Tanggapan Berita (28/12-2012)
– "Sampai saat ini, sudah tiga orang yang terdeteksi mengidap penyakit itu
dan dua orang di antaranya sudah meninggal dunia. Tiga penderita ini, terdiri
satu laki-laki dan dua perempuan. Pengidap yang meninggal, satu
laki-laki dan satu perempuan." Ini penyataan Abubakar, Kepala Seksi
Penyakit Menular, Dinas Kesehatan Kab Wakatobi, Sultra, di berita “2 Orang
Penderita AIDS di Wakatobi Tewas” (www.jpnn.com, 26/12-2012).
Kalau saja wartawan yang
mewawancarai Abubakar memahami HIV/AIDS dengan komprehensif, maka yang dtanyak
adalah tentang laki-laki dan perempuan yang meninggal itu.
Pertama, jika laki-laki yang
meninggal itu sebagai suami maka ada risiko penularan pada istrinya. Kalau istrinya
tertular HIV, maka ada pula risiko penularan pada bayi yang dikandungnya kelak.
Kedua, apakah pasangan laki-laki
yang meninggal itu sudah menjalani tes HIV? Kalau belum tentulah ada persoalan
lain yaitu pasangan laki-laki itu kelak bisa menularkan HIV kepada suami atau
pasangannya.
Ketika, siapa perempuan yang
meninggal itu? Kalau perempuan itu seorang pekerja seks komersial (PSK), maka
sudah banyak laki-laki yang berisiko tertular HIV.
Sayang, wartawan tidak membawa
data itu ke realitas sosial sehingga tidak ada gambara ril tentang penyebaran
HIV di Wakatobi.
Hal lain yang perlu dipertanyakan
adalah: Apakah di Wakatobi ada (praktek) pelacuran?
Kalau ada maka pertanyaannya
adalah: Apa langkah konkret yang dilakukan Pemkab Wakatobi untuk menanggulangi
penyebaran HIV melalui pelacuran?
Disebutkan bahwa para penderita baru terdeteksi setelah memeriksakan diri ke petugas kesehatan. Itupun, tujuan pemeriksaannya bukan untuk pemeriksaan HIV/AIDS, tetapi awalnya penderita merasakan penyakit demam atau lainnya, tetapi setelah diperiksa ternyata mengidap HIV.
Itulah gambaran umum yang terjadi di Indonesia terkait dengan HIV/AIDS.
Banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada
tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS.
Maka, langkah yang perlu dilakukan Pemkab Wakatobi adalah mendeteksi
HIV/AIDS di masyarakat melalui cara-cara yang sistematis.
Soalnya, penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus yang terdeteksi (3) hanya bagian kecil (digambarkan sebagai puncak gunung
es yang muncul ke atas permukaan air laut) dari kasus yang ada di masyakat
(digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut).
Jika Pemkab Wakatobi hanya berpatokan pada tiga kasus itu, maka penyebaran
HIV akan menjadi bumerang yang pada gilirannya menjadi ’bom waktu’ ledakan
AIDS. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.