* Penanggulangan HIV/AIDS di
Papua memilih sunat daripada kondom
Liputan. Kasus kumulatif HIV/ADS di Prov
Papua dilaporkan 12.187. Tapi, dengan jumlah kasus kumulatif HIV/ADS sebesar
itu ternyata Pemprov Papua sama sekali tidak mempunyai program yang konkret
untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS di Bumi Cenderawasih itu.
Padahal,
tanpa langkah yang konkret, maka Pemprov Papua tinggal menunggu waktu saja
untuk ‘panen (kasus) AIDS’. Soalnya, penyebaran HIV di secara horizontal di
masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah, terus terjadi karena tidak ada intervensi yang konkret untuk meredam
penyebaran HIV.
“ATM Kondom”
Kondisinya
kian runyam karena insiden infeksi HIV baru, terutama melalui hubungan seksual
dengan pekerja seks komersial (PSK), di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan di
tempat-tempat hiburan terus terjadi.
Celakanya,
seperti di Kab Merauke yang dipenjarakan justru PSK yang terdeteksi mengidap
IMS (infeksi menular seksual, al. sifilis, GO, hepatitis B, dll.) dengan alasan
mereka meladeni hubungan seksual dengan laki-laki tanpa kondom.
Boleh-boleh
saja, tapi tanpa disadari oleh KPA Kab Merauke ada dua hal yang luput dari
perhatian, yaitu:
Pertama, ada kemungkinan yang menularkan
IMS kepada PSK itu adalah laki-laki lokal, asli atau pendatang. Dalam kehidupan
sehari-hari laki-laki itu bisa sebagai seorang suami, pacar, atau selingkuhan.
Maka, selain menularkan IMS kepada PSK mereka juga menularkan IMS kepada istri,
pacar atau selingkuhannya.
Kedua, ada kemungkinan PSK yang
terdeteksi mengidap IMS itu sudah tertular di luar Merauke. Maka, laki-laki
lokal, asli atau pendatang, yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa
kondom berisiko tertular IMS. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang
berisiko tertular IMS itu bisa sebagai seorang suami, pacar, atau selingkuhan.
Maka, kalau mereka tertular IMS, maka mereka punakan menularkan IMS kepada
istri, pacar atau selingkuhannya.
“Ah,
laki-laki asli jarang yang mau pakai kondom, Mas,” kata seorang PSK di Tanjung
Elmo. Fakta ini menempatkan laki-laki asli Papua pada posisi berisiko tinggi
tertular IMS atau HIV/AIDS atau
kedua-duanya sekaligus melalui hubungan seksual dengan PSK.
Di
lokalisasi Tanjung Elmo ada condom vending
machine, lebih dikenal dengan sebutan “ATM Kondom”. Dengan memasukkan koin
Rp 500 akan keluar sebuah kondom. Beberapa PSK memanfaatkannya untuk
mendapatkan kondom.
Celakanya,
tidak sedikit laki-laki yang membujuk PSK meladeninya tanpa kondom dengan
tambahahn imbalan uang dari tarif ‘resmi’. Kondisi ini mendorong penyebaran IMS
dan HIV/AIDS dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya dari PSK ke laki-laki.
Laki-laki
yang menularkan IMS kepada PSK dan laki-laki yang tertular IMS dari PSK menjadi
mata rantai penyebaran IMS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual
tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Kasus-kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu
rumah tangga menunjukkan suami atau pasangan mereka melakukan hubungan seksual,
al. dengan PSK, tanpa kondom.
Nah,
kalau di antara laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK dan laki-laki yang
tertular IMS dari PSK ada kepala suku, maka akan terjadi penyebaran IMS pada
perempuan di komunitas kepala suku tadi.
Kalau
saja Pemprov Papua dan KPA Prov Papua memakai pendekatan yang realistis maka
hambatan adat-istiadat terkait dengan sosialisasi kondom bisa diatasi. Juga
terkait dengan penolakan kondom karena dikhawatirkan menurunkan populasi
penduduk asli.
Alasan
untuk menolak kondom yaitu penurunan jumlah kelahiran yang berdampak terhadap
populasi penduduk asli, tidak masuk akal karena kondom dianjurkan pada hubungan
seksual berisiko, al. yang dilakukan dengan PSK.
Kalau
laki-laki penduduk asli memakai kondom ketika melacur, maka mereka tidak perlu
memakai kondom ketika sanggama dengan istri. Jadi, laki-laki terhindar dari HIV
dan fungsi reproduksi melalui kehaliran anak pun tetap berjalan.
