15 September 2012

(Menunggu) Perda AIDS Kota Semarang yang Kelak Hanya Copy-Paste


Tanggapan Berita (16/9-2012) - ” .... DPRD Kota Semarang mulai mebahas rancangan Perda yang diyakini mampu menekan angka penularan penyakit yang belum ditemukan obat penawarnya itu.” Ini pernyataan di berita ”Penderita HIV/AIDS Meningkat, Dinkes dan DPRD Kota Semarang Buat Perda” (www.jatengtime.com, 26/7-2012).


Disebutkan bahwa ”Perda yang diyakini mampu menekan angka penularan penyakit yang belum ditemukan obat penawarnya ...”

Kalau saja Dinkes Kota Semarang dan DPRD Kota Semarang melihat fakta yaitu daerah-daerah yang sudah mempunyai perda AIDS di sekeliling Kota Semarang, tentulah pernyataan itu tidak akan muncul.

Di wilayah Jawa Tengah sudah ada empat peraturan yang terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS, yaitu Peraturan Wikokta Surakarta (Lihat: http://www.aidsindonesia.com/2012/08/peraturan-walikota-surakarta-solo.html), Perda AIDS Prov Jawa Tengah (Lihat: http://www.aidsindonesia.com/2012/08/perda-aids-provinsi-jawa-tengah.html), Perda AIDS Kab Semarang (Lihat: http://www.aidsindonesia.com/2012/09/perda-aids-kab-semarang-prov-jawa-tengah.html), dan Perda AIDS Kab Batang (Lihat: http://www.aidsindonesia.com/2012/09/perda-aids-kabupaten-batang-prov-jawa.html).

Apakah empat perda itu bisa menekan angka penyebaran HIV/AIDS?

Pelajar Karawang “Digoyang” AIDS


Tanggapan Berita (15/9-2012) – “Dari 283 orang penderita, yang paling banyak umur 15-35 tahun ….” Ini pernyataan Awan, anggota KPA Karawang, Jawa Barat, dalam berita “Pelajar di Karawang Rentan Tertular AIDS” di “Pos Kota” (9/9-2012).

Data mentah itu tidak dikembangkan oleh wartawan sehingga dikesankan usia 15 – 35 tahun adalah ‘mangsa’ HIV/AIDS.  Kalau wartawan yang menulis berita itu membawa data itu ke realitas sosial tentulah tidak muncul kesan buruk terhadap kalangan berusia 15 – 35 tahun.

Pertama, pada kalangan mana kasus HIV/AIDS itu terdeksi? Dalam berita tidak ada penjelasdan. Kasus HIV/AIDS pada rentang usia 15 – 35 tahun banyak terdeteksi pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bergantian. Mereka diwajibkan tes HIV jika hendak menjalani rehabilitasi.

Kedua, bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS pada rentang usia 15 – 35 tahun itu terdeteksi? Juga tidak ada penjelasan. Padahal, kasus ini banyak terdeteksi ketika mereka wajib tes HIV.

Ketiga, bagaimana jumlah perbandingan jenis kelamin? Ini pun tidak ada penjelasan. Soalnya, pengidap HIV/AIDS pada rentang usia 15 – 35 tahun yang terdeteksi pada penyalahguna narkoba terdeteksi pada lak-laki karena penyalahguna narkoba perempuan jarang yang dibawa ke tempat rehabilitasi dengan alasan memalukan bagi keluarga.


14 September 2012

Kematian Terkait HIV/AIDS di Kota Ambon, Maluku


Tanggapan Berita (15/9-2012) - “Angka penderita HIV/AIDS di kota Ambon, Ibu Kota Provinsi Maluku mengalami peningkatan pada 2012 sehingga dibutuhkan penanganan serius.” Ini pernyataan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy, SH pada berita “Angka Penderita HIV/AIDS Di Ambon Meningkat” (www.ambon.go.id, 6/9-2012).

Seperti apa, sih, peningkatan penderita HIV/AIDS di Kota Ambon?

