peraturan daerah (Perda) Kota Medan No 1 Tahun 2012 tanggal 5 Januari 2012 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS hanyalah copy-paste dari perda-perda yang sudah ada. Perda ini ada pada urutan ke-56 dari 57 perda sejenis di Indonesia.

Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Medan sejak Januari 2006 sampai September 2011 yang 2.755 tentulah angka yang dilaporkan ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (2.755) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul di atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut.

Celakanya, dalam perda ini tidak ada cara yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat. Selama ini kasus yang dilaporkan sebagian besar terdeteksi di rumah sakit. Pasien dengan penyakit yang terkait HIV/AIDS, seperti diare yang terus-menerus, TBC, dll. dianjurkan tes HIV setelah dilakukan konseling untuk mengetahui perilaku pasien tersebut. Ada juga yang terdeteksi bertolak dari anak yang dirawat di rumah sakit. Penyakit pada anak-anak itu mendorong dokter menganjurkan tes HIV. Ketika anak terdeteksi HIV/AIDS, maka ibu dan ayah anak itu pun dianjurkan untuk tes HIV.

Kalau saja perda ini dirancang dengan pijakan fakta medis, maka pasal-pasal yang ada adalah cara-cara penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS yang konkret. Tapi, karena perda ini, seperti juga perda-perda lain, dirancang dengan semangat moralis maka pasal-pasal yang ada pun hanya normatif.


19 September 2012

Hotel di Kota Gorontalo Menyediakan Kondom dan Kitab Suci


* Tanggapan terhadap penyebaran HIV/AIDS yang kontradiktif

Tanggapan Berita (20/9-2012) – Pada suatu kesempatan menyelenggakan seminar di Kota Gorontalo, Prov Gorontalo, petugas di front office salah satu hotel berbintang di kota itu mengatakan: “Di sini (maksudnya di Gorontalo-pen.) hotel tidak boleh ada connecting door.” Ya, ini tentulah berpijak pada moralitas dengan ‘piktor’ (pikiran kotor) karena pemerintah di sana menganggap kalau ada connecting door akan dipakai untuk berbubat maksiat, zina atau melacur.

Eh, ini ada judul berita “Hotel Diminta Sediakan Kitab Suci dan Kondom” di www.beritasatu.com (19/9-2012). Lho, kalau connecting door saja tidak ada untuk apa menyediakan kondom? Ini kalau dianalogikan dari peraturan di kota itu yang melarang hotel menyediakan kamar dengan connecting door.


Perda Pencegahan Maksiat Provinsi Gorontalo


Perkosaan adalah kejahatan kriminal yang luar biasa (extra ordinary crime) karena merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM) serta meninggalkan trauma berkepanjangan pada korban. Kehamilan yang tidak diinginkan. Dicibir dan dicacimaki karena masyarakat selalu menyalahkan perempuan. Dikeluarkan dari sekolah. Dipecat dari pekerjaan, dan lainnya.

Celakanya, biar pun perkosaan merupakan perbuatan kriminal yang luar biasa tapi ancaman hukumannya justru biasa-biasa saja.

Di KUHP pada pasal 285 ancaman hukuman maksimal 12 tahun. Belakangan sejak diberlakukan era otonomi daerah, muncul euforia untuk membuat peraturan daerah (perda). Perda-perda yang dihasilkan sarat dengan aturan yang dibalut dengan syariat Islam, norma dan moral. Judul perdanya pun: anti maksiat, anti pelacuran, pemberantasan maksuat dan pelacuran. Biar pun judul perda menggigit tapi anncaman hukumannya hanya mencubit. Sesuai dengan UU ancaman hukuman kurungan (pidana) bagi pelanggar perda maksimal enam bulan dan denda Rp 50 juta.


18 September 2012

Di Maluku Utara AIDS ‘Menyerang’ Usia Produktif


Tanggapan Berita (19/9-2012) – “AIDS Serang Usia Produktif di Malut (Prov Maluku Utara-pen.)” Ini judul berita di www.jpnn.com (14/9-2012).