Masyarakat
boleh-boleh saja menganggap penggunaan kondom akan membatasi pertambahan
penduduk. Alasan itu pun tidak pas karena kondom dianjurkan pada hubungan
seksual dengan PSK bukan dengan istri.
Sunat vs Kondom
Tapi,
perlu diingat bahwa memakai kondom hanya pada hubungan seksual dengan PSK jika
laki-laki tidak mengidap HIV/AIDS. Ini tentu bukan hal yang mudah karena harus
dibuktikan bahwa laki-laki tsb. memang tidak mengidap HIV/AIDS.
Karena
tidak ada cara untuk memastikan laki-laki yang akan melacur tidak mengidap
HV/AIDS, maka dia harus memakai kondom ketika sanggama dengan PSK dan dengan
istrinya.
Di
sisi lain, apakah masyarakat sudah memahami bahwa jika kelak anak lahir dengan
HIV/AIDS justru menimbulkan masalah baru dan anak itu pun belum tentu akan bisa
mempunyai anak kelak.
Secara
statistik masa AIDS terjadi setelah 5 – 15 tahun tertular HIV, sehingga bayi
yang lahir dengan HIV/AIDS di masa remajanya akan mencapai masa AIDS. Kematian
pada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS.
Masyarakat
diberikan pilihan: memakai kondom ketika melacur agar tidak tertular HIV sehingga
pada hubungan seksual dengan istri tidak perlu memakai kondom agar bisa
menghasilkan keturunan, atau tidak memakai kondom ketika melacur dan sanggama
dengan istri tapi risikonya anak lahir dengan HIV/AIDS.
Upaya untuk
menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual
dengan PSK sama sekali tidak diatur dengan konkret di dalam Perda AIDS Prov
Papua (Lihat: Perda
AIDS Prov Papua: Tidak Ada Lokalisasi Pelacuran (di Papua) - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/dalam-perda-aids-prov-papua-tidak-ada.html).
Celakanya,
untuk mengatasi penolakan terhadap kondom Pemprov Papua akan melakukan sunat
massal sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS. Langkah ini amat riskan karena
sunat pada laki-laki bukan mencegah penularan HIV, tapi hanya menurunkan risiko
tertular HIV antara 40 – 60 persen. Sedangkan kondom adalah untuk mencegah
penularan HIV melalui hubungan seksual sampai nol persen.
Laki-laki
dewasa penduduk asli Papua yang sudah disunat akan merasa dirinya sudah memakai
kondom sehingga tidak memakai kondom ketika melacur. Risiko tertular HIV tetap
besar. Maka, ketika mereka sanggama dengan istri mereka merasa aman karena
sudah disunat. Celakanya, sunat bukan cara mencegah penularan HIV melalui
hubungan seksual sehingga mereka berisiko tertular HIV ketika melacur. Maka,
istri mereka pun berisiko tertular HIV kalau mereka tidak memakai kondom setiap
kali sanggama.
Pada
laki-laki yang (sudah) disunat sejak anak-anak pun tetap terjadi IMS. “Banyak
laki-laki yang disunat mengidap IMS,” kata seorang praktisi kesehatan di
Subang, Jawa Barat. Bahkan, Arab Saudi
yang semua laki-laki disunat sudah melaporkan lebih dari 15.000 kasus AIDS.
Begitu
juga dengan ritual adat. Kalau laki-laki tidak mau memakai kondom pada ritual
adat, maka pakailah kondom jika melalukan hubungan seksual dengan PSK atau
pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah.
Di
beberapa komunitas suku asli di Papua ada ritual yang al. ada kegiatan
melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang bukan istri atau pasangannya.
Salah satu yang dikenal adalah tradisi papisj.
Karena
tidak mungkin menyadarkan semua laki-laki terkait dengan risiko tertular HIV
pada hubungan seksual dengan PSK, maka Pemprov Papua harus melakukan intervensi
yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui
hungan seksual dengan PSK.
Celakanya,
Pemprov Papua dan pemerintah kabupaten dan kota di Papua sama sekali tidak
mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.
Jika ada laki-laki asli Papua yang melacur tanpa kondom
di Papua atau di luar Papua, maka selama itu pula selalu saja ada laki-laki
aspi Papua yang berisiko tertular HIV.
Laki-laki asli Papua yang tertular HIV di Papua atau di
luar Papua akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Papua, terutama melalui
hubungan seksual dalam nikan, di luar nikah dan pada ritual ganti-ganti
pasangan.
Diperlukan langkah-langkah yang konkret untuk
menyelamatkan orang asli Papua dari HIV/AIDS. Untuk itulah Pemprov Papua harus
mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK di lokasi atau lokalisasi
pelacuran. **[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***