Liputan (20/12-2012) – Pnyebaran HIV/AIDS di Kota Banjarmasin,
Kalsel, didorong oleh faktor risiko (cara penularan) hubungan seksual tanpa
kondom antara laki-laki dewasa dengan pekerja seks komersial (PSK). Sayang,
Pemkot Banjarmasin, dalam hal ini Dinkes Banjarmasin dan KPA Kota Banjarmasin,
tidak mempunyai program konkret berupa intervensi terhadap praktek pelacuran.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota
Banjarmasin dilaporkan 164 dari 501 kasus di Kalsel. Selain itu terdeteksi
tujuh balita yang mengidap HIV/AIDS di Kalsel.
Agaknya, Pemkot Banjamasin menutup mata
terkait dengan praktek pelacuran ini dengan alasan di kota itu tidak ada
lokalisasi atau lokasi pelacuran.
Pemkot Banjarmasin benar, tapi itu
bukan jaminan bahwa di Kota Banjarmasin tidak ada praktek pelacuran.
Padahal, di Kota Banjarmasin ada THM
(tempat hiburan malam) yang menyediakan cewek sebagai pekerja seks, seperti
karaoke, salon plus-plus, dan hotel) dengan kamar untuk kegiatan hubungan
seksual. Risiko penyebaran HIV/AIDS sangat besar karena Pemkot Banjarmasin
tidak mempunyai langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat:
Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Banjarmasin, Kalsel, Tanpa Langkah Konkret - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/penanggulangan-hivaids-di-kota.html).
Kegiatan pelacuran inilah yang menjadi
faktor utama penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.
Pertama, ada laki-laki dewasa penduduk Kota Banjarmasin yang
mengidap HIV menularkan HIV kepada pekerja seks. Laki-laki ini dalam kehidupan
sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Maka, amatlah masuk akal kalau kemudian
HIV/AIDS terdeteksi pada ibu rumah tangga.
Kedua, ada laki-laki desasa penduduk Kota Banjarmasin yang
tertular HIV dari pekerja seks karena tidak memakai kondom. Laki-laki ini pun
dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Maka, amatlah masuk
akal kalau kemudian HIV/AIDS terdeteksi pada ibu rumah tangga.
Maka, laki-laki dewasa penduduk Kota
Banjarmasin yang menularkan HIV kepada pekerja seks dan laki-laki desasa
penduduk Kota Banjarmasin yang tertular HIV dari pekerja seks menjadi mata
rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Dalam Perda AIDS Kota Banjarmasin sama
sekali tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru
pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks (Lihat: Perda
AIDS Kota Banjarmasin - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kota-banjarmasin-kalimantan.html).
Celakanya, banyak laki-laki dewasa yang
merasa tidak melacur karena mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan
pekerja seks langsung (pekerja seks di THM), tapi mereka melakukan hubungan
seksual dengan cewek karaoke, cewek cafe, cewek diskotek, dll. Cewek-cewek ini
tergolong pekerja seks juga yang disebut sebagai pekerja seks tidak langsung.
Tapi, risiko tertular HIV tetap saja besarnya dengan pekerja seks langsung.
Dikabarkan dari Kota Banjarmasin di
beberapa diskotek bahkan ada ’cewek impor’ dari Thailand. Tanpa disadari
prevalensi HIV/AIDS di Thailand tinggi sehingga kemungkinan ’cewek impor’ yang
mengidap HIV/AIDS sangat besar.
Sub-type virus HIV di Thailand adalah
E. Maka, kalau ada penelitian di Kota Banjarmasin tentang sub-type HIV yang
diidap penduduk, maka bisa dikaitkan dengan sumber penularan.
Kondisinya kian runyam karena Satpol PP
dan polisi hanya bernyali merazia penginapan, losmen dan hotel melati. Di sini
yang banyak adalah pasangan yang pacaran.
Sebuah hotel di kota ini menyewakan
kamar Rp 75.000/malam kepada pekerja seks sehingga pekerja seks bebas menerima
tamu.
Jika pelacuran tidak dilokalisir, maka
program penanggulangan tidak bisa dijalankan karena pekerja seksnya tidak bisa
didata. Mereka berpenampilan sebagaimana cewek pada umumnya. Mereka bisa
tertangkap tangan jika tangkap basah ketika melayani tamu. Tapi, ini hanya di
penginapan, losmen dan hotel melati. Sedangkan yang di hotel berbintang lolos
dari razia.
Biar pun di hotel berbintang dan ’cewek
impor’ risiko penularan HIV tetap sama dengan pelacuran di THM.
Untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS
secara realistis yang bisa dilakukan hanyalah menurunkan insiden infeksi HIV
baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks yaitu melalui
program ’wajib kondom 100 persen’. Program ini hanya bisa dijalankan dengan
efektif kalau pelacuran dilokalisir.
Semua terpulang kepada Pemkot
Banjarmasin: membiarkan penyebaran HIV terus terjadi dengan tidak melokalisir
pelacuran atau menurunkan insiden infeksi HIV baru dengan melokalisir pelacuran.
***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.