Judul berita itu jelas tidak akurat karena tidak faktual. AIDS bukan penyakit atau virus sehingga tidak bisa menyerang. AIDS adalah kondisi yang disebabkan oleh infeksi HIV setelah 5-15 tahun.

Sedangkan HIV sebagai virus pun tidak menyerang, tapi menular dari seseorang yang mengidap HIV/AIDS ke orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penularan HIV pun tidak terkait dengan usia, tapi erat kaitannya dengan perilaku, al. perilaku seksual orang per orang khususnya pada kalangan dewasa.

Disebutkan bahwa penyebaran HIV/AIDS Malut dari tahun ke tahun  menunjukkan fenomena yang mengkhawatirkan.

Pernyataan di atas menunjukan wartawan tidak memahami cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia yaitu dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka laporan kasus tidak akan pernah turun biar pun pengidap HIV/AIDS banyak yang meninggal.

Disebukan lagi:  Parahnya lagi, mayoritas penderita HIV/AIDS  berasal dari kalangan muda alias usia produktif. 

Pertanyaannya:

(1) Di kalangan muda alias usia produktif mana kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi?

(2) Apa faktor risiko penularan HV pada kalangan muda alias usia produktif tsb.?

(3) Bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS terdeteksi pada kalangan muda alias usia produktif tsb.?


HIV/AIDS di Kab Sambas, Kalbar, Banyak Terdeteksi pada Perempuan


Tanggapan Berita (18/9-2012) – “Hingga Juli 2012, sesuai data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Sambas (Prov Kalimantan Barat atau Kalbar-pen.), tercatat 204 penderita HIV/AIDS. Parahnya lagi, sekitar 47 persen dari jumlah tersebut adalah penderita wanita. KPA mencatat terdapat 96 orang wanita terinfeksi di Bumi Terigas ini. Dari jumlah tersebut, menurut mereka, adanya kelompok populasi yang tidak berisiko tertular sebanyak 46 ibu rumah tangga, di mana mereka tertular dari suaminya. Kemudian sebanyak 12 bayi yang tidak berdosa tertular dari ibu kandungnya.” Ini lead di berita “204 Penderita HIV/AIDS Kabupaten Sambas. Hingga Juli 2012, Kian Mengkhawatirkan" (www.pontianakpost.com, 13/9-2012).

Pernyataan pada lead berita ini tidak akurat karena mencampuradukkan fakta dan opini.

Pertama,  disebutkan “Parahnya lagi, sekitar 47 persen dari jumlah tersebut adalah penderita wanita”. Yang parah adalah laki-laki yang menularkan HIV kepada wanita tsb. Apalagi wanita itu istri maka amat disayangkan suami membawa HIV ke rumah.

Menakar Kerja Perda AIDS Provinsi Kalimantan Barat


Oleh Syaiful W. Harahap*


Catatan: Tulisan ini dimuat sebagai artikel Opini di Harian “Swara Kita“, Manado, 20 Agustus 2009 (http://www.swarakita-manado.com/index.php/berita-utama/16375-hivaids).

PEMERINTAH PROVINSI (Pemprov) Kalimantan Barat (Kalbar) menjadi daerah ke-30 yang menelurkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS di Indonesia. Pemprov Kalbar menelurkan perda melalui Perda No. 2 tanggal 15 Juni 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Kalimantan Barat. Sudah 30 daerah, provinsi, kabupaten dan kota yang sudah meneluarkan perda AIDS. Apakah penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS yang ditawarkan di perda-perda itu (bisa) bekerja? Sampai Maret 2009 Kalbar menempati peringkat keenam secara nasional dengan 730 kasus AIDS.


17 September 2012

Mau Mengakhiri Hidup karena Hasil Tes HIV Meragukan



Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, fax, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, e-mail aidsindonesia@gmail.com dan SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Pada awal bulan Maret 2011 saya pertama kali  berhubungan intim dengan pekerja seks komersial (PSK) tampa mengunakan kondom. Ketika itu di bagian kelamin saya ada luka bekas garukan. Esok harinya gigi saya yang berlubang sakit dan membusuk. Gigi saya saya cabut dan sakitnya hilang. Seminggu kemudian saya demam disertai sakit tenggorokan selama dua minggu dan diare selam enam hari. Kemudian sembuh. Tapi, setelah diare sembuh timbul kemerah-merahan dibagian kiri kanan lidah di bagian dalam sampai sekarang belum sembuh. 

