01 September 2012

Merunut “Perjalanan” HIV/AIDS di Aceh


Liputan. “ …. tingginya perkiraan tingkat penderita HIV/AIDS di Aceh disebabkan semakin terbukanya daerah tersebut terhadap masyarakat luar yang datang dengan misi kemanusiaan merehabilitasi Aceh pasca tsunami Desember 2004 lalu.” Ini pernyataan Direktur UNAIDS perwakilan Indonesia, Jane Wilson, di Banda Aceh (3/12-2006) yang diberitakan oleh  Harian “Serambi Indonesia”, Banda Aceh (4/12-2006).

Laporan terakhir menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh tercatat 120, sedangkan dalam laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI tanggal 15 Agustus 2012 disebutkan kasus 65 HIV dan 99 AIDS yang bercokol pada peringat 26 dari 33 provinsi di Indonesia.

Pernyataan Jane Wilson itu menyesatkan karena ada beberapa fakta yang justru bertentangan dengan pernyataan tersebut.

Pertama, sebelum tsunami ada satu kasus HIV/AIDS yang terdeteksi. Penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es, sehingga kemungkinan  ada kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat. Kasus yang terdeteksi (1) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar Fenomena Gunung Es)....

31 Agustus 2012

“Menyelamatkan Papua” dari HIV/AIDS Tanpa Langkah Konkret


 Tanggapan Berita. “ …. masalah HIV/AIDS merupakan masalah perilaku yang berlebihan dan pada tingkat perkembangannya banyak menggerogoti usia produktif, termasuk juga generasi muda gereja ….” Ini pernyataan dalam berita “Selamatkan Papua Dari HIV/AIDS” (www.bintangpapua.com, 22/8-2012).

Pernyataan yang muncul pada acara malam perenungan dan refresing tentang HIV/AIDS pemuda peduli HIV/AIDS bersama dengan pemuda-pemudi Gerejawi yang ada di 16 Jemaat se kota Serui di depan Gereja Jemaat Kapernaum yang digelar oleh Jemaat GKI Eklesia Aunawai (Dawai) klasis Yapen Timur jauh

Justru pernyataan “perilaku yang berlebihan “ itulah yang berlebihan karena melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, merupakan bagian dari kehidupan seksual manusia. Metabolisme tubuh meningkatkan dorongan hasrat seksual yang membutuhkan penyaluran melalui hubungan seksual....

Perda AIDS Provinsi Jawa Tengah Mengabaikan (Lokalisasi) Pelacuran


Provinsi Jawa Tengah menelurkan peraturan daerah (Perda) untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. Melalui Perda  No 5 Tahun 2009 tanggal 24 April 2009 Pemprov Jateng akan mengendalikan epidemi HIV/AIDS di Jawa Tengah.

Apakah perda ini menyentuh akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS?

Tentu saja tidak!

Soalnya, perda ini yang merupakan salah satu dari 55 perda, 1 peraturan gubernur, dan 1 peraturan walikota, yang sudah ada di Indonesia sama seperti perda lain yaitu copy-paste. Perda ini pun bagaikan ‘macan kertas’ karena tidak menukik ke akar masalah dan pasal-pasal penanggulangan dan pencegahan pun tidak konkret.

Coba simak pasal 5 tentang pencegahan tidak ada pasal yang ekplisit terkait dengan pencegahan melalui hubungan seksual.

Padahal, fakta menunjukkan faktor risiko (mode of transmission) penularan HIV paling banyak melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah...
.

30 Agustus 2012

Di Solo, Lokalisasi Pelacuran Ditutup Pelacuran Terselubung Merajalela


Meningkatnya praktik prostitusi terselubung terbukti telah menambah daftar para penderita HIV/AIDS. Apalagi dengan hadirnya praktik prostitusi di dunia maya, penyebaran penyakit mematikan tersebut pun kian susah dikendalikan.” Ini lead di berita “Prostitusi Kian Liar, Kasus HIV/AIDS Menjalar” (www.solopos.com,

Penutupan ‘Silir’: Apakah (Bisa) Menghapus Pelacuran di Kota Solo? - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/penutupan-silir-apakah-bisa-menghapus.html).  

Sia-sia, Tes HIV Sebelum Menikah


Opini. Walaupun HIV/AIDS sudah dikenal sejak 31 tahun yang lalu, tapi pemahaman terhadap HIV/AIDS tetap saja tidak akurat. Ini tampak jelas dalam 55 peraturan daerah (perda) penanggulangan AIDS yang tidak menyentuh akar persoalan pandemi HIV.