Periode Januari-Agustus 2012 terdeteksi 62 kasus HIV/AIDS  yang terdiri atas 29 HIV dan 33 AIDS. Sedangkan hasil survai di di sejumlah kafe, karaoke, hotel, penginapan serta pangkalan ojek, dari 1.000 yang mengikuti tes terdeteksi 79 HIV, yakni 22 orang penderita lama dan 57 orang penderita baru.

Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Ambon para kurun waktu  1996 - 2011 tercatat 851 yang terdiri atas 498 HIV dan 353 AIDS dengan 422 kematian.

Penanganan serius memang diperlukan karena insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) terus terjadi.

12 September 2012

HIV/AIDS di Bali Mulai Sasar Ibu Rumah Tangga


Tanggapan Berita (12/9-2012) – Perkembangan penularan HIV/AIDS saat ini tidak lagi di lingkungan pekerja seks, namun sudah mengarah pada lingkungan rumah tangga. Ini pernyataan di intro berita “Perkembangan HIV/AIDS Mulai Sasar Ibu Rumah Tangga” (balitv, 4/9-2012).

Ada  beberapa fakta yang luput dari pemahaman wartawan yang menulis intro ini, yaitu:

Pertama, HIV/AIDS di lingkungan pekerja seks justr disebarkan atau ditularkan oleh laki-laki dewasa yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami.

Kedua, pekerja seks juga adalah bagian dari (lingkungan) keluarga.

Ketiga, yang ‘membawa’ HIV/AIDS ke keluarga, dalam hal ini istri, adalah suami atau laki-laki pasangan seks.


11 September 2012

Prostitusi Kelas Atas Mendorong Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia


* Kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada PNS, wiraswata dan pengusaha


Tanggapan Berita (12/9-2012) – Surabaya gempar. Jaringan pelacuran (prostitusi) kelas atas dengan tarif antara Rp 1,5 juta – Rp 5 juta terbongkar di Surabaya. Poros jaringan yang sudah terungkap Surabaya – Semarang yang melibatkan 2.600 pelacur. Laki-laki berduit yang menjadi konsumen pelacur ‘kelas kakap’ ini menjadi faktor pendorong penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.

Kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional priode 1987 sd. 30 Juni 2012 dilaporkan 118.865 yang terdiri atas 86.762 HIV dan 32.103 AIDS dengan 5.623 kematian (Lihat: Kasus HIV/AIDS per Juni 2012 Dilaporkan 118.865 - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/kasus-hivaids-per-juni-2012-dilaporkan.html).  


Pertama, pelacur-pelacur belia kelas atas itu tidak terjangkau oleh aktivis LSM yang bergerak di bidang penyuluhan HIV/AIDS sehingga tidak bisa dilakukan upaya menawarkan kondom.

Kedua, laki-laki ‘hidung belang’ menganggap mereka tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) jalanan dan yang mangkal di lokalisasi pelacuran.

Dikabarkan “Ratu Germo” Yuanita, 34 tahun, alias Keyko, tinggal di Surabaya, Jawa Timur, ‘mengoperasikan’ anak buahnya sekitar 2.600 orang yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia (surabayapost.co.id, 11/9-2012).

Andaikan setiap hari 1 anak buah Keyko meladeni 1 pejabat atau pengusaha, maka setiap hari ada 2.600 pejabat dan pengusaha yang berisiko tertular HIV/AIDS.

Maka, amatlah masuk akal kalau belakangan ini kian banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada pegawai negeri sipil (PNS) dan pengusaha, terutama wiraswatawan.

Di Sumatera Barat, HIV/AIDS Disangkal dengan Tatanan Adat dan Agama


Tanggapan Berita (11/9-2012) - “Saya tak yakin tingginya penderita HIV/AIDS di Sumbar ini, soalnya tatanan adat dan agama yang masih kuat sulit rasanya gejala HIV/AIDS tumbuh subur di Sumbar.” Ini pernyataan pemerhati sosial kemasyarakatan, Eri Gusman Awal, dalam berita “HIV/AIDS di Sumbar Mengkhawatirkan” (www.jurnas.com, 20/2-2012).