Pada bulan Maret 2012, setahun setelah saya melakukan hubungan intim itu, saya melakukan te HIV dua kali di dua rumah sakit berbeda. Hasil tes negatif (nonreaktif). 

Tes HIV di rumah sakit pertama (rumah sakit swasta) dilukan dengan rapid test dan ELISA.

Saya juga melakukan medical check up hasilnya normal hanya didiagnosa terdapat lemak jahat di dalam tubuh saya. dan sampai sekarang saya tidak pernah melakuan hubungan bandan dengan siapa pun. Tapi, sekarang sering terkena bisul berulang-ulang dan pernah timbul bisul di bagian kelamin saya.

Saya sangat takut jika nanti saya melakukan tes HIV hasilnya jadi positif sedangkan saya tidak pernah melakukan tindakan berisiko lagi. Apalagi akhir tahun ini saya akan menikah. Sering terlintas di pikiran saya untuk mengakhiri hidup karena ini akan menjadi aib bagi keluarga saya. Saya menyesal telah melakukan perbuatan itu.

Yang ingin saya tanya: (1) Apakah saya sudah terinfeksi HIV? (2) Mungkinkankah dua rumah sakit tersebut melakukan kesalahan dalam tes HIV? (3) Apakah ada orang yang terinfeksi HIV masa jendelanya lebih dari setahun baru terdeteksi? (4) Apa yang harus saya lakukan agar saya benar-benar yakin tidak tertular HIV? (5) Apakah di kota saya (?) ada tempat tes HIV yang benar-benar hasil tesnya bisa dipecaya? (6) Apakah saya bisa ngobrol melalui telepon?
Mr ”Q” di sebuah kota di P Sumatera (via e-mail,8/9-2012)


Klinik VCT di Kota Metro, Lampung, Mencegah Penyebaran HIV/AIDS


Tanggapan Berita (18/9-2012) - Di sejumlah kota, perkembangan penyakit mematikan HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus Infection/Acquired Immunodeficiency Syndrome) sudah cukup mencemaskan. Di Kota Metro, Lampung, misalnya, saat ini penderita HIV/AIDS sudah mencapai 25 orang. Itu baru yang terdata. Ini lead di berita “Pengidap HIV/AIDS Bertambah” (www.jpnn.com, 12/9-2012).

Pernyataan ‘perkembangan penyakit mematikan HIV/AIDS’ menunjukkan pemahan yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS. Belum ada laporan kematian karena HIV/AIDS. Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi di masa AIDS yaitu setelah tertular HIV antara 5 – 15 tahun karena penyakit yang disebut dengan infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.

Data penderita HIV/AIDS yang disebutkan 25 tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (26) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut.


Homoseksual di Kukar, Kaltim, Rentan Tertular HIV/AIDS


Tanggapan Berita (18/9-2012) - Mewakili Bupati Kukar (Kutai Kartanegara, Prov Kaltim), Staf Ahli Bupati Bidang Pembangunan, H Hairil Anwar mengatakan penyebaran kasus AIDS saat ini tidak hanya menimpa kalangan heteroseksual sebagaimana pada awal kasus ini ditemukan namun sudah menimpa kalangan homoseksual, pengguna jarum suntik terutama pada pengguna narkoba dan prenatal (Homokseksual Rentan Terkena HIV-AIDS, korankaltim.co.id, 16/7-2012).

Hairil terbalik. Justru di awal-awal epidemi HIV/AIDS (1981) kasus HIV/AIDS terdeteksi di kalangan laki-laki gay (homoseksual). Selain itu risiko penularan HIV pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik bisa terjadi kalau jarum suntik dipakai secara bersama-sama dengan bergantian.