Salah satu ide yang muncul dalam beberapa perda adalah tes HIV sebelum menikah.

Ada fakta yang luput dari perhatian kalangan yang mengusung ide tes HIV sebelum menikah, yaitu hasil tes, terutama dengan reagen ELISA, bisa menghasilkan positif palsu atau negatif palsu.

Tes HIV dengan rapid test dan ELISA perlu diperhatikan masa jendela yaitu rentang waktu antara tertular HIV dengan pembentukan antibody HIV di dalam darah (Lihat Gambar).

29 Agustus 2012

Penutupan ‘Silir’: Apakah (Bisa) Menghapus Pelacuran di Kota Solo?


Pelacuran atau prostitus dikabarkan merupakan salah satu pekerjaan yang disebut-sebut seumur peradaban manusia. Pelacuran melibatkan pelacur, disebut sebagai pekerja seks komersial (PSK), yang meladeni hubungan seksual dengan laki-laki ‘hidung belang’ dengan imbalan uang.

Celakanya, yang jadi sasaran tembak, yang dihujat, dan yang disalahkan hanya PSK. Padahal, tanpa ada laki-laki ‘hidung belang’ yang ‘membeli’ seks kepada PSK tidak akan pernah terjadi pelacuran.

Pelacuran di berbagai daerah di Indonesia berkembang dengan riwayat tersendiri. Di Kota Surakarta, yang lebih dikenal sebagai Kota Solo, Jawa Tengah, misalnya, pelacuran dilokalisir di Lokalisasi Silir, Semanggi. Lokalisasi ini ‘resmi’ sebagai tempat pelacuran sejak tahun 1953. Belakangan terjadi penolakan terhadap Silir, tapi akhirnya tahun 1961 Silir ditetapkan sebagai lokasi pelacuran dengan harapan mengurangi pelacuran di berbagai tempat dan memudahkan pengawasan dan pengendalian.

Di masa Orde Baru kegiatan pelacuran di lokalisir sebagai bentuk resosialisasi dan rehabilitasi PSK melalui berbagai program yang dijalankan oleh departemen sosial melalui jajarannya di daerah. Sayang, program ini tidak berhasil karena tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an) - http://www.aidsindonesia.com/p/wawancara.html).  


Peraturan Walikota Surakarta (Solo) tentang Penanggulangan HIV dan AIDS


Media Watch. Pemkot Surakarta, juga dikenal sebagai Kota Solo, Jawa Tengah, menelurkan Peraturan Walikota Surakarta No. 4-A Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 15 Mei 2008. Peraturan walikota (perwalkot) ini merupakan perwalkot pertama. Sedangkan peraturan daerah (perda) tentang AIDS sudah ada  55, serta satu peraturan gubenur (pergub). Jika diurut, maka Perwalkot Surakarta ini ada di urutan 28 dari peraturan AIDS yang ada di Indonesia.

Ketika perwalkot itu disahkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Solo dilaporkan tahun 2008, tercatat ada 107 kasus penyakit HIV/AIDS (www.solopos.com,

Jika bertolak dari kasus HIV/AIDS yang ada tentulah maksud perwalkot itu untuk ‘menghambat’ penyebaran HIV/AIDS di Kota Solo. Apalagi di Kota Solo dikenal ada lokalisasi pelacuran Silir.

Kota Surakarta, yang juga dikenal sebagai Kota Solo, Jawa Tengah, rupanya tidak mau ketinggalan kereta dalam ‘perlombaan’ membuat peraturan tentang penanggulangan AIDS. Sama seperti perda-perda lain sebelum dan sesudah peraturan walikota ini ada ‘nafsu’ dan ‘hasrat’ menanggulangi penyebaran HIV melalui hubungan seksual berisiko dengan kewajiban memakai kondom. 

Celakanya, program yang meniru ke Thailand itu tidak dipakai utuh, tapi diadopsi dengan setengah hati. Data KPA menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai April 2011 mencapai 552 dengan 176 kematian. Angka ini menempatkan Surakarta menempati peringakt kedua jumlah kasus HIV/AIDS se Jawa Tengah.

Terkait dengan penanggulangan seperti judul peraturan ini di pasal 1 ayat 17 disebutkan: “Penanggulangan adalah upaya-upaya agar tidak terjadi penyebarluasan HIV-AIDS di masyarakat.”

28 Agustus 2012

Kasus HIV/AIDS per Juni 2012 Dilaporkan 118.865


Info AIDS. Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, melaporkan kasus HIV/AIDS secara nasional periode 1987 sd. 30 Juni 2012 pada tanggal  15 Agustus 2012 (diolah dari data di www.spiritia.or.id).  

Kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional priode 1987 sd. 30 Juni 2012 dilaporkan 118.865 yang terdiri atas 86.762 HIV dan 32.103 AIDS dengan 5.623 kematian

Kasus HIV

Priode April - Juni 2012 kasus baru HIV dilaporkan sebanyak 3.892.

Persentase kasus HIV baru yang dilaporkan terdeteksi pada kelompok umur 25 - 49 tahun 72%, kelompok umur 20 - 24 tahun 12%, dan kelompok umur ≤4 tahun 7%. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1.

Sedangkan persentase kasus baru HIV berdasarkan faktor risiko adalah hubungan seksual tidak aman pada heteroseksual 50%, penggunaan jarum suntik berganti-ganti pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) 14%, dan LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki) 7%.

Kasus AIDS

Pada periode April sampai Juni 2012 jumlah kasus baru AIDS yang dilaporkan sebanyak 1.673.

Berdasarkan persentase kasus AIDS terdeteksi pada kelompok umur 30-39 tahun 36,2%, kelompok umur 20-29 tahun 32,2%, dan kelompok umur 40-49 tahun 15,9%.


Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an)


Wawancara. Dunia pelacuran atau prostitusi merupakan fenomena yang tak kunjung berujung karena dianggap sebagai salah satu pekerjaan tertua yang dilakukan manusia di muka Bumi ini.

Anggapan bahwa pelacuran sebagai penyimpangan hanya ditujukan kepada perempuan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) yang juga dengan berbagai sebutan.

Anggapan itu dipakai sebagai pembenaran sikap yang moralistis sebagian orang dari luar ketika memandang pelacuran sebagai kegiatan yang tidak bermoral.

Pekerjaan itu dianggap bergelimang dosa karena merupakan penyimpangan dari aspek norma, moral, agama, dan hukum. Pemerintah pun, dalam hal ini Departemen Sosial, menjalankan program resosialisasi dan rehabilitasi terhadap PSK. Melalui program itu diharapkan PSK beralih pekerjaan dan lokasi atau lokalisasi pelacuran ditutup dengan harapan tidak ada lagi pelacuran. Tentu saja ini salah karena praktek pelacuran bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.

PSK diberikan pendidikan agama dan keterampilan dengan tujuan agar mereka bisa dikembalikan ke masyarakat. Di sana ada harapan agar mereka berhenti menjadi PSK. Hasilnya? “Ya, selalu gagal karena bagi mereka itu bukan jalan keluar,” kata Prof. Dr. Hotman M. Siahaan, sisiolog di Univ. Airlangga, Surabaya.

27 Agustus 2012

Kondom di Papua: Antara Penanggulangan AIDS, Tingkat Kelahiran, dan Seks Ritual Adat


* Penanggulangan HIV/AIDS di Papua memilih sunat daripada kondom

Liputan. Kasus kumulatif HIV/ADS di Prov Papua dilaporkan 12.187. Tapi, dengan jumlah kasus kumulatif HIV/ADS sebesar itu ternyata Pemprov Papua sama sekali tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS di Bumi Cenderawasih itu.

Padahal, tanpa langkah yang konkret, maka Pemprov Papua tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen (kasus) AIDS’. Soalnya, penyebaran HIV di secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, terus terjadi karena tidak ada intervensi yang konkret untuk meredam penyebaran HIV.

“ATM Kondom”

Kondisinya kian runyam karena insiden infeksi HIV baru, terutama melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan di tempat-tempat hiburan terus terjadi.

Celakanya, seperti di Kab Merauke yang dipenjarakan justru PSK yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, al. sifilis, GO, hepatitis B, dll.) dengan alasan mereka meladeni hubungan seksual dengan laki-laki tanpa kondom.

Boleh-boleh saja, tapi tanpa disadari oleh KPA Kab Merauke ada dua hal yang luput dari perhatian, yaitu:

Pertama, ada kemungkinan yang menularkan IMS kepada PSK itu adalah laki-laki lokal, asli atau pendatang. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki itu bisa sebagai seorang suami, pacar, atau selingkuhan. Maka, selain menularkan IMS kepada PSK mereka juga menularkan IMS kepada istri, pacar atau selingkuhannya.

Kedua, ada kemungkinan PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu sudah tertular di luar Merauke. Maka, laki-laki lokal, asli atau pendatang, yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom berisiko tertular IMS. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang berisiko tertular IMS itu bisa sebagai seorang suami, pacar, atau selingkuhan. Maka, kalau mereka tertular IMS, maka mereka punakan menularkan IMS kepada istri, pacar atau selingkuhannya.

