Liputan (18/12-2012) – ‘Menikah’ ternyata tidak membuat semua orang
bahagia. Bahkan, ada yang tidak bisa mengimpikannya karena membuat mereka
ketakutan dan menjadi momok. Setidaknya itulah yang dirasakan beberapa Orang
dengan HIV/AIDS (Odha) ketika dipaksa menikah oleh orang tuanya.
Ketika orang tuanya memintanya untuk
segera menikah, S, 35 tahun, salah seorang Odha yang tinggal di salah satu kota di Sulawesi Selatan
(Sulsel), terhenyak. Kata itu bagaikan bom yang meledak di gendang telinganya.
“Bagaimana mungkin tawaran untuk menikah kuterima sedangkan saya mengidap HIV/AIDS,”
katanya dengan berurai air mata. Dia
mengaku tidak mau menularkan virus pada orang lain, apalagi perempuan yang akan
menjadi istrinya. Maka, setiap kali diminta menikah saya dia selalu menolak.
S mengatakan bahwa banyak hal yang dia
pertimbangkan sehingga menolak keinginan orang tuanya yang ingin menjodohkannya
dengan anak keluarga atau kenalan orang tuanya. S tidak ingin menularkan HIV
pada orang lain. Takut jika suatu hari nanti istrinya atau orang lain tahu status dirinya.
Dia juga mengakut takut jika anaknya kelak tertular HIV. S ketakutan menikah
karena melihat kematian sahabatnya karena dihantui rasa bersalah pada istrinya
yang meninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS. Anak sahabatnya itu pun yang berusia
sebulan terdeteksi HIV/AIDS. Ini juga membuat S ketakutan.
Hal yang sama juga dirasakan T, 36
tahun, ibu dua anak yang terpapar HIV setelah suaminya meninggal tahun 2006
dengan status HIV. Perempuan cantik yang tinggal di salah satu kota di Sulsel
ini juga dipaksa menikah dengan seorang duda oleh orang tuanya. Pada hari
pernikahannya, T berontak dan melarikan diri karena tidak ingin menularkan HIV kepada
laki-laki yang akan jadi suaminya.
Namun, pernikahan tetap juga
berlangsung setelah ia ditemukan keluarganya di tempat persembunyiannya. “Saya
sangat takut bila suamiku kelak tertular HIV dariku. Dia tidak tahu apa-apa,”
kata T sambil menahan tangis. Tapi, T sendiri mengaku tidak berani mengatakan
dengan jujur pada orang tuanya atau suaminya bahwa dia mengidap HIV/AIDS.
Padahal, dia tertular HIV dari suaminya.
Sejak dia menerima hasil tes HIV di sebuah
klinik VCT Sulsel tahun 2006, T menutup rapat-rapat status HIV-nya kepada
keluarganya juga pada dua anak gadisnya yang kini sudah duduk dibangku SMU dan
SMP. Ia tidak mau keluarganya tahu status HIV-nya. Dia pun mengaku takut diusir
dari kampung karena dianggap pembawa penyakit menular jika dia membeberkan
status HIV-nya. “Distrikriminasi akan kuterima jika status HIV-ku
diketahui orangtuaku,” ujarnya.
Kendati telah ditawari konseling bagi orang
tua, anak dan suaminya, tapi T selalu menolak dengan alasan belum siap. Berbeda
dengan S, orang tuanya justru tahu status HIV-nya namun tetap nekat memaksa
anaknya menikah dengan alasan tidak ingin anaknya jadi cemohoan keluarga dan
masyarakat karena menjadi perjaka tingting.
S telah berupaya memberikan penjelasan
pada orang tuanya supaya tidak memaksanya untuk menikah, tapi mereka tidak mau
mengerti. Akhirnya, S meminta pindah kerja ke provinsi Sulbar supaya tidak
sering bertemua istrinya. Dengan berbagai alasan S memilih selalu menggunakan
kondom. “Saya memilih menggunakan kondom setiap kali melakukan hubungan seksual
daripada dihinggapi rasa sesal tak berujung,” kata S yang telah meminum obat
antiretrorival (ARV) sejak Agustus 2008.
Dan kini, hal yang sama juga dialami oleh
W, 26 tahun, yang tinggal di sebuah kota di Sulsel. Setelah orang tunya
menyampaikan kabar bahwa ia akan dinikahkan setelah menjalani hukuman penjara karena
memakai shabu-shabu, pikirannya kacau. Ia sering menangis
dan termenung memikirkan bagaimana caranya menyampaikan pada calon istrinya
bahwa ia tertular virus HIV. “Ini yang ketiga kalinya orang tuaku akan
menikahkanku. Selama ini saya selalu menolak karena tidak mau menularkan virus
pada orang lain, cukuplah saya yang tertular virus HIV,” kata W.
Menurut W, orang tuanya sudah melamar
perempuan yang akan menjadi calon istrinya dan mahar pun sudah dibicarakan. Itu
yang membuatnya tidak sanggap lagi menolak, tidak seperti pada rencana
pernikahan sebelumnya. Ia berhasil menggagalkannya karena menemui calon
istrinya sambil membawa obat ARV untuk meyakinkan calon istrinya tentang status
HIV-nya. W sudah meminum ARV sejak Mei 2008.
“Saya sama sekali tidak mengerti dengan
pikiran orang tuaku yang memaksaku menikah padahal mereka tahu status HIV-ku,”
kata W dengan nada heran. Hanya dengan alasan malu punya anak bujang lapuk
mereka memaksa W menikah tanpa mau tahu bagaimana beban penderitaannya akibat dihantui
rasa bersalah dan berdosa jika akhirnya istrinya kelak tertular HIV.
W berjanji jika dirinya tidak berhasil menggagalkan
pernikahan setelah menjalani hukuman penjara pada tahun depan, dia akan meminta
pendampingnya untuk memberikan konseling kepada calon istrinya. Baginya, lebih
baik gagal menikah daripada dihantui perasaan bersalah dan berdosa sepanjang
hidupnya. ***[AIDS Watch Indonesia/Santiaji Syafaat-dari Kota Parepare,
Sulsel]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.