Apakah di Kukar praktek homoseksual (laki-laki dengan laki-laki, seperti gay) lebih banyak daripada heteroseksual (laki-laki dengan perempuan, seperti pelacuran)?


Mimpi: Nol Infeksi HIV Baru di Kab Badung dan Kota Denpasar


Dikabarkan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, keduanya di Prov Bali, dijadikan proyek percontohan dalam mencapai program nol kasus baru HIV di Pulau Dewata.

Program itu tentu saja ‘punguk rindukan bulan’ karena hanya bisa ada di alam mimpi. Untuk mencapai kondisi ‘nol kasus infeksi HIV baru’ adalah hal yang mustahil.

Dengan kasus HIV/AIDS yang terus terdeteksi, terutama di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan ibu-ibu hamil, ’Pulau Dewata’ dikhawatirkan akan menjadi ’Pulau AIDS’. Laporan terakhir menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Bali sampai akhir tahun 2011 terdeteksi 5.222.

Di Kota Denpasar dilaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS tahun 1987 - 2012 mencapai 1.284. Sedangkan di Kab Badung sampai Desember 2011 kasus kumulatif HIV/AIDS dilaporkan 744 terdiri atas 380 HIV dan 384 AIDS dengan 70 kematian.


Perda AIDS Kab Badung, Bali, Tidak Menyentuh Akar Masalah


Salah satu reaksi yang muncul terhadap penemuan kasus HIV/AIDS yang terus terjadi adalah merancang peraturan daerah (perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Tapi, karena perda-perda itu dirancang dengan pijakan moral, maka perda-perda itu tidak bisa dijadikan patokan untuk penanggulangan HIV/AIDS.

Lihat saja Perda Kab Badung No 1 Tahun 2008 tanggal 19 Mei 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS ini. Sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS.

Di pasal 9 disebutkan: “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib melakukan upaya pencegahan dengan memakai kondom.”

Pertama, dalam perda tidak ada penjelasan tentang ‘perilaku seksual berisiko’.

Kedua, di mana setiap orang wajib melakukan pencegahan?

Ketiga, kalau kewajiban berlaku di wilayah Kab Badung, maka penduduk bisa saja melakan perilaku berisiko tanpa terikat kewajiban memakai kondom di luar wilayah Kab Badung.

Keempat, dalam perda tidak ada penjelasan yang rinci tentang mekanisme pemantauan kewajiban memakai kondom.


16 September 2012

Parafilia: Menyalurkan Dorongan Hasrat Seksual “Dengan Cara yang Lain”




Opini (17/9-2012) - Sebagian orang menyalurkan hasrat seksual di luar kebiasaan atau di luar cara-cara yang lazim yang dikenal sebagai parafilia disebut sebagai ‘penyimpangan seksual’, ‘kelainan seksual’, dll. Ini terjadi karena menyalurkan hasrat seksual di luar kebiasaan atau di luar cara-cara yang lazim dilihat dengan sudut pandang norma, moral, dan agama.

Parafilia merupakan bentuk-bentuk dari orientasi seksual. Tapi, ini pun tetap dikaitkan dan berpijak pada norma dan moral sehingga tetap ada stigma (pemberian cap buruk). Lalu, berkembang lagi dengan sebutan deviasi seksual. Teminologi ini tetap saja mengacu kepada ‘kelainan’ karena dibandingkan dengan aktivitas seksual yang ‘normal’ (dikaitkan dengan kegiatan seksual yang dilakukan kebanyakan orang).

Tapi, karena kaca mata yang dipakai adalah norma (bentuk perilaku, dalam hal ini seks, pada sebuah komunitas) dan moral (perilaku seseorang yang dikaitkan dengan nilai-nilai baik dan buruk di sebuah komunitas) serta agama (sistem atau kepercayaan kepada Tuhan), maka perilaku seksual yang tidak sesuai dengan norma, moral, dan agama dianggap sebagai penyimpangan (normatif).

Maka, terjadilah stigma dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap orang-orang yang mempunyai deviasi seksual di luar orientasi seksual yang umum (normatif).