“Ah, laki-laki asli jarang yang mau pakai kondom, Mas,” kata seorang PSK di Tanjung Elmo. Fakta ini menempatkan laki-laki asli Papua pada posisi berisiko tinggi tertular  IMS atau HIV/AIDS atau kedua-duanya sekaligus melalui hubungan seksual dengan PSK.
Di lokalisasi Tanjung Elmo ada condom vending machine, lebih dikenal dengan sebutan “ATM Kondom”. Dengan memasukkan koin Rp 500 akan keluar sebuah kondom. Beberapa PSK memanfaatkannya untuk mendapatkan kondom.

Celakanya, tidak sedikit laki-laki yang membujuk PSK meladeninya tanpa kondom dengan tambahahn imbalan uang dari tarif ‘resmi’. Kondisi ini mendorong penyebaran IMS dan HIV/AIDS dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya dari PSK ke laki-laki.

Laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK dan laki-laki yang tertular IMS dari PSK menjadi mata rantai penyebaran IMS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Kasus-kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga menunjukkan suami atau pasangan mereka melakukan hubungan seksual, al. dengan PSK, tanpa kondom.

Nah, kalau di antara laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK dan laki-laki yang tertular IMS dari PSK ada kepala suku, maka akan terjadi penyebaran IMS pada perempuan di komunitas kepala suku tadi.

Kalau saja Pemprov Papua dan KPA Prov Papua memakai pendekatan yang realistis maka hambatan adat-istiadat terkait dengan sosialisasi kondom bisa diatasi. Juga terkait dengan penolakan kondom karena dikhawatirkan menurunkan populasi penduduk asli.

Alasan untuk menolak kondom yaitu penurunan jumlah kelahiran yang berdampak terhadap populasi penduduk asli, tidak masuk akal karena kondom dianjurkan pada hubungan seksual berisiko, al. yang dilakukan dengan PSK.

Kalau laki-laki penduduk asli memakai kondom ketika melacur, maka mereka tidak perlu memakai kondom ketika sanggama dengan istri. Jadi, laki-laki terhindar dari HIV dan fungsi reproduksi melalui kehaliran anak pun tetap berjalan.

Masyarakat boleh-boleh saja menganggap penggunaan kondom akan membatasi pertambahan penduduk. Alasan itu pun tidak pas karena kondom dianjurkan pada hubungan seksual dengan PSK bukan dengan istri.

Sunat vs Kondom

Tapi, perlu diingat bahwa memakai kondom hanya pada hubungan seksual dengan PSK jika laki-laki tidak mengidap HIV/AIDS. Ini tentu bukan hal yang mudah karena harus dibuktikan bahwa laki-laki tsb. memang tidak mengidap HIV/AIDS.

Karena tidak ada cara untuk memastikan laki-laki yang akan melacur tidak mengidap HV/AIDS, maka dia harus memakai kondom ketika sanggama dengan PSK dan dengan istrinya.

Di sisi lain, apakah masyarakat sudah memahami bahwa jika kelak anak lahir dengan HIV/AIDS justru menimbulkan masalah baru dan anak itu pun belum tentu akan bisa mempunyai anak kelak.

Secara statistik masa AIDS terjadi setelah 5 – 15 tahun tertular HIV, sehingga bayi yang lahir dengan HIV/AIDS di masa remajanya akan mencapai masa AIDS. Kematian pada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS.

Masyarakat diberikan pilihan: memakai kondom ketika melacur agar tidak tertular HIV sehingga pada hubungan seksual dengan istri tidak perlu memakai kondom agar bisa menghasilkan keturunan, atau tidak memakai kondom ketika melacur dan sanggama dengan istri tapi risikonya anak lahir dengan HIV/AIDS.

Upaya untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK sama sekali tidak diatur dengan konkret di dalam Perda AIDS Prov Papua (Lihat: Perda AIDS Prov Papua: Tidak Ada Lokalisasi Pelacuran (di Papua) - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/dalam-perda-aids-prov-papua-tidak-ada.html).  

Celakanya, untuk mengatasi penolakan terhadap kondom Pemprov Papua akan melakukan sunat massal sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS. Langkah ini amat riskan karena sunat pada laki-laki bukan mencegah penularan HIV, tapi hanya menurunkan risiko tertular HIV antara 40 – 60 persen. Sedangkan kondom adalah untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual sampai nol persen.