Di negara yang menjadikan agama dan kitab suci sebagai undang-undang (dasar) pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Prov Aceh yang menjadikan syariat Islam sebagai hukum sudah dilaporkan 120 kasus HIV/AIDS. Sedangkan di Arab Saudi dilaporkan dari tahun 1984 sampai 2010 kaus AIDS mencapai 16,334 yang terdiri atas 4,458 penduduk Arab Saudi dan  11,876 non Arab Saudi (http://www.saudiembassy.net/latest_news/news11291102.aspx - 29/11-2011).

Risiko tertular HIV di tataran realitas sosial terjadi pada orang-orang dengan perilaku seks yang berisiko, seperti melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung (PSK yang tidak mangkal di lokalisasi pelacuran, seperti ‘cewek bar’, ‘cewek kafe’, ‘cewek biliar’, ‘cewek pub’, ‘anak sekolah’, ABG, ‘mahasiswi’, ‘ibu rumah tangga’, dll.).

Pertanyaannya adalah: Apakah Eri Gusman Awal bisa menjamin tidak ada laki-laki penduduk asli Sumbar yang melacur tanpa kondom di Sumbar atau di luar Sumbar?


10 September 2012

Di Surabaya 4 Bayi Terdeteksi Mengidap HIV/AIDS


Tanggapan Berita (10/9-2012) – “Jumlah penderita HIV/AIDS di Surabaya semakin bertambah. Paling memprihatinkan, saat ini ada empat bayi di bawah lima tahun (balita) diketahui menderita penyakit yang mematikan itu.” Ini lead di berita “Empat Bayi di Surabaya Menderita HIV/AIDS” di “Pos Kota” (5/9-2012).

Kalau dirunut ke belakangan tentulah yang menjadi biang keladi penularan HIV kepada empat bayi itu adalah ayah mereka. Soalnya, bayi-bayi itu tertular dari ibu mereka, sedangkna ibu mereka tertular HIV dari suami.

Maka, yang memprihatinkan adalah ada empat suami yang menularkan HIV kepada istrinya.

Kondisi itu terjadi karena Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim tidak mempunyai program yang konkret untuk mencegah penularan HIV, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran.

Bahkan, Perda AIDS Prov Jatim pun sama sekali tidak memberikan cara-cara yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS di Jatim (Lihat: Menyibak Kiprah Perda AIDS Jatim - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/menyibak-kiprah-perda-aids-jatim.html).  


Menyibak Kiprah Perda AIDS Jatim


Oleh Syaiful W Harahap*

Catatan: Artikel ini dimuat di Harian “Jawa Pos”, 1 Desember 2008

Pemerintah Provinsi Jawa Timur menelurkan Perda No 5/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur. Bagaimana sepak terjang perda itu dalam menanggulangi penyebaran HIV di Jawa Timur?

Sampai 30 Juni 2008, Depkes melaporkan 1.225 kasus AIDS di Jawa Timur, 619 di antaranya terdeteksi di kalangan pengguna narkoba, dan 323 kematian. Kasus-kasus HIV positif yang terdeteksi merupakan infeksi baru setelah perda atau kasus infeksi sebelum perda. Sedangkan kasus AIDS merupakan penularan HIV yang terjadi sebelum perda disahkan.

Setelah kasus AIDS terdeteksi kali pertama di Bali (1987), beberapa tahun kemudian Surabaya heboh karena seorang pekerja seks komersial (PSK) di Dolly terdeteksi HIV positif. Ada dua kemungkinan terkait dengan HIV di kalangan PSK.

Muspika Menyamar

Pertama, PSK yang terdeteksi HIV positif di Dolly tertular HIV dari laki-laki pelanggannya, penduduk lokal di Surabaya atau pendatang dari luar kota dan luar negeri. Jika itu yang terjadi, sudah ada laki-laki yang HIV positif di Surabaya.

