Media
Watch (13/12-2012) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Puncak Jaya, Prov Papua,
menelurkan Perda No. 14 Tahun 2005 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
HIV/AIDS dan IMS yang disahkan di Mulia tanggal 22 Juni 2005.
Apakah
pasal-pasal di perda ini menukik ke akar persoalan terkait dengan
penanggulangan HIV/AIDS yang konkret?
Seks Menyimpang
Pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS
hanya berdasarkan mitos (anggapan yang salah). Ini
semua terjadi karena selama ini materi KIE tentang HIV/AIDS selalu dibalut
dengan norma, moral dan agama.
Hal yang sama terdapat pada Perda
Puncak Jaya ini. Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS
dilakukan melalu cara (a) Tidak melakukan hubungan seksual secara menyimpang dan
berganti-ganti pasangan seks.” Ini jelas ‘cara moral’ yang sama sekali tidak
terkait dengan pencegahan penularan HIV yang akurat. ‘Penyimpangan’ dalam seks
merupakan sudut pandang moral dan agama. Lagi pula kalau menyimpang tidak akan
pernah terjadi hubugnan seksual.
Penularan HIV dan IMS melalui hubungan
seksual, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu atau
kedua-dua pasangan itu HIV-positif atau mengidap IMS dan laki-laki atau
perempuan tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual. Sebaliknya,
kalau dua-duanya HIV-negatif dan tidak mengidap IMS maka tidak ada penularan
HIV dan IMS biar pun mereka berzina, melacur, selingkuh, jajan, menyimpang,
homoseksual, dll.
Maka, penularan HIV dan IMS melalui
hubungan seksual tergantung kepada kondisi hubungan seksual bukan karena sifat
hubungan seksual. Artinya, biar pun di dalam ikatan pernikahan yang sah (sifat
hubungan seksual) ada risiko penularan HIV kalau salah satu atau dua-duanya
HIV-positif dan suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi
hubungan seksual). Sebaliknya, biar pun di luar nikah, jajan, selingkuh,
me-lacur, waria, atau homo-seksual (sifaf) kalau dua-duanya HIV-negatif
(kondisi) maka tidak ada penularan HIV.
Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan:
“Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (b) Setia pada satu
pasangan tetap.” Ini juga moralistik karena bisa saja terjadi kesetiaan kepada
satu pasangan yang berganti-ganti. Pada kurun waktu tertentu seorang laki-laki
setiap pada seorang perempuan. Tapi, bisa saja terjadi sebelum mereka saling
setia mereka juga pernah saling setia dengan pasangan lain. Begitu seterusnya.
Pada pasal 4 disebutkan: “HIV dapat
menular kepada orang lain melalui: (a) Hubungan seksual yang tak terlindung.”
Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam atau di
luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan
laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Kalau
dua-duanya HIV-negatif terlindung atau tidak, sah atau tidak, maka tidak ada
penularan HIV.
Pada pasal 4 ayat b disebutkan: “HIV
dapat menular kepada orang lain melalui: Jarum/alat suntik yang sekali pakai
dibuang.” Ini tidak jelas maksudnya.
Cara-cara pencegahan yang ‘ditawarkan’
selalu bersifat moralistik padahal pencegahan HIV dapat dilakukan dengan
teknologi kedokteran yang realistis.
Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan:
“Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (c) Menggunakan kondom pada
setiap kontak seksual yang beresiko tertular virus HIV dan IMS.” Lho, bagaimana
kontak seksual yang beresiko? Pada padal 1 ayat 11 disebutkan “Perilaku seksual
beresiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan
kondom.”
Penjaja Seks
Yang terjadi adalah banyak laki-laki
‘hidung belang’ yang merasa tidak berganti-ganti pasangan karena dia selalu
‘memakai’ pekerja seks komersial (PSK) yang sama setiap kali melepas hasrat
seksual. Bahkan, ada yang menjadikan hubungan mereka pada taraf ‘pacar’ dan
‘suami’. Lagi-lagi penegasan tidak akurat karena dibalut dengan moral.
Perilaku berisiko melalui hubungan
seksual bisa terjadi kalau melakukan hubungan seksual di dalam atau di luar
nikah serta homoseksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau
dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK. langsung
(PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran), PSK tidak langsung (‘cewek bar’,
‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, WIL, perempuan pemijat di
panti pijat plus-plus, waria pekerja seks, dll.) serta pelaku kawin-cerai.
Selama materi KIE tetap dibalut dengan
moral dan agama maka selama itu pula yang ditangkap masyarakat hanya mitos.
Inilah yang mencelakakan masyarakat.
Di beberapa negara kasus infeksi HIV
baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Tapi, mengapa
di kawasan Asia Pasifik justru sebaliknya?
Ya, lagi-lagi terjadi karena mitos. Di
banyak negara masyarakat sudah memahami cara-cara pencegahan yang realistis
melalui hubungan seksual yang memakai kondom pada hubungan seksual yang
berisiko. Sebaliknya, di kawasan Asia Pasifik yang terjadi justru ‘debat kusir’
soal kondom dengan mempertentangkan aspek kesehatan masyarakat dengan moral dan
agama.
Perda ini lagi-lagi merendahkan harkat
dan martabat PSK sebagai manusia dengan menyebut mereka sebagai penjaja seks
komersial. Penjaja berarti orang yang menjajakan atau menawarkan sesuatu
dengan berkeliling.
Pertanyaannya adalah: apakah PSK
menjajakan diri dengan berkeliling? Fakta menunjukkan PSK menunggu di tempat.
Yang datang ‘membeli’ justru laki-laki. Dan, perlu diingat laki-laki pulalah
yang menularkan HIV atau IMS atau dua-duanya sekaligus kepada PSK. Fakta ini
selalu ditutup-tutupi sehingga mengesankan PSK-lah yang menjadi biang keladi
penyebaran HIV dan IMS. Penggelapan fakta ini selain bias gender juga
menyesatkan masyarakat.
Celakanya, ketika ada PSK yang
terdeteksi HIV-positif atau mengidap IMS yang dipersoalkan hanya PSK itu.
Padahal, ada fakta lain yang merupakan realitas sosial yang digelapkan yaitu
ada laki-laki yang menularkan ke PSK dan yang tertular dari PSK. Laki-laki inilah yang merupakan mata rantai penyebaran HIV dan IMS. Mereka
menjadi jembatan dari PSK ke populasi.
Lagi-lagi fakta ini luput atau memang sengaja
diluputkan agar PSK dikesankan tidak bermoral, sedangkan laki-laki pelanggan
lebih bermoral karena dikesankan sebagai korban. Karena ini yang terjadi, maka penyebaran HIV/AIDS
terus terjadi sementara perda tidak memberikan langkah yang konkret. Tinggal
menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.