Media Watch (13/12-2012) – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat (Jabar) menerbitkan Perda AIDS yaitu No 12 Tahun 2012 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS yang disahkan tanggal 11 Juni 2012, tapi sebelum perda ini diterbitkan Pemprov Jabar sudah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) yaitu No 78 Tahun 2010 tanggal 18 November 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS.
Adakah yang lebih
bermakna pasal-pasal dalam perda dan pergub dalam penanggulangan HIV/AIDS di
Jabar?
Perda AIDS Jabar tidak
lebih baik daripada Pergub AIDS Jabar (Lihat: : Perda AIDS Provinsi
Jawa Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-provinsi-jawa-barat.html).
Di Indonesia sudah ada 68
peraturan daerah, peraturan gubernur dan peraturan walikota yang mangatur
HIV/AIDS. Sedangkan di Jabar sudah ada lima daerah yaitu Kab
Tasikmalaya (2007) dan Indramayu (2009), serta Kota Tasikmalaya (2008), Bekasi
(2009), dan Cirebon (2010).
Dalam 68 peraturan itu tidak satu pun
ada pasal yang konkret tentang cara pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Begitu pula dengan perda-perda AIDS di Jabar juga tidak menukik ke akar
persoalan.
Perda AIDS Kab
Tasikmalaya No 4/2007 tidak memberikan cara-cara pencegahan yang konkret.
Begitu pula dengan Perda AIDS Kota Tasikmalaya No 2/2008 juga tidak menawarkan
cara-cara penanggulangan yang realistis (Lihat: Menguji Peran Perda AIDS
Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya* - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/menguji-peran-perda-aids-kabupaten.html).
Sama halnya dengan Perda
AIDS Kota Bekasi No 3/2009 yang juga hanya mengedepankan moral (Lihat: Perda
AIDS Kota Bekasi - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-kota-bekasi.html).
Hal yang sama juga
terjadi pada Perda AIDS Kota Cirebon No 1/2010 yang tidak menawarkan cara-cara
yang realistis untuk memutus mata rantai penyebaran HIV (Lihat: Perda AIDS Kota
Cirebon, Jawa Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kota-cirebon-jawa-barat.html).
Hal yang sama juga
terjadi pada Perda AIDS Kab Indramayu. Sama sekali tidak menyentuh akar
persoalan (Lihat: Perda AIDS Kabupaten Indramayu, Jawa Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kabupaten-indramayu-jawa.html).
Sama seperti peraturan
terkait AIDS yang sudah ada, pergub ini pun sama sekali tidak memberikan
cara-cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV di Jabar.
Pada Bab IV tentang
Pencegahan di pasal 5 ayat a angka 2 disebutkan: “Dalam rangka pencegahan HIV
dan AIDS, dilakukan upaya kegiatan promosi perubahan perilaku, melalui
peningkatan penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko.”
Celakanya tidak ada mekanisme yang
konkret untuk mendorong peningkatan pemakaian kondom. Program-program
pencegahan dengan sosialisasi kondom di Indonesia mengacu ke program ’wajib
kondom 100 persen’ bagi laki-laki dewasa dengan pekerja seks komersial (PSK) di
lokalisasi pelacuran dan rumah bordir di Thailand. Program ini berhasil
menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa melalui
hubungan seksual.
Tapi, mengapa program itu tidak bisa
berjalan dengan efektif di Indonesia?
Pertama, tidak ada lokalisasi pelacuran yang merupakan regulasi. Pemerintah daerah
provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia berlomba-lomba menutup lokalisasi
pelacuran sehingga program pemakaian kondom tidak bisa diterapkan. Yang perlu
diingat adalah tidak ada negara di dunia yang melegalkan pelacuran, yang ada
adalah membuat regulasi yaitu dengan melokalisir pelacuran.
Kedua, program kondom yang dituangkan dalam perda-perda AIDS tidak memberikan
cara pemantauan yang konkret. Thailand memantau program wajib kondom melalui
mekanisme yang realistis. Germo atau mucikari diberikan izin usaha. Secara
rutin dilakukan survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO,
sifilis, virus hepatitis B, klamidia, dll.) terhadap PSK. Kalau ada PSK yang
terdeteksi mengidap IMS maka germo diberikan sanksi mulai dari teguran sampai
pencabutan izin usaha karena hal itu membuktikan ada PSK yang meladeni
laki-laki tanpa kondom.
KPA Merauke menerapkan cara yang
terbalik dengan Thailand yaitu yang diberikan sanksi adalah PSK. Sudah beberapa
PSK yang masuk bui karena meladeni laki-laki yang tidak memakai kondom.
Celakanya, KPA Merauke lupa seorang PSK dibui, ratusan PSK (baru) akan
menggantikan PSK yang ditangkap itu. Dan, laki-laki, bisa saja penduduk asli,
yang menularkan IMS atau HIV kepada PSK tetap menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Karena tidak ada mekanisme penerapan
dan pemantauan maka pasal 5 ayat a angka 2 tidak bisa diterapkan di wilayah
Jabar karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang merupakan hasil regulasi.
Pertanyaannya adalah: Apakah Pemprov
Jabar bisa menjamin bahwa di Jabar tidak ada praktek pelacuran setelah semua
lokalisasi pelacuran ditutup?
Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada
persoalan penyebaran HIV di Jabar dengan faktor risko (mode of transmission)
hubungan seksual.
Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka
ada persoalan besar yaitu penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual.
Ini dapat dilihat dari fakta yaitu kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ratusan
ibu rumah tangga di Jabar. Fakta ini membuktikan bahwa suami mereka melakukan
hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan perempuan yang mengidap
HIV, bisa PSK atau pasangan lain, tanpa kondom.
Pergub ini lebih banyak mengatur
persoalan di hilir. Artinya, yang diurus adalah orang-orang yang sudah
terdeteksi HIV/AIDS, seperti pengobatan, perawatan, rehabilitasi, dll. Ini
artinya Pemprov Jabar menunggu penduduk tertular HIV dulu (di hulu).
Satu hal yang tidak muncul di Pergub
ini adalah penanganan PSK asal Jabar yang dipulangkan dari daerah lain karena
terdeteksi HIV.
Begitu pula dengan tenaga kerja wanita
(TKW) yang terdeteksi HIV/AIDS tidak dibicarakan dalam Pergub ini. Sudah ada
kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada TKW yang baru pulang dari luar negeri.
Padahal, jika tidak ditangani secara
komprehensif maka PSK dan TKW itu bisa membawa malapetaka bagi Jabar karena
mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Jabar.
Kalau saja Pergub ini melihat realitas
terkait dengan penyebaran HIV di masyarakat tentulah yang diatur adalah
intervensi terhadap (perilaku) laki-laki dewasa yaitu mewajibkan memakai kondom
jika melakukan hubungan seksual berisiko.
Langkah kedua adalah mewajibkan
laki-laki yang perilakunya berisiko memakai kondom jika sanggama dengan
istrinya. Kalau Langkah terakhir untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di
Jabar adalah menerapkan pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Dalam Pergub diatur di pasal 5 ayat c yaitu: ”Dalam
rangka pencegahan HIV dan AIDS, dilakukan upaya pencegahan risiko penularan
dari ibu ke bayi (preventive mother to child transmition/PMTCT) dilakukan
melalui pemberian anti retro viral (ARV) pada masa kehamilan, proses persalinan
melalui Cesar serta pemberian pengganti Air Susu Ibu.” Namun, dalam Pergub
tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV di kalangan perempuan
hamil. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.