Pengidap HIV tersebut tidak terdeteksi karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara lima hingga sepuluh tahun setelah tertular HIV). Tapi, pada kurun waktu itu, dia sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah.

Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, atau selingkuhan yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, pengusaha, pedagang, sopir, nelayan, pengasong, rampok, dan lain-lain. Mereka itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.


09 September 2012

Kasus HIV/AIDS di Kota Batam, Kepri, Terus Bertambah


Tanggapan Berita (10/9-2012) – “Sekretaris Batam City Aids Commision, Pieter P. Purklolong mengatakan, penderita HIV/AIDS di Batam meningkat lima belas persen tiap tahun. Kenaikan penderita HIV/AIDS diketahui setelah komisi melakukan konseling terhadap laki-laki dan perempuan di Batam.” Ini lead di berita “Penderita HIV/AIDS di Batam Kebanyakan Laki-laki” (tempo.co.id, 4/9-2012).

Pernyataan “penderita HIV/AIDS di Batam meningkat lima belas persen tiap tahun” menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun karena laporan dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya. Biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal, jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan akan terus bertambah.

Yang bertambah adalah kasus baru yaitu kasus-kasus yang baru terdeteksi. Ini menunjukkan insiden kasus baru terus terjadi di masyarakat. Ini terjadi karena Pemkot Batam tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Disebutkan bahwa pada kurun enam bulan di tahun 2012 kasus HIV terdeteksi pada 69 laki-laki dan 58 perempuan pada masa AIDS.

Data itu menunjukkan 69 laki-laki dan 58 perempuan tsb. sudah tertular HIV antara 5 – 15 tahun sebelumnya. Maka, diperkirakan mereka tertular HIV antara tahun 1997 dan 2007 (Lihat Gambar 1).

Menakar Efektivitas Perda AIDS Provinsi Kepulauan Riau


Oleh: Syaiful W. Harahap
Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro

Catatan: Tulisan ini dimuat sebagai artikel Opini di Harian “Batam Pos“, 30 Mei 2009

Pemprov Kepulauan Riau (Kepri) menjadi daerah ketiga belas yang menelurkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS melalui Perda No 15/2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS di Provinsi Kepulauan Riau. Sudah empat belas daerah, mulai dari kabupaten, kota, dan provinsi yang menelurkan perda penanggulangan HIV/AIDS. Apakah perda-perda itu efektif menanggulangi penyebaran HIV?

Sampai sekarang belum ada hasil yang nyata di 26 daerah mulai dari tingkat provinsi, kota dan kabupaten yang sudah mempunyai perda penanggulangan HIV/AIDS.

Mengapa perda-perda AIDS tidak bisa bekerja? Ide pembuatan perda di Indonesia bertolak dari `angin surga’ cerita sukses Thailand menekan laju infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui ‘Program Wajib Kondom 100 Persen’. Lalu, muncullah perda pertama di Kabupaten Merauke dan terakhir di DKI Jakarta (2008).


Teologi Kristen dalam Kancah Penanggulangan AIDS


Opini (9/9-2012) – “HIV/AIDS dan TEOLOGI KRISTEN” Itulah judul tulisan Pdt. Dr. Martin Lukito Sinaga yang saya baca di http://www.gkps.or.id/home/20071416?task=view. Judul itu menarik minat saya untuk membaca tulisan dimaksud dengan harapan ada hal baru yang bisa dipakai untuk mendukung program penanggulangan HIV/AIDS.

Tapi, harapan saya ternyata meleset karena yang dikedepankan hanya formula ABC, yaitu:

A (Abstain) Tidak berhubungan seks. Disebutkan abstain adalah menghindari penularan HIV melalui jalur seksual, orang harus tidak melakukan hubungan seks, menghindari atau menunda aktivitas seksual jika ia dapat memperhitungkan resikonya. Bagi banyak orang di masyarakat, hal ini bukanlah pilihan yang realistis.