Kematian Terkait HIV/AIDS di Payakumbuh, Sumbar


Tanggapan Berita (17/9-2012) - ”Kita yakin di Payakumbuh terdapat banyak penderita HIV AIDS yang belum terdata. Sebab masih banyak yang takut dan malu untuk memeriksakan diri.” Ini pernyataan Sekretaris KPA Payakumbuh, Syamsir Alam di berita “Kab. Lima Puluh Kota. Delapan dari 29 Penderita HIV Meninggal” (Padang Ekspres, 11/9-2012).

Pernyataan Syamsir ini menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Orang bukan takut atau malu untuk memeriksakan diri. Banyak orang yang tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV. Ini terjadi karena informasi HIV/AIDS yang disampaikan pemerintah dan sebagian institusi tidak konkret sehingga masyarakat tidak mengetahui perilaku yang berisiko tertular HIV.

Buktinya, dalam berita ini pun sama sekali tidak ada informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang konkret. Bahkan, disebutkan bahwa melalui pisau cukur yang sempat melukai penderita HIV dan digunakan orang yang sehat dan mengalami luka juga bisa tertular. Ini tidak akurat karena darah di pisau cukur sudah kering dan HIV mati.

AIDS di Kab Bojonegoro, Jatim, “Dibawa” Pekerja Luar


Tanggapan Berita (16/9-2012) – “Januari- Agustus, 55 Orang Tertular. Bojonegoro (Jawa Timur-pen.) Rawan Penularan Virus HIV/AIDS” Ini judul berita di www.lensaindonesia.com (9/9-2012).


Judul berita ini menyesatkan karena tidak bisa diketahui dengan pasti kapan seseorang tertular HIV, kecuali melalui transfusi darah.

Yang benar adalah “Januari – Agustus, 55 Orang Terdeteksi Mengidap HIV/AIDS”. Ini bisa diketahui melalui tes HIV. Sayang, dalam berita tidak dijelaskan kapan dan bagaimana 55 orang itu terdeteksi HIV/AIDS.

Dikabarkan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Bojonegoro sampai pertengahan tahun 2012 mencapai 55. Sedangkan tahun  2011 terdeteksi 64 dan di tahun 2010 dilaporkan 45 kasus.

Disebutkan bahwa “Penyebaran virus HIV/AIDS menjadi ancaman yang mengkhawatirkan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.”

Yang mengancam bukan HIV/AIDS, tapi perilaku seks, terutama laki-laki dewasa, yang melacur tanpa kondom.


Poligami untuk Menyelamatkan Generasi Asli Papua?


* Epidemi HIV/AIDS justru akan menyengsarakan keturunan pasangan poligami

Tanggapan Berita (16/9-2012) – “Sejak Papua dianeksasikan sebagai bagian dari Negara Kesatauan Republik Indonesia (NKRI), banyak Rakyat Papua telah menjadi korban kekerasan militer Indonesia, oleh sebab itu generasi Papua perlu terapkan budaya poligami.” Ini pernyataan Ciska Abugau, anggota Pokja perempuan di Mejelis Rakyat  Papua (MRP) dalam berita “Anggota MRP: Poligami Penting Untuk Selamatkan Papua Dari Genosida” di suarapapua.com (7/9-2012).

Ada beberapa hal yang tidak pas dalam pernyataan Ciska itu.

Pertama, tidak pernah ada genosida di Papua. Genosida adalah adalah pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras.

Kedua, jumlah korban kekerasan tidak disebutkan sehingga tidak menggambarkan ‘kepnuhan’ suku asli di Papua.

Ketiga, poligami adalah istilah yang terkait dengan jumlah istri lebih dari satu di ajaran agama Islam. Sedangkan di agama lain tidak dikenal poligami.

Ketika HIV/AIDS menjadi ‘mesin pembunuh’ di Tanah Papua, maka poligami justru akan menimbulkan masalah baru yang justru lebih berat, yaitu jika pasangan poligami mengidap HIV/AIDS maka anak-anak yang dilahirkan akan mengidap HIV/AIDS.