Laki-laki dewasa penduduk asli Papua yang sudah disunat akan merasa dirinya sudah memakai kondom sehingga tidak memakai kondom ketika melacur. Risiko tertular HIV tetap besar. Maka, ketika mereka sanggama dengan istri mereka merasa aman karena sudah disunat. Celakanya, sunat bukan cara mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual sehingga mereka berisiko tertular HIV ketika melacur. Maka, istri mereka pun berisiko tertular HIV kalau mereka tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Pada laki-laki yang (sudah) disunat sejak anak-anak pun tetap terjadi IMS. “Banyak laki-laki yang disunat mengidap IMS,” kata seorang praktisi kesehatan di Subang, Jawa Barat.  Bahkan, Arab Saudi yang semua laki-laki disunat sudah melaporkan lebih dari 15.000 kasus AIDS.

Begitu juga dengan ritual adat. Kalau laki-laki tidak mau memakai kondom pada ritual adat, maka pakailah kondom jika melalukan hubungan seksual dengan PSK atau pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah.

Di beberapa komunitas suku asli di Papua ada ritual yang al. ada kegiatan melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang bukan istri atau pasangannya. Salah satu yang dikenal adalah tradisi papisj.

Karena tidak mungkin menyadarkan semua laki-laki terkait dengan risiko tertular HIV pada hubungan seksual dengan PSK, maka Pemprov Papua harus melakukan intervensi yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hungan seksual dengan PSK.

Celakanya, Pemprov Papua dan pemerintah kabupaten dan kota di Papua sama sekali tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Jika ada laki-laki asli Papua yang melacur tanpa kondom di Papua atau di luar Papua, maka selama itu pula selalu saja ada laki-laki aspi Papua yang berisiko tertular HIV.

Laki-laki asli Papua yang tertular HIV di Papua atau di luar Papua akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Papua, terutama melalui hubungan seksual dalam nikan, di luar nikah dan pada ritual ganti-ganti pasangan.

Diperlukan langkah-langkah yang konkret untuk menyelamatkan orang asli Papua dari HIV/AIDS. Untuk itulah Pemprov Papua harus mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran. **[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***

26 Agustus 2012

Fantastis: Di Kab Waropen, Papua, Tidak Ada Kasus HIV/AIDS?


Tanggapan Berita. “Meskipun data dari KPA (komisi penanggulagnan AIDS-pen.) provinsi per 31 Maret 2012 khususnya di Kabupaten Waropen belum ada data pasti penderita penyakit HIV/AIDS, namun kita harus bekerja lebih giat lagi dengan melakukan antisipasi sedini mungkin di Waropen, agar generasi muda mendatang tidak hancur.” Ini pernyataan Wakil Ketua KPA Povinsi Papua, Drs Jhon Safkaur, MM (Bupati Waropen Komitmen Perangin HIV/AIDS, bintangpapua.com, 15/8-2012).

Pernyataan tentang belum ada data yang pasti tentang penderita HIV/AIDS di Kab Waropen tentulah mengundang pertanyaan:

(1) Apakah data itu menggambarkan kondisi ril HIV/AIDS di masyarakat Waropen?

Tentu saja tidak! Soalnya, di daerah yang sudah terdeteksi HIV/AIDS pun jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kondisi ril di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).

Mudik, 2.000 PSK di Kota Semarang, Jateng, yang Terindikasi Mengidap HIV/AIDS


Tanggapan Berita. “Lembaga pendamping pekerja seks komersial di Semarang, Griya ASA PKBI, memastikan jumlah pekerja seks yang terindikasi mengidap HIV/AIDS di kota itu hampir 2.000 orang. Mereka tersebar di beberapa lokalisasi, terutama di Sunan Kuning.” Ini lead pada berita “2.000 Pelacur Semarang Terindikasi HIV/AIDS” (www.tempo.co, 26/8-2012).

Angka itu amat fantastis. Bayangkan,2.000 pekerja seks komersial (PSK) mengidap HIV/AIDS. Angka yang tidak kecil karena kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Semarang yang dilaporkan (2011) tahun 2011 adalah 409 HIV dan 49 AIDS.

Sayang, dalam berita tidak dijelaskan bagaimana angka itu diperoleh: Apakah melalui survailans (tes HIV terhadap semua PSK tanpa identitas dan hasil tes tidak dikonfirmasi dengan tes lain) atau tes HIV.

Jika angka 2.000 diperoleh dari survailans pun ada masalah besar karena ada di antara 2.000 PSK itu yang benar-benar mengidap HIV/AIDS.

Apakah 2.000 PSK itu mengetahui mereka mengidap HIV/